Ungkap Rekayasa Kasus Bibit-Chandra, MK Beber Rekaman Pembicaraan
Teka-teki rekayasa dalam kasus yang menjerat dua wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, bakal terjawab di gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga penjaga konstitusi itu memastikan akan memperdengarkan rekaman pembicaraan yang menjadi salah satu alat bukti rekayasa kasus.
"Memang benar, rekaman itu kami perdengarkan semuanya agar lebih transparan," kata Ketua MK Mahfud M.D. kepada Jawa Pos kemarin (1/11). Dia menegaskan, memperdengarkan rekaman itu memang perintah majelis saat persidangan lalu.
Menurut Mahfud, isi rekaman itu akan meyakinkan sikap majelis hakim yang menangani permohonan uji materi yang diajukan Bibit dan Chandra. Keduanya meminta mahkamah menguji pasal 32 huruf C UU KPK. Pasal itu mengatur bahwa pimpinan KPK baru dapat diberhentikan secara tetap bila telah berstatus terdakwa. ''Rekaman itu untuk meyakinkan hakim dalam menguji pasal itu. Prinsip penegakan hukum itu keterbukaan," ucapnya.
Meski siap memutar rekaman, lanjut Mahfud, MK tidak akan menyinggung aspek pidana yang disangkakan kepada Bibit dan Chandra. ''Kalau MK ikut menguji (kasus pidana), itu sama dengan merusak sistem hukum," terang guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu.
Bagaimana bila polisi memaksakan menyita rekaman dengan izin pengadilan negeri (PN)? Mahfud optimistis polisi tidak akan menempuh cara itu. "Rekaman itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan upaya kepolisian," ucap pria asal Madura itu. Apabila polisi menyelidiki delik lain dalam rekaman, penyitaan bisa dilakukan setelah persidangan MK.
Lebih lanjut Mahfud tak mau berandai-andai dengan sikap kepolisian. "Kalau kepolisian ada upaya menghalang-halangi, justru kami mempertanyakan ada agenda tersembunyi apa dari kepolisian," ucapnya.
Menurut dia, isi rekaman akan memperjelas kasus tersebut, khususnya siapa saja yang terlibat dalam kriminalisasi KPK. "Ya, kalau ada yang tidak beres dalam isi rekaman itu, polisi bisa mengusutnya. Usut saja siapa yang terlibat dalam rekaman itu," tambahnya.
Penjelasan tersebut juga sejalan dengan pidato Presiden SBY saat menghadiri acara National Summit beberapa waktu lalu. Presiden menegaskan siapa saja yang berusaha menghambat penegakan hukum harus minggir. "Saya membaca pesan presiden seperti itu," terangnya.
Hingga kini, kata Mahfud, rekaman itu belum ada di tangan para hakim MK. KPK baru menyerahkannya dalam persidangan Selasa nanti. "Saya juga belum mengetahui berapa banyak rekaman yang akan diperdengarkan," jelasnya.
Mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Gus Dur itu menekankan, hendaknya lembaga penegak hukum yang selama ini menunjukkan konsistensinya lebih dihargai pemerintah. "Jangan sampai penegak hukum itu berbicara keluar," terangnya.
Ketegasan MK dalam konflik KPK-Polri memang ditunjukkan sejak pekan lalu. Kali pertama MK mengeluarkan putusan sela yang meminta presiden tidak mengeluarkan surat pemberhentian terhadap Bibit dan Chandra, sebelum ada putusan final uji materi MK. Bukan hanya itu. Setelah putusan provisi tersebut, MK meminta KPK menyerahkan semua bukti rekaman yang menjadi pergunjingan nasional itu. Namun, setelah keputusan mengejutkan keluar, polisi langsung menahan tersangka dua pimpinan KPK itu.
Ihwal rekaman itu menyeruak setelah beberapa media massa memuat transkrip yang berisi dugaan rekayasa terhadap penetapan tersangka Bibit dan Chandra. Dalam transkrip itu ada pembicaraan Anggodo Widjojo, adik bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dengan beberapa petinggi Kejaksaan Agung, serta beberapa pejabat dari kepolisian. Polisi kemudian menegaskan sikap menyelidiki siapa yang membocorkan rekaman itu ke khalayak.
Pengacara Bibit dan Chandra, Taufik Basari, menegaskan, semua pihak harus menghormati sikap MK. "Ini sudah perintah pengadilan. Jadi, tak ada pihak mana pun bisa mengintervensi. Jadi harus dihargai," katanya di kantor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) kemarin. Dia menambahkan, dalam setiap momentum pembelaan, tim pengacara akan menyampaikan adanya dugaan rekayasa dalam penanganan kasus kliennya itu.
