Untuk Kurangi Pengaruh Kapital, Parpol Harus Jeli
Dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung, partai politik mempunyai tanggung jawab menjaga proses demokratisasi berjalan baik. Parpol harus jeli memilih calonnya, jangan sampai hanya kapitalis lokal atau bahkan cukong luar negeri bisa menguasai satu daerah dengan membiayai calon kepala daerah.
Memang sangat klop dan sejajar keinginan kaum kapitalis ini dengan pemilihan kepala daerah, mereka pasti mau membiayai pilkada. Dalam hal ini, parpol harus bertanggung jawab jangan sampai ada sogokmenyogok dalam pencalonan, kata pengamat politik Arbi Sanit seusai sosialisasi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Rabu (16/3).
Selain itu, lanjut Arbi, KPUD dan juga Panitia Pengawas Pilkada harus membuat aturan yang tegas supaya penggunaan uang tidak wajar dapat dikontrol. Sumbangan yang berlebihan kepada calon kepala daerah sangat mungkin muncul pembelian suara untuk memenangkan pilkada.
Hal senada diungkapkan anggota KPU Anas Urbaningrum. Ia mengatakan, bila kaum kapitalis menguasai proses pilkada dikhawatirkan tidak menyentuh demokratisasi secara substansial. Bahkan, pengaruh kaum kapitalis yang sangat besar dalam pilkada akan mengaburkan substansi penyelenggaraan pilkada.
Padahal semangat pilkada langsung ini kan mengoreksi pilkada oleh DPRD yang banyak kekurangannya. Nah, mestinya proses demokrasi dalam pilkada ini langsung menyentuh ke substansial, jangan hanya prosedural saja, kata Anas.
Ini tergantung parpol, apakah parpol akan mempertahankan integritasnya atau justru hanya ingin mengambil keuntungan sesaat dengan jualan perahunya, katanya.
Tidak fungsional
Dalam kesempatan itu, Arbi juga mengatakan, dalam UU Pemerintahan Daerah memang disebutkan ada 16 calon persyaratan kepala daerah. Namun, persyaratan itu hanya bersifat administratif, bukan kualitatif calon kepala daerah. Akibatnya, pilkada hanya akan memunculkan calon yang memenuhi persyaratan administratif tetapi tidak berkualitas.
Hasil pilkada adalah terpilihnya kepala daerah tetapi hasilnya tidak fungsional terhadap penanggulangan masalah dan memajukan daerah, apalagi kalau dibiayai kaum kapitalis, kepala daerah terpilih pasti akan memikirkan bagaimana membalas budi, ungkap Arbi.
Krisis kepemimpinan lokal ini, lanjut Arbi, disebabkan ketiadaan atau mandulnya institusi penyiapan pemimpin yang berkualitas. Sejauh ini, kaderisasi pemimpin berlangsung alamiah tanpa program sistematik.
Calon tunggal
Sementara itu, sebanyak 11 KPU Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah yang dipimpin anggota KPU Provinsi Jawa Tengah Hasyim Asyari menanyakan mengenai kemungkinan munculnya calon tunggal dalam proses pilkada ke Departemen Dalam Negeri. Mereka diterima Direktur Pejabat Negara Ditjen Otonomi Daerah Depdagri Susilo. Dalam UU Pemda disebutkan bahwa setidak-tidaknya KPUD menetapkan dua pasangan calon, tetapi bagaimana bila sampai dengan masa pendaftaran calon habis tetapi hanya ada satu pasang calon, ini kan tidak diatur dalam UU, kata Hasyim.
Menurut Hasyim, sampai saat ini tahapan pilkada di 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah belum sampai pada pencalonan tetapi ada daerah yang situasi politik lokalnya mengarah ke sana. Misalnya di Kabupaten Purbalingga yang tampaknya konstelasi politik lokal mengarah ke sana, ujarnya.
Calon tunggal yang kemungkinan muncul di Kabupaten Purbalingga, kata Hasyim, ialah Triyono Budi Sasongko yang masih menjabat Bupati Purbalingga sampai 22 Maret. Triyono akan maju dalam pencalonan melalui PDI-P. (sie)
Sumber: Kompas, 17 Maret 2005