Upaya 'Pembunuhan' KPK melalui RUU KUHAP
Pemberantasan Korupsi dalam Bahaya
UPAYA “PEMBUNUHAN” KPK MELALUI RUU KUHAP
Setelah gagal memangkas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2012 lalu, sejumlah oknum politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diam-diam mengambil kesempatan berupaya melemahkan dan bahkan “membunuh” KPK melalui proses penyusunan Undang-Undang (legislasi) di Parlemen. Salah satu peluang yang digunakan adalah melalui Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana atau juga dikenal dengan RUU KUHAP.
RUU KUHAP yang merupakan usulan Pemerintah, sejak 2013 lalu telah dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP dari Komisi III DPR yang dipimpin oleh Aziz Syamsudin dari Fraksi Golkar. Dengan alasan mendalami subtansi, Panja RUU KUHAP bahkan juga telah melakukan studi banding dibeberapa negara seperti Rusia. Panja juga telah memanggil sejumlah pihak -kecuali KPK -untuk membahas RUU KUHAP.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari proses pembahasan RUU KUHAP di DPR saat ini baik dari aspek subtansi, proses pembahasan dan pihak-pihak yang terlibat dalam Panja RUU KUHAP.
SUBTANSI RUU KUHAP
Sengaja atau tidak, RUU KUHAP terkesan meniadakan KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor. Ini dapat dilihat dari tidak adanya penyebutan lembaga lain diluar Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan (Negeri, Tinggi dan Mahkamah Agung). Tanpa penyebutan secara khusus, jika disahkan, regulasi ini dapat menimbulkan polemik atau multitafsir dikemudian hari.
RUU KUHAP juga memberikan kewenangan luar biasa bagi Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim Komisaris) untuk lanjut atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan dalam suatu proses pidana (termasuk kasuskorupsi).Hakim Komisaris juga punya kewenangan menangguhkan penahanan tersangka atau terdakwa, dengan jaminan uang atau orang.
RUU KUHAP juga jauh dari semangat pemberantasan korupsi. Bahkan dapat dinilai, RUU KUHAP menguntungkan koruptor.Padaintinya, Pasal 240 RUU KUHAP menyebutkan putusan bebas tidak dapat dikasasi ke Mahkamah Agung.
Kemudian, Pasal 250 RUU KUHAP intinya menyebutkan Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.Selain itu, RUU KUHAP juga tidak mengakomodir ketentuan apabila pelaku kejahatan atau korupsi adalah Korporasi/Perusahaan.
Secara lebih detail dalam catatan Koalisi, terdapat 12 hal dalam RUU KUHAP yang berpotensi “membunuh” KPK dan upaya pemberantasan korupsi.
- Dihapuskannya ketentuan Penyelidikan
Ketentuan RUU KUHAP menghapuskan ketentuan penyelidikan dan hanya mengatur ketentuan penyidikan (Pasal 1 RUU KUHAP). Peniadaan fungsi penyelidik memiliki konsekuensi hukum bagi seluruh institusi penegak hukum, termasuk KPK. Hilangnya penyelidik dari institusi penegak hukum akan membuat beberapa kewenangan juga turut hilang. Penyelidik punya wewenang untuk memerintahkan pencekalan, penyadapan, pemblokiran bank termasuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Karena penyelidikan hilang, maka di KPK tidak boleh lagi dilakukan tindakan-tindakan itu, Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan mengumpulkan barang bukti untuk meningkatkan perkara ke tahap penyidikan. Jika dua alat bukti sudah terkumpul, maka sebuah perkara bisa lanjut dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun, kalau penyelidikan ditiadakan dan langsung penyidikan, dengan begini penyidikan di KPK tidak dapat berjalan, Dengan tidak adanya penyelidikan, KPK dan lembaga penegak hukum lain tak bisa menelusuri, meminta keterangan, dan mengumpulkan alat bukti yang diperlukan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka suatu kasus.
- KUHAP berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHAP
Pasal 3 ayat 2 RUU KUHAP mengatur tentang ketentuan dalam UU ini (KUHAP) berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. Ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi (sebagaimana diatur dalam UU KPK) yang saat ini digunakan KPK.