Kecil Kemungkinan Rekaman Berubah
Hingga kini rekaman yang akan mengungkap rekayasa kasus Bibit-Chandra masih tersimpan rapi di KPK. Rekaman tersebut diperoleh saat KPK menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan SKRT (Sistem Komunikasi Radio Terpadu).
Lantas, bagaimana sebenarnya KPK menjaga rekaman itu? Sebuah sumber di KPK menyebutkan bahwa rekaman itu amat terjaga. "Tidak semua orang bisa mengetahui isi rekaman atau mengakses tempat rekaman suara itu dibuat," jelas sumber itu. Mereka yang bekerja juga diharuskan melaksanakan aturan ekstraketat. "Semua yang bekerja di area itu tidak bisa sembarangan," sambungnya.
Bahkan, kata sumber itu, penyidik atau pimpinan KPK yang berkepentingan dalam penanganan kasus korupsi sekalipun tak bisa sembarangan meminta rekaman. "Harus ada prosedurnya dan itu sangat ketat," jelasnya.
Bukan hanya itu. Pengawas Internal (PI) di KPK juga terjadwal mengawasi dan mengaudit keluar masuknya rekaman itu. Di samping itu, ada sistem teknologi yang bisa mendeteksi keaslian rekaman. "Sangat-sangat tidak mungkin bisa ditambah atau dikurangi, sebab keasliannya bisa dianalisis," jelasnya.
Yang pasti, kecil kemungkinan rekaman itu berubah. Rekaman penyadapan di KPK itu hanya keluar saat di persidangan. Wakil Ketua KPK M. Jasin juga pernah menegaskan memiliki sistem komputer forensik yang menjaga otentisitas rekaman tersebut.
Sumber itu juga menerangkan bahwa KPK akan mengawal ketat hingga rekaman itu sampai ke MK. Sebab, segala kemungkinan masih bisa terjadi. "Semua kami antisipasi," tambahnya.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. menegaskan, KPK akan mematuhi perintah pengadilan. "Kami serahkan kepada MK. Mau dibuka atau tidak, itu terserah mereka," katanya.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mendukung langkah KPK menyerahkan bukti rekaman ke MK. Bahkan, lembaga antikorupsi itu tidak perlu menunggu hingga Selasa esok. "Tidak perlu menunggu. Harapannya, saat sidang (persoalan) itu sudah klir," kata Febri. Dia menegaskan, MK harus ikut ambil peran mengungkap kasus yang dialami Bibit-Chandra. Yakni, dengan memutar rekaman tersebut. "MK harus menjadi bagian untuk mengungkap rekayasa kasus itu," tegas Febri.
Selain itu, ada dorongan agar dibentuk tim penyelidik independen. Menurut Febri, itu penting untuk mengusut dugaan keterlibatan petinggi-petinggi kepolisian dan Kejaksaan Agung dalam skenario penetapan tersangka Bibit dan Chandra. "Untuk menjaga independensi, bisa dipertimbangkan jangan ada unsur dari kepolisian, kejaksaan, dan KPK dalam tim itu," urai alumnus Fakultas Hukum UGM, Jogjakarta, itu.
Presiden Panggil Tokoh-Tokoh Nasional
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara mendadak memanggil sejumlah tokoh nasional ke wisma negara di kompleks Istana Kepresidenan tadi malam. Mereka dipanggil untuk membahas penahanan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah.
Menurut sebuah sumber di istana, pertemuan yang dimulai sekitar pukul 21.20 itu dihadiri empat tokoh masyarakat. Yakni, Rektor Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dan Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia Teten Masduki.
Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana menolak berkomentar tentang pertemuan tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, SBY didampingi oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto dan staf khusus bidang hukum Denny Indrayana. Setelah pertemuan yang berlangsung tertutup itu, Djoko mengungkapkan bahwa presiden berinisiatif mengundang para tokoh karena menyikapi dinamika dukungan terhadap Chandra dan Bibit yang terus berkembang.
"Simpati itu sangat diakomodasi, tetapi dengan tetap mengedepankan serta menjaga keharmonisan kehidupan sosial dan politik," kata Djoko dengan didampingi para tokoh yang diundang SBY. Presiden juga meminta solusi agar kondisi sosial politik tidak terganggu.
Beberapa saran itu disampaikan oleh Hikmahanto. Salah satunya, presiden tidak ikut campur tangan dalam proses hukum tersebut. "Kapolri bisa melakukan gelar perkara untuk kasus Pak Bibit dan Pak Chandra dengan melibatkan ahli independen yang dipercaya masyarakat," kata dia.
