Utamakan Tangani Korupsi - Pembalakan; Penanganan Kasus Lingkungan Amburadul
Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada tahun 2008 tetap memprioritaskan penanganan dan penuntasan kasus korupsi dan pembalakan liar. Namun, banyak pihak meminta keseriusan itu bukan menjadi jargon semata yang justru bisa membuat publik apatis terhadap polisi.
Pembebasan terdakwa pembalakan liar, Adelin Lis, tahun ini membuat preseden buruk penegakan hukum lingkungan, khususnya di Sumut.
Dalam konferensi pers yang digelar jajaran Polda Sumut, Rabu (26/12), Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal Nuruddin Usman mengatakan, prioritas penanganan kasus korupsi dan pembalakan sudah ditekankan kepada jajaran kepolisian di Polda Sumut. Namun pengungkapan kasus korupsi tidak semudah pengungkapan pencurian atau kekerasan karena harus melibatkan banyak instansi, katanya.
Dalam kasus pembalakan liar, lanjutnya, polisi terus berusaha semaksimal mungkin mengungkapnya. Kami akan berkoordinasi dengan seluruh komponen criminal justice system, termasuk departemen lain, seperti Departemen Kehutanan, Lingkungan Hidup, dan sebagainya, kata Kepala Polda.
Terkait dengan kasus Adelin Lis, lanjutnya, polisi masih menjalin kerja sama dengan Mabes Polri. Tim sudah dibentuk dan masih berjalan untuk memburu Adelin. Nuruddin menyatakan, kemungkinan besar Adelin Lis masih berada di Indonesia. Namun yang bersangkutan sulit ditangkap karena selalu berpindah tempat sehingga dibutuhkan informasi dari masyarakat untuk mengetahui keberadaan yang bersangkutan.
Ditanya wartawan apakah ada aparat yang terlibat dalam kasus Adelin, Kepala Polda menjawab, Tidak ada.
Sampai saat ini masih terjadi kesimpangsiuran informasi dari Polda Sumut kepada masyarakat terkait dengan kasus pembalakan. Walhi Sumut mencatat, tiga kasus pembalakan telah dinyatakan SP3 (surat pemberitahuan penghentian pemeriksaan). Kasus itu melibatkan PT Grahadura Leidong Prima yang menguasai 14.000 hektar lahan di Kabupaten Labuhan Batu, PT Mazuma Agro Indonesia dengan lahan 12.266,43 hektar di Kecamatan Sosa dan Hutaraja Tinggi, Tapanuli Selatan, dan PT Karya Agung Sawita di Kecamatan Sosa, Tapanuli Selatan, yang menguasai 14.378,86 hektar lahan.
Mestinya Polda memberikan paparan lengkap mengapa penyidikan terhadap tiga perambah itu dihentikan, ujar Hardi Munthe dari Walhi Sumut.
Polda Sumut pernah menyatakan, ketiga kasus itu tidak bisa diteruskan berdasarkan asas lex superior derogat lex inferiori atau peraturan hukum yang lebih tinggi menguasai peraturan hukum yang lebih rendah.
Dalam kasus PT Sawita Leidong Jaya (SLJ), perusahaan sudah diaudit auditor independen, Forensic Legal Auditor Sophia Hadyanto & Partner berdasarkan permintan polisi tanggal 21 Agustus 2007. Dalam rekomendasinya, auditor menyatakan PT SLJ secara hukum berhak atas penguasaan tanah atau kepemilikan hanya perlu mengurus hak guna usaha untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum atas penguasaan tanah itu.
Menurut Kepala Satuan Tindak Pidana Tertentu Direskrim Polda Sumut Ajun Komisaris Besar M Butar-Butar, kesimpangsiuran status tanah terjadi karena Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang menyatakan bahwa lahan yang dikuasai PT SLJ merupakan bagian lahan hutan lindung tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Dalam UU itu dinyatakan hierarki perundang-undangan adalah UUD 1945, UU, peraturan pemerintah pengganti undang- undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah. SK menteri itu tidak