- Penghentikan penuntutan suatu perkara
Pasal 44 RUU KUHAP mengatur tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hal ini bertentangan dengan semangat melakukan pemberantasan kejahatan tindakan luar biasa dalam UU KPK. Dalam UU tersebut KPK tidak dapat menghentikan penyidikan atau penuntutan.
- Tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap Penyidikan
Pasal 58 RUU KUHAP mengatur tentang persetujuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat). KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Di sini, hanya disebutkan kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
- Masa penahanan kepada tersangka lebih singkat
Masa Penahanan dalam RUU KUHAP lebih singkat dari UU KUHAP yang saat ini berlaku. Dalam Pasal 60 RUU KUHAP, masa penahanan ditingkat penyidikan hanya 5 hari dan dapat diperpanjang hingga 30 hari. Bandingkan dengan masa penahanan dalam Pasal 24 KUHAP yang saat ini berlaku yaitu selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari. Jangka waktu penahanan penyidikan yang lebih singkat dari KUHAP saat ini dapat mengganggu proses penyidikan. Apalagi dalam menangani kasus korupsi, jumlah saksi jauh lebih banyak daripada jumlah saksi dalam persidangan kasus tindak pidana umum.
- Hakim dapat menangguhkan Penahanan yang dilakukan penyidik
Pasal 67 RUU KUHAP mengatur tentang Penangguhan Penahanan dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa. Dampaknya adalah jika diminta tersangka atau terdakwa, maka Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
- Penyitaan harus izin dari Hakim
Pasal 75 RUU KUHAP mengatur tentang Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik.
- Penyadapan harus mendapat izin Hakim
Pasal 83 RUU KUHAP mengatur tentang Penyadapan pembicaraan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari Hakim. Jika hakim tidak setuju maka penyadapan KPK tidak dapat dilakukan.
- Penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan oleh hakim
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur tentang dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dalam ketentuan lain disebutkan jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK dapat dihentikan.
- Putusan Bebas tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
Pasal 84 RUU KUHAP mengatur tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. Berdasarkan ketentuan tersebut, kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.
- Putusan Mahkamah Agung tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Pasal 250 KUHAP mengatur tentang Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Hal ini berdampak pada Kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pengadilan pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika diajukan dikasasi. Ini menjadi celah bagi koruptor untuk mendapatkan korting/pengurangan jika prosesnya berlanjut hingga proses kasasi.
- Ketentuan pembuktian Terbalik tidak diatur
RUU KUHAP tidak mengakomodir pembalikan beban pembuktian untuk kejahatan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Di aturan soal TPPU yang sekarang ada beban pembuktian terbalik sempurna, di mana seseorang harus menjelaskan asal-usul kekayaannya.
PROSES PEMBAHASAN
Informasi yang Koalisi Masyarakat Sipil peroleh dari sejumlah pelapor menyebutkan proses pembahasan RUU KUHAP yang dipegang Komisi III DPR ditargetkan selesai dalam waktu cepat April 2014 atau selambatnya Oktober 2014. Proses pembahasan kedua RUU ini terkesan senyap karena beberapa proses pembahasan dilakukan secara tertutup, diam-diam untuk menghindari kritik atau perhatian publik maupun media. Sejumlah pertemuan pembahasan bahkan dilakukan pada malam hari.
Laporan pemantuan yang dilakukan oleh pelapor atau Koalisi KUHAP, menyebutkan setiap proses pembahasan umumnya hanya dihadiri kurang dari separuh anggota Panja dari yang berjumlah 27 orang. Umumnya kurang dari 12-13 orang yang hadir dan beberapa diantara anggota bahkan sekedar mengisi daftar hadir kemudian meninggalkan proses pembahasan.