Tentu saja, gelar perkara itu dilangsungkan secara tertutup. "Itu untuk menilai apakah langkah polisi sudah tepat," ujarnya. Alternatif lainnya adalah mengusulkan pembentukan tim pencari fakta (TPF) dengan melihat bukti-bukti dan pasal-pasal yang disangkakan kepada dua pimpinan nonaktif KPK tersebut.
Yang terpenting, lanjut Hikmahanto, mereka yang terlibat dalam kasus tersebut harus diproses. Langkah itu bertujuan untuk menjamin transparansi. "Namun, segala sesuatunya terpulang kepada presiden," terangnya.
Anies Baswesdan menambahkan, suasana pertemuan dengan SBY itu berlangsung terbuka. Setiap orang yang hadir diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat. Mereka bergiliran menyampaikan pendapat masyarakat soal penahanan Bibit dan Chandra.
''Kami sampaikan secara terbuka bahwa ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Di saat lembaga negara lain tak bisa diharapkan, KPK muncul membawa harapan masyarakat,'' katanya.
Namun, kata Anies, tidak ada kesimpulan dari pertemuan tersebut. Termasuk kepastian apakah benar-benar akan dibentuk tim independen. Sebab, kata Anies, SBY hanya mendengarkan masukan, tidak memberi kejelasan sikap dan tindak lanjut.
Tokoh Penjamin Terus Bertambah
Penahanan dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah menuai dukungan ratusan tokoh nasional. Mereka bersedia menjaminkan diri kepada polisi dengan catatan dua pimpinan KPK itu dibebaskan.
Kali pertama yang siap menjaminkan diri adalah sosiolog UI Imam B. Prasodjo. Dalam waktu tidak lama, dukungan kian besar. Mereka meyakini bahwa alasan penahanan Bibit dan Chandra tersebut kurang tepat. Lima pimpinan KPK yang saat ini aktif juga menjaminkan diri ke polisi.
Hal yang sama juga dilakukan Rektor UIN Komarudin Hidayat, pengamat politik Indria Samego, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution.
Salah satu pemicu mengalirnya dukungan itu adalah pernyataan polisi bahwa Bibit dan Chandra ditahan karena sering melakukan konferensi pers yang bisa memengaruhi opini publik.
Kesiapan para tokoh untuk menjaminkan diri tersebut juga menarik simpati mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. ''Kalau sudah ada ratusan tokoh, saya siap menjaminkan diri pula,'' ujar Gus Dur setelah bertemu dengan pimpinan KPK Sabtu (31/10).
Secara terpisah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) juga mempertanyakan ketegasan pemerintah terkait kasus tersebut. PB NU menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan. ''Kalau mau tuntas, kepala negara harus turun tangan,'' tegas Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi.
Hasyim menilai, kasus yang menimpa Bibit dan Chandra tak bisa dianggap sekadar kasus perorangan. Sebab, perhatian publik sudah sangat besar terhadap kasus itu. Bahkan, kata dia, suara dari akar rumput juga telah masuk ke PB NU agar ikut terlibat dalam kasus tersebut. ''Ini sudah bergeser dari kasus perorangan. Sekarang sudah timbul ketidakpercayaan di antara masing-masing lembaga di negeri ini,'' kata Hasyim.
Hasyim menilai, penahanan Chandra dan Bibit bisa dijadikan titik tolak untuk kembali menyusun setting lembaga hukum di Indonesia. Termasuk, memproporsionalkan kembali fungsi dan tugas KPK, Polri, dan kejaksaan. ''Kuncinya ada kepada presiden. Peristiwa semacam ini bukan hanya kasuistis, tapi satu titik saja dari garis bengkok keadilan hukum,'' tuturnya.
Hasyim juga mengkritik keras pernyataan Presiden SBY yang tidak mau mengintervensi kasus itu. Dia tidak sependapat jika SBY menolak terlibat lebih dalam pada upaya menemukan penyelesaian secara proporsional. ''Itu bukan intervensi. Disebut intervensi kalau dia (SBY) punya mau sendiri dan hukum punya mau sendiri,'' katanya.
Hasyim juga meminta Polri segera menjelaskan kepada publik soal sering berubahnya tuduhan atas Chandra dan Bibit yang menimbulkan banyak pertanyaan. ''Hukum legal formal tidak boleh bermuatan ketidakadilan,'' terangnya.
Dia kemudian menegaskan sikapnya untuk bisa bergabung bersana tokoh lain menjadi jaminan untuk kebebasan Bibit dan Chandra. Menurut Hasyim, selama itu bisa mengubah kebijakan Polri, dirinya siap pasang badan demi kebebasan dua tokoh KPK itu. ''Kalau itu ada gunanya, saya siap menjadi jaminan,'' katanya. (git/fal/aga/noe/zul/dwi/kum/agm)
Sumber: Jawa Pos, 2 November 2009