Ulama dan Pemberantasan Korupsi
'Jika Fatimah binti Muhammad mencuri maka akupun akan memotong tangannya.''
Bagi orang awam, pernyataan ini kedengaran sarkastis atau mungkin dalam bahasa George W Bush disebut militan atau fundamentalis. Tetapi bagi kalangan ulama, ini adalah salah satu dasar dalam proses law enforcement yang berasal dari sebuah hadits Nabi Muhammad yang populer yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Susunan lengkap hadis itu sebagai berikut. Seorang perempuan di zaman Rasulullah SAW sesudah fathu Makkah telah mencuri. Rasulullah lalu memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi perempuan tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau bersabda, ''Apakah kamu akan meminta pertolongan (mensyafa'ati) untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?'' Usamah lalu menjawab, ''Mohonkan ampunan Allah untukku ya Rasulullah.''
Pada sore harinya Nabi SAW berkhutbah setelah terlebih dahulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah sabdanya, ''Amma ba'du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan jika seorang bangsawan mencuri, dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Jika Fatimah binti Muhammad mencuri maka akupun akan memotong tangannya.'' Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu. Penulis teringat akan hadits ini ketika membaca berita di koran yang memberitakan sekelompok ulama yang tergabung dalam solidaritas Habaib se-Jabotabek berdemo mendukung terdakwa kasus korupsi, Abdullah Puteh.
Ulama pewaris nabi
Perkataan ulama adalah bentuk jamak dari perkataan alim (orang yang berilmu). Berarti, ulama adalah orang-orang yang berilmu. Mereka inilah yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai pewaris para nabi. Dengan demikian, dalam Islam, syarat untuk menjadi pemimpin bukan ditentukan oleh keturunan, ras, golongan, bangsa, harta, dan kegantengan, tetapi justru karena keilmuan seseorang. Berdasarkan keilmuannya, seseorang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Konsekwensinya, sebagai seorang Muslim, dia harus melaksanakan segala yang diperintah dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT.
Itulah yang disebut muttaqin, manusia yang dijamin masuk surga. Sebagai orang berilmu, kita dilarang untuk mengikuti dan melaksanakan sesuatu secara taklid, yaitu mengikuti tanpa pemahaman. Kita justru diperintah untuk bersikap ittiba, yaitu mengikuti dan melaksanakan sesuatu dengan penuh kesadaran dan pemahaman yang benar. Dalam konteks ittiba itulah penulis mengkaji substansi hukum yang terkandung dalam hadits Rasulullah SAW tersebut dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi di Indonesia pada umumnya, kasus Abdullah Puteh serta para pendukung khususnya.
Setidaknya ada empat substansi dari hadits tersebut. Pertama, tidak boleh ''membela'' koruptor. Ketika Usamah bin Zaid meminta keringanan hukuman bagi sang pencuri, dengan tegas Rasulullah SAW menjawab: ''Apakah kamu akan meminta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah?'' Pernyataan tersebut dengan tegas menolak segala bentuk bantuan, langsung maupun tidak langsung terhadap seorang pencuri (terdakwa). Bantuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bersubhat (konspirasi) dengan terdakwa sehingga orang terkait bisa dikenakan status tersangka. Ini dibuktikan dengan permintaan Usamah agar nabi Muhammad memohon ampunan dari Allah atas tindakannya.
Koruptor adalah pencuri yang mengambil uang atau harta negara, perusahaan atau milik orang banyak dengan cara melawan hukum yang dengan tindakan itu negara dirugikan keuangannya atau merugikan perekonomian negara. Banyak kasus korupsi, apalagi kelas kakap yang sukar dituntut oleh jaksa atau lolos dari hukuman majelis hakim karena piawainya pengacara atau sindikat yang berada bersama tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan kasus Usamah di atas, jaksa dan atau hakim harus berani melakukan terobosan untuk memeriksa pengacara, dokter atau para pendukung, setidaknya sebagai saksi agar seorang koruptor tidak bebas hanya karena kelincahan pengacaranya, bukan karena tersangka/terdakwa memang tidak bersalah.
Kasus yang paling mencolok adalah terdakwa mantan Presiden Soeharto. Pengadilannya dihentikan karena menurut tim dokter, Soeharto mengalami gangguan otak permanen. Anehnya, dalam Pemilu 2004 televisi menayangkan bagaimana Soeharto ikut mencoblos di TPS. Bukankah orang yang mengalami gangguan otak tidak bisa berpikir secara normal untuk menentukan suatu pilihan yang terbaik menurut dirinya sendiri? Seharusnya jaksa dan hakim memeriksa tim dokter Soeharto, minimal sebagai saksi, apakah Soeharto betul-betul sakit atau sekadar sakit politik. Terobosan hukum yang diajukan ini tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan profesi dokter dan pengacara tetapi sebagai peringatan agar pengacara hati-hati menerima perkara yang kliennya jelas bersalah.
Kedua, keadilan hukum. Sudah menjadi slogan, pencuri ayam dipenjara, koruptor bebas keluyuran. Tetapi hadits di atas menegaskan bahwa semua manusia sama di depan hukum. Inilah keadilan hukum yang harus ditegakkan sebagaimana pernyataan Nabi Muhammad dalam hadits tadi, ''Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan jika seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman.''Prinsip keadilan hukum ini pernah diterapkan pada zaman Khalifah Ali bin Abu Thalib. Ali sebagai khalifah dilaporkan oleh seorang budak keturunan Afrika karena masalah perdata. Di depan Kadi, Ali dan budak tersebut duduk sejajar dan sesuai dengan fakta yang ada, Ali dinyatakan bersalah.