Selain itu ada upaya pihak Panja RUU KUHAP untuk menutup akses terhadap dokumen hasil pembahasan. Koalisi LSM juga gagal memperoleh daftar isian masalah yang sudah disusun oleh DPR dengan alasan rahasia negara.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite untuk Pembaruan Hukum Acara Pidana (KuHAP) pada 23 Januari 2014, mendesak Pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan Rancangan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) pada periode DPR ini (2009-2014) sekaligus mendorong agar pembahasan dilakukan pada periode DPR mendatang (2014-2019). Sikap Koalisi didasarkan pada 4 (empat) argumentasi yaitu:
1. Masa kerja DPR periode 2009-2014 yang tersisa sangat singkat Masa kerja DPR periode 2009-2014 hanya tersisa sekitar 145 hari kerja. Rinciannya adalah Masa Sidang III 15 Januari-6 Maret 2014 (32 hari kerja) dengan kondisi pelaksanaan kampanye dan persiapan pemilu legislatif, Masa Sidang IV 12 Maret-10 Juli 2014 (81 hari kerja) dengan kondisi persiapan, pelaksanaan, dan pasca pemilu legislatif serta persiapan dan pelaksanaan pemilu presiden, dan Masa Sidang I 16 Agustus-30 September 2014 (32 hari kerja) dengan kondisi pengumuman dan pengukuhan anggota DPR periode 2014-2019. Waktu yang tersedia sangat singkat. Sementara di sisi lain, secara kuantitas jumlah pasal dan daftar isian masalah yang dibahas cukup banyak (1.169 daftar isian masalah). Secara kualitas, materi yang dibahas juga cukup kompleks, melibatkan banyak pemangku kepentingan, dan berdampak luas pada struktur hukum serta hak asasi manusia. Substansi KUHAP sangat penting dan fundamental bagi jalannya proses peradilan pidana. Apabila dipaksakan dalam kondisi dan waktu yang tidak mendukung, maka tentu akan berpengaruh pada kualitas substansi yang dihasilkan.
2. Konstelasi pemilu 2014 dan transisi masa jabatan DPR menyita waktu dan perhatian DPR Pelaksanaan masa kampanye legislatif sudah berlangsung mulai 11 Januari hingga 5 April 2014. Hal ini tidak dapat dipungkiri akan menyita cukup banyak waktu dan fokus anggota DPR untuk turun ke daerah pemilihan masing-masing. Setelah masa kampanye dan pemilihan legislatif selesai, DPR akan kembali disibukkan dengan agenda pemilihan presiden dan pergantian periode jabatan DPR. Dengan mempertimbangkan kondisi politik yang berkembang, waktu pembahasan yang singkat, dan fokus untuk melakukan pembahasan yang terpecah, maka substansi yang dihasilkan nantinya cukup rentan menuai permasalahan.
3. Belum adanya kesepakatan yang signifikan antara Pemerintah dengan DPR Pembahasan yang dilakukan selama ini bukan berarti sia-sia karena memang belum ada kesepakatan signifikan yang diambil oleh Pemerintah dan DPR. Dari pemantauan Komite terhadap 2 (dua) kali rapat kerja antara Pemerintah dengan DPR, tanggal 27 November dan 5 Desember 2013, pembahasan masih berkutat pada penghapusan penyelidikan dalam Rancangan KUHAP. Terkait hal tersebut serta topik-topik lainnya, belum ada kesepakatan yang diambil. Padahal pembahasan dapat dilakukan secara efektif karena Rancangan KUHAP sudah diserahkan Pemerintah kepada DPR pada 28 November 2012, lebih dari satu tahun lalu. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang cukup logis untuk melanjutkan pembahasan pada DPR periode ini.
4. Partisipasi dan pelibatan masyarakat tidak optimal dalam pembahasan Pembahasan suatu undang-undang, terutama apabila undang-undang tersebut cukup fundamental dan berdampak luas, sepatutnya membuka ruang pelibatan masyarakat secara aktif. Komite, dalam proses pembahasan memang pernah diundang pada Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi III (22 Mei 2013) atau beberapa kali berdiskusi dengan fraksi-fraksi di DPR, yang dilakukan atas inisiatif Komite. Namun, dalam perkembangannya, partisipasi dalam bentuk akses terhadap proses maupun dokumen cukup sulit untuk dilaksanakan. Perlu diperhatikan, Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, harus diberikan akses yang mudah terhadap masyarakat. Salah satu contoh, ihwal kemudahan ini tidak ditemui Komite ketika meminta daftar isian masalah yang sudah disusun oleh DPR dengan alasan rahasia negara.
