Untung-Rugi Selamatkan Century
Kegaduhan kasus Bank Century mulai menciptakan ”derivasi”, melebar ke mana-mana. Tulisan di The Wall Street Journal (Indonesian minister defends bailout, 10/12/2009), mengutip pernyataan Menkeu Sri Mulyani Indrawati, ”investigasi atas kasus penyelamatan Bank Century sebesar 700 juta dollar AS bermotif politik”, menuai kritik tajam dari para politisi.
Tulisan itu memicu perseteruan Menkeu Sri Mulyani (Ani) melawan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical). Hal ini tidak kalah serius dengan pertikaian antara KPK melawan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Presiden harus serius menangani kasus ini karena media massa asing telah menempatkannya sebagai isu penting yang menyita perhatian.
Dampaknya, bisa jadi investor asing berpikir ulang atau menunda investasinya di Indonesia atau melarikan modal ke luar negeri. Indonesia bisa mengulang kesalahan Thailand, yang mengalami instabilitas politik, karena pro-kontra terhadap mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Saat kasus ”cicak lawan buaya” berkembang, The Economist mengingatkan, ironis, justru pada awal pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terjadi krisis atau instabilitas politik yang bisa mengganggu sentimen positif karena Indonesia berhasil aman melaksanakan dua pemilu. Kini, insiden ”cicak lawan buaya” bisa dibilang berakhir, tetapi instabilitas terancam dengan kasus Century, berbuntut perseteruan Ani versus Ical.
Presiden harus segera mengambil langkah strategis menghentikan ini semua, seperti saat menyelamatkan KPK. Jangan sampai pertikaian ini mengacak-acak bangunan perekonomian Indonesia yang sedang susah payah ditegakkan dan sebenarnya mulai menuai hasil. Kurs rupiah yang nyaman dan stabil di level Rp 9.400 per dollar AS; didukung cadangan devisa 65 miliar dollar AS; serta indeks harga saham yang hampir menyamai puncak kejayaan di level 2.500, sungguh sayang jika harus hancur gara-gara polemik penyelamatan Century dan pertikaian besar Ani lawan Ical, yang sebenarnya kontraproduktif.
Adalah tugas politisi untuk membantu menenteramkan suasana sehingga perekonomian Indonesia tetap berjalan. Kini, Indonesia sedang menjadi favorit investor asing karena dua pilar: (1) stabilitas politik dan (2) stabilitas sektor finansial. Keduanya menjadi alasan kuat mengapa modal asing mengalir deras ke Indonesia. Pada saat yang sama, investor sedang menghindari Thailand yang politiknya ribut terus. Momentum ini jangan sampai hilang, gara-gara asyik memainkan agenda politik, kita mengabaikan perekonomian. Tidakkah politisi menyadarinya?
Kalkulasi sederhana
Saya belum bosan untuk menuliskan lagi, mengapa kebijakan penyelamatan Bank Century sudah benar. Selain dilakukan saat perekonomian Indonesia terimbas turbulensi krisis finansial global, saya juga mencoba membuat perhitungan sederhana tentang opsi yang ada. Ada tiga skema yang bisa dihitung.
Pertama, yang sudah terjadi, Century diselamatkan (di-bailout) saat pemerintah tidak menjamin dana nasabah bank 100 persen. Ongkosnya, Rp 6,7 triliun.
Kedua, berapa ongkosnya jika Century tidak diselamatkan dan kita tidak memiliki blanket guarantee? Kita bisa perkirakan ongkos langsung, yakni biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembalikan dana nasabah maksimal Rp 2 miliar per rekening. Sebelum terkena krisis, aset Century sekitar Rp 14 triliun, dengan dana pihak ketiga (simpanan masyarakat) sekitar Rp 9 triliun. Dengan asumsi ada nasabah yang memiliki Rp 2 triliun (versi lain mengatakan Rp 1,5 triliun), dan beberapa nasabah lain simpanannya di atas Rp 2 miliar per rekening, maka dana yang harus diberikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) taruhlah Rp 6 triliun.
Itu berarti, jika Century ditutup, biayanya lebih murah karena Rp 6 triliun lebih kecil daripada Rp 6,7 triliun. Haruskah Century ditutup saja? Tunggu dulu. Angka Rp 6 triliun itu adalah biaya langsung. Masih ada biaya tidak langsung yang juga harus dikeluarkan. Nasabah-nasabah besar di atas Rp 2 miliar di bank-bank yang setara (peer banks) amat mungkin menarik dana karena panik. Artinya, 23 bank lain yang selevel berpotensi kolaps.
Jika kolaps, LPS harus mengeluarkan biaya besar guna mengganti dana nasabah. Meski sulit memastikan angkanya secara tepat, bisa diprediksi jauh lebih besar daripada Rp 6 triliun. Kombinasi antara ongkos langsung ditambah ongkos tak langsung diperkirakan lebih mahal daripada Rp 6,7 triliun.
Ketiga, jika Century tidak diselamatkan, tetapi kita memiliki blanket guarantee. Skema ini mudah dihitung. LPS harus mengeluarkan biaya kira-kira sebesar seluruh simpanan masyarakat, sekitar Rp 9 triliun. Ternyata mahal juga.
Dari ketiga skema itu, penyelamatan Century seharga Rp 6,7 triliun masih lebih murah daripada dua skema lainnya. Masalahnya, masih banyak orang berpikir lain, sesuai imajinasi dan keyakinan masing- masing. Biaya LPS Rp 6,7 triliun, yang mestinya dibandingkan dengan dua skema lain itu, atau dibandingkan dengan aset total sektor perbankan kita Rp 2.400 triliun dan kini dalam keadaan stabil, atau dana masyarakat di bank Rp 1.800 triliun, tetap saja dituding mahal. Jika angka ini dibandingkan dengan berapa nasi bungkus yang bisa dibeli untuk penduduk miskin, menjadi amat fantastis dan dramatis.
Namun, saya berani memastikan, membandingkan biaya penyelamatan Century dengan nasi bungkus, atau biaya pemulihan gempa di Padang, sebenarnya tidak ada metodologinya. Tidak ilmiah dan tidak sistematis. Seharusnya, pembandingnya adalah aset dan dana masyarakat di sektor perbankan yang berhasil diamankan stabilitasnya. Dengan Rp 6,7 triliun, dana masyarakat di seluruh bank di Indonesia sebesar Rp 1.800 triliun dicegah dari kepanikan dan kebangkrutan.
A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 Desember 2009