Dalam konteks ini, penindakan kasus korupsi, tidak dilihat, siapa pelakunya dan berapa jumlah uang yang dikorup, tetapi ada atau tidak fakta korupsi tersebut. Ilustrasi matematikanya seperti ini. Setiap hari seorang karyawan mengambil uang kantor Rp 1.000, yang kalau dipakai untuk membeli permen hanya dapat tiga biji. Jika 1 juta karyawan seluruh Indonesia melakukan hal yang sama setiap hari, berarti negara mengalami kerugian Rp 1 miliar. Jika tindakan karyawan tersebut dibiarkan dengan anggapan hanya Rp. 1.000 yang diambil, maka setahun negara dirugikan sebesar Rp 365 miliar. Oleh karena itu, masyarakat harus bergotong royong dengan instansi terkait dalam mengganyang para koruptor, baik kelas teri maupun kelas kakap.
Bukan sebaliknya, bergotong royong dalam membantu koruptor. Pegawai swasta atau negeri yang mengetahui informasi atau punya data-data tentang koruptor kelas kakap yang sering dibicarakan publik, sampaikan kepada kepolisian, kejaksaan, media massa, atau langsung ke KPTPK. Bagi mereka yang pernah bekerja sama atau menjadi agen dari koruptor dan mau bertobat, silahkan lapor ke KPTPK. Selain meringankan hukuman kalau ternyata saudara juga dikenakan tuduhan tindak pidana korupsi, juga hukuman saudara di akhirat akan diringankan oleh Allah SWT. Ingatlah bahwa hukuman bagi kasus korupsi di akhirat berat sekali. Alquran menegaskan: ''Hendaklah kamu bertolong-tolongan dalam kebaikan dan takwa dan jangan kamu bertolong-tolongan dalam kejahatan dan permusuhan.'' (QS Al Maidah: 2)
Ketiga, tidak boleh KKN. Menjadi rahasia umum, kalau anak pejabat berbuat salah dibebaskan. Di bidang bisnis, dengan menggunakan nama orang tua, saudara, atau teman yang punya jabatan, seseorang dapat memperoleh proyek atau jabatan tertentu. Mungkin itu yang terjadi dengan bisnis anak-anak Soeharto ketika beliau berkuasa. Inilah yang disebut kolusi dan nepotisme, sesuatu yang dilarang Islam sebagaimana substansi ketiga dari hadits di atas.
Usamah bin Zaid adalah seorang sahabat yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Usamah adalah anak dari Zaid Bin Haritsah, budak yang pertama masuk Islam kemudian menjadi anak angkat Rasulullah SAW. Dapat dibayangkan betapa rapatnya hubungan mereka. Tetapi nepotisme dalam kejahatan dengan tegas ditolak oleh Nabi Muhammad. Kolusi dalam kejahatan juga ditolak karena perempuan yang mencuri tersebut adalah keturunan bangsawan sehingga Usamah terdorong untuk meminta keringanan hukuman.
Keempat, aspek law enforcement. Hukuman badan dalam Islam sering disalahartikan oleh sebagian kalangan. Ada yang menganggapnya sebagai sadis, kejam, atau melanggar HAM. Jika hukuman potong tangan dianggap melanggar HAM pesalah, bagaimana HAM rakyat atau orang yang uang atau hartanya dicuri? Jika hukuman bunuh dianggap melanggar HAM pembunuh, bagaimana HAM anak isteri dan orang tua dari orang yang dibunuh?
Hukuman badan
Substansi keempat dari hadits di atas adalah bagaimana pun baiknya suatu undang-undang dan peraturan, jika tidak diikuti dengan penegakkan hukum, maka sia-sialah semua itu. Peraturan three in one di Jakarta tidak berdaya guna dan berhasil guna karena polisi tidak tegas terhadap joki dan sopir yang melanggar aturan tersebut.
Singapura dan Malaysia adalah Negara yang menerapkan hukuman badan bagi jenis pelanggaran tertentu. Hasilnya, rakyat relatif tertib dan patuh melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada sehingga supremasi hukum dijunjung tinggi. Cina adalah negara komunis terbesar di dunia, belasan tahun silam tergolong sebagai salah satu negara terkorup di dunia, sama dengan Indonesia. Hanya dalam beberapa tahun setelah diterapkan hukuman mati bagi koruptor, Cina sekarang tidak lagi sekelompok dengan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia.
Pelaksanaan hukuman badan di ketiga negara tersebut menjadi bukti kebenaran hukuman badan yang dilaksanakan Rasulullah SAW, sekitar 15 abad yang silam. Ini karena hikmah dari hukuman badan (hudud, qishas) selain membuat pesalah merasa kapok dan tidak akan mengulangi perbuatan yang sama, pada waktu bersamaan anggota masyarakat menjadi ngeri untuk melakukan kesalahan seperti itu.
Dalam konteks law enforcement ini, pemimpin, suku, agama atau golongan manapun jangan seperti cacing kepanasan kalau ada anggotanya yang terkena proses hukum. Justru mereka harus mendorong tersangka atau terdakwa untuk sabar dalam menjalani semua proses tersebut sehingga tiga hasil dapat diperoleh sekaligus: 1) Membantu terdakwa untuk memperoleh hukuman yang lebih ringan di akhirat karena dia telah menjalani hukuman di dunia; 2) membantu membersihkan budaya KKN; 3) Dengan demikian, secara bertahap kita bisa memberantas KKN di negara ini menuju suatu baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.(Abdullah Hehamahua, mantan Wakil Ketua KPKPN)
Tulisan ini diambil dari Republika, 30 Maret 2005