KETUA DAN SEJUMLAH ANGGOTA PANJA YANG DIRAGUKAN
Langkah sejumlah politisi DPR untuk menyegerakan pengesahan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang dalam sejumlah ketentuannya mengandung upaya pelemahan atau “pembunuhan” terhadap KPK patut dicurigai, dan ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan catatan KPK, sudah ada 65 politisi Senayan yang telah diproses hukum oleh KPK, beberapa diantaranya telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan menjalani pidana sebagai koruptor. Selain itu, langkah penyidikan KPK dianggap merusak sumber pendanaan individu politisi atau partai politik untuk Pemilu 2014.
Proses pembahasan regulasi di DPR ibarat “bola liar”—tidak dapat dipastikan menuju ke arah yang lebih baik dan sangat mungkin dibuat asal jadi. Semangat sejumlah politisi Senayan saat ini cenderung lebih kepada melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi daripada memperkuatnya. Kondisi ini jika diteruskan akan berbahaya dan menjadikan KPK menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.
Dalam catatan Koalisi, berdasarkan Komposisi Anggota Panja RUU KUHAP. Ketua dan sejumlah anggota dewan dinilai diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dan bahkan beberapa diataranya tersangkut dalam kasus korupsi yang sedang ditangani oleh KPK. Aziz Syamsudin, Ketua Panja RUU KUHAP disebut oleh Saksi (AKBP Thedy Rusmawan) dalam persidangan kasus simulator (28/5/2013) menerima uang untuk memperlancar proyek simulator SIM. Aziz juga diduga tersangkut dalam kasus pembangunan proyek Pusdiklat Kejaksaan di Ceger.
Tidak hanya individu, Partai Politik secara institusi juga memiliki persoalan berkaitan dengan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangano oleh KPK. Partai Golkar misalnya. Saat ini terdapat sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan petinggi Partai Golkar seperti dalam kasus Suap di Mahkamah Konstitusi, PON Riau/Korupsi Kehutanan di Riau, Pengadaan Al Quran, Sejumlah Proyek di Banten (Atut-Wawan), dan Pengadaan Simulator SIM. Tidak hanya Golkar sejumlah Partai juga direpotkan dengan proses penindakan yang dilakukan oleh KPK.
Kondisi ini dapat berdampak pada proses pembahasan RUU KUHAP nantinya menjadi tidak sehat dan cenderung menjerumuskan KPK karena adanya konflik kepentingan. Muncul kecurigaan bahwa ada upaya pihak-pihak tertentu untuk penyelamatan pribadi maupun partai dari proses penindakan Partai melalui jalur proses pembahasan RUU KUHAP.
Berdasarkan sejumlah hal di atas, kami mengimbau rekan-rekan antikorupsi untuk melakukan perlawanan terhadap upaya pelemahan KPK dan melakukan segala upaya atau aktivitas yang dimaksudkan untuk mendesak :
- DPR untuk menghentikan proses pembahasan RUU KUHAP dan mengembalikannya kepada Pemerintah untuk diperbaiki; dan atau
- Pemerintah untuk melakukan penarikan naskah RUU KUHAP yang dianggap tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK.
