Usul Gaji Presiden Masih Bisa Berubah
Departemen Keuangan menegaskan bahwa rencana kenaikan gaji pejabat negara, termasuk presiden dan wakil presiden, masih sebatas wacana.
Departemen Keuangan menegaskan bahwa rencana kenaikan gaji pejabat negara, termasuk presiden dan wakil presiden, masih sebatas wacana.
Masih hipotetikal, masih bisa berubah-ubah, kata Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan Achmad Rohjadi di Jakarta kemarin.
Menurut dia, rencana itu akan dibicarakan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan nota keuangan pada 16 Agustus.
Dia menjelaskan, sejauh ini Departemen Keuangan baru membahas rencana menaikkan gaji pegawai negeri sipil, tentara, dan polisi sebesar 20 persen. Kami belum menghitung kenaikan gaji pejabat negara. Itu mesti dihitung karena kemungkinannya (anggarannya) gede.
Dia mengungkapkan, untuk menaikkan gaji pegawai negeri sebesar 20 persen dan memberikan gaji ke-13 pada tahun depan saja, pemerintah harus menaikkan belanja pegawai sekitar Rp 7,5 triliun dari usulan pagu anggaran semula.
Usul kenaikan gaji presiden, wakil presiden, pejabat negara, dan menteri sekitar 5 persen dikemukakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi pada Selasa (26/7). Kenaikan, kata dia, akan mulai dilaksanakan pada 2006 dan diusahakan rasional.
Menurut Rohjadi, pemerintah harus mencari tambahan penerimaan negara bila ingin menaikkan gaji presiden, wakil presiden, pejabat negara, dan menteri. Sebab, beban pemerintah terus meningkat akibat naiknya harga minyak dunia dan beban subsidi. Bila tak ada penambahan penerimaan negara, berarti harus menggeser alokasi pos lain, ujarnya.
Rohjadi belum memerinci pos lain itu. Dia hanya menjelaskan, sejauh ini sektor pajak menjadi andalan pemerintah untuk menambah penerimaan negara.
Pada tahun 2000, era Presiden Abdurrahman Wahid, pemerintah mengusulkan kenaikan gaji presiden hingga Rp 100 juta, menteri Rp 40 juta, anggota DPR Rp 27 juta. Usul ini tak bisa direalisasi karena anggaran negara tak memungkinkan.
Anggota Komisi Keuangan DPR Dradjad Wibowo menilai rencana kenaikan itu sangat tidak pantas dengan kondisi keuangan negara saat ini. Langkah ini, menurut dia, tidak konsisten dengan gerakan penghematan yang dilakukan pemerintah. Ini (kenaikan gaji presiden) sama tidak pantasnya dengan kenaikan gaji anggota DPR, katanya.
Dradjad mengatakan, kenaikan gaji bagi pejabat tinggi memang tidak terlalu besar, sekitar Rp 400 miliar. Namun, hal ini tetap akan menimbulkan efek psikologis bagi masyarakat.
Menurut dia, berdasarkan simulasi Badan Pengkajian Ekonomi Departemen Keuangan, kenaikan gaji akan menimbulkan risiko domestik: suku bunga Sertifikat Bank Indonesia terus meningkat dan kurs rupiah melemah terhadap dolar. Efek selanjutnya, defisit negara bisa membengkak hingga Rp 15 triliun, ujarnya. SURYANI IKA SARI
Sumber: Koran Tempo, 28 Juli 2005