Jakarta, 3 Februari 2014
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi
DAFTAR ANGGOTA PANJA KOMISI III DPR TENTANG RUU KUHAP
No |
Partai |
Nama |
|
Golkar |
Aziz Syamsudin (Ketua Panja ) Bambang Soesatyo Deding Ishak Dodi Reza Alex Noerdin Nudirman Munir |
|
Demokrat |
Pieter C Zulkifli Edi Ramli Sitanggang Ruhut Poltak Sitompul Harry Witjaksono Edy Sadeli Himatul Alyah Marcus Silano |
|
PDI P |
Trimedya Panjaitan Achmad Basarah M Nurdin Sayed Muhammad Muliady |
|
PKS |
Al Muzammil Yusuf Adang Daradjatun Fahri Hamzah |
|
PAN |
Tjatur Sapto Edy Taslim Riski Sidiq |
|
PPP |
Ahmad Yani Dimyati Natakusumah |
|
PKB |
Otong Abdurrahman |
|
Hanura |
Syarifuddin Sudding |
|
Gerindra |
Desmond J Mahesa |
Cat. total 27 orang anggota dari Komisi III DPR
POTENSI KONFLIK KEPENTINGAN
INDIVIDU
Aziz Syamsudin (Ketua Panja RUU KUHAP)
- Disebut oleh Saksi (AKBP Thedy Rusmawan) dalam persidangan kasus simulator (28/5/2013) menerima uang untuk memperlancar proyek simulator SIM
- Diduga terkait dalam proyek pembangunan proyek Pusdiklat Kejaksaan di Ceger
Bambang Soesatyo
- Disebut oleh Saksi (AKBP Thedy Rusmawan) dalam persidangan kasus simulator (28/5/2013) menerima uang untuk memperlancar proyek simulator SIM
Desmond
- Disebut oleh Saksi (AKBP Thedy Rusmawan) dalam persidangan kasus simulator (28/5/2013) menerima uang untuk memperlancar proyek simulator SIM
Nurdirman Munir
- Dinilai mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan kewenangan lembaga tersebut .
Syarifuddin Sudding
- Dinilai mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan kewenangan lembaga tersebut .
Ahmad Yani
- Dinilai mendukung upaya revisi UU KPK yang berpotensi melemahkan kewenangan lembaga tersebut .
Adang Daradjatun
- Tidak bersedia menyampaikan kepada KPK keberadaan istrinya (Nunun Nurbaiti) saat menjadi buronan kasus Travel Cheque
Fahri Hamzah
- Mewacanakan pembubaran KPK
PARTAI
No |
Partai |
Relasi Kasus Korupsi yang ditangani KPK |
|
Golkar |
Suap di Mahkamah Konstitusi, PON Riau/Korupsi Kehutanan, Sejumlah Proyek di Banten (Atut-Wawan), Pengadaan Simulator SIM |
|
Demokrat |
Proyek Hambalang, Wisma Atlet, SKK Migas |
|
PDI P |
Cek Pelawat, Wisma Atlet, PLTU Arahan |
|
Gerindra |
Pengadaan Simulator SIM |
|
PKS |
Impor Daging Sapi, dana DPID (Wa Ode) |
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP “PELUMPUH” KPK
Pasal 1 |
Cat. Tidak diatur ketentuan Penyelidikan. Penyelidikan dan Penyidikan digabung,
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menentukan tersangkanya. |
Pasal 3 |
(1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. (2) Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain. |
Pasal 44 |
(1) Penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. (2) Sebelum memberi putusan tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan penuntutan ke pengadilan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat memeriksa tersangka dan saksi serta mendengar konklusi penuntut umum. (3) Putusan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan penuntutan ke pengadilan adalah putusan pertama dan terakhir. (4) Apabila Hakim Pemeriksa Pendahuluan memutus suatu perkara tidak layak dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka penuntut umum mengeluarkan surat perintah penghentian penuntutan. (5) Apabila penuntut umum menemukan bukti baru atas perkara tersebut, penuntut umum meminta kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan agar diputuskan penuntutan dapat dilanjutkan. |
Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 |
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka. (2) Jika jaksa yang melakukan penahanan dalam tahap penyidikan tindak pidana tertentu, persetujuan penahanan yang melebihi 5 x 24 (lima kali dua puluh empat) jam diberikan oleh: a. kepala kejaksaan negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri; b. kepala kejaksaan tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau c. Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung. (3) Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan atas permintaan penyidik melalui penuntut umum berwenang memberikan persetujuan perpanjangan penahanan terhadap tersangka. (4) Untuk kepentingan pada tahap penuntutan, hakim pengadilan negeri atas permintaan penuntut umum berwenang memberikan persetujuan penahanan terhadap terdakwa. (5) Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang menangani perkara tersebut berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa. |
Pasal 60 |
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk waktu paling lama 5 (lima) hari oleh penyidik. (2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) hari oleh Penuntut Umum. (3) Dalam jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penahanan secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan dengan tembusan pada Penuntut Umum. (4) Setelah menerima surat dari Penyidik, Hakim Pemeriksa Pendahuluan wajib memberitahu dan menjelaskan kepada tersangka melalui surat atau dengan cara mendatangi secara langsung mengenai: a. tindak pidana yang disangkakan terhadap tersangka; b. hak-hak tersangka; dan c. perpanjangan penahanan. (5) Hakim Pemeriksa Pendahuluan menentukan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c diperlukan atau tidak. (6) Dalam hal Hakim pemeriksaan pendahuluan berpendapat perlu perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, perpanjangan penahanan diberikan untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari. (7) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan melakukan perpanjangan penahanan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberitahukannya kepada tersangka. (8) Dalam hal masih diperlukan waktu penahanan untuk kepentingan: a. penyidikan, hakim pengadilan negeri berwenang melakukan penahanan atas permintaan penyidik yang ditembuskan kepada penuntut umum, untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan
b. penuntutan, hakim pengadilan negeri berwenang melakukan penahanan atas permintaan penuntut umum, untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. (9) Waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atas permintaan penuntut umum dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal masih diperlukan dapat diberikan perpanjang lagi untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. (10) Apabila jangka waktu perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terlampaui, penyidik dan/atau penuntut umum harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. (11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menghadapkan tersangka kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 67 |
(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, sesuai dengan kewenangannya Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau hakim pengadilan negeri dapat menangguhkan penahanan dengan jaminan uang dan/atau orang. |
Pasal 75 |
(1) Penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan berdasarkan permohonan melalui penuntut umum. (2) Penyidik wajib menunjukkan surat perintah penyitaan dan surat izin penyitaan dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. (3) Dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2), penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. (4) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum dalam jangka waktu paling lama 1(satu) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penyitaan, untuk mendapat persetujuan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. (5) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan menolak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), barang yang disita harus segera dikembalikan kepada pemilik atau pihak yang menguasai semula. |
Pasal 83 |
(1) Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan. (2) Tindak pidana serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tindak pidana: a. terhadap Keamanan negara; b. perampasan kemerdekaan/Penculikan; c. pencurian dengan kekerasan; d. pemerasan; e. pengancaman; f. perdagangan orang; g. penyelundupan; h. korupsi; i. pencucian Uang; j. pemalsuan uang; k. keimigrasian; l. mengenai bahan peledak dan senjata api; m. terorisme; n. pelanggaran berat HAM; o. psikotropika dan narkotika; dan p. pemerkosaan. q. pembunuhan; r. penambangan tanpa izin; s. penangkapan ikan tanpa izin di perairan; dan t pembalakan liar. (3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan. (4) Penuntut umum menghadap kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersama dengan penyidik dan menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan melampirkan pernyataan tertulis dari penyidik tentang alasan dilakukan penyadapan tersebut. (5) Hakim Pemeriksa Pendahuluan mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan penyadapan setelah memeriksa permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. (7) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan memberikan atau menolak memberikan izin penyadapan, Hakim Pemeriksa Pendahuluan harus mencantumkan alasan pemberian atau penolakan izin tersebut. (8) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. |
Pasal 84 |
(1) Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui penuntut umum. (2) Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak; b. permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau c. permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi. (3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penyadapan dilakukan untuk mendapatkan persetujuan. (4) Dalam hal Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberikan persetujuan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penyadapan dihentikan. |
Pasal 240 |
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. |
Pasal 250 |
(1) Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, Pasal 242, dan Pasal 243 mengenai hukumnya, Mahkamah Agung dapat memutus untuk menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. (2) Dalam hal Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi, Mahkamah Agung memutus mengenai penerapan hukum dan tidak mengenai fakta atau pembuktian. (3) Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. |
KEWENANGAN HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN DALAM RUU KUHAP
Bagian Kesatu Kewenangan Pasal 111 |
(1) Hakim Pemeriksa Pendahuluan berwenang menetapkan atau memutuskan : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; b. pembatalan atau penangguhan penahanan; c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah; f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; i. layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan. (2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh penuntut umum. (3) Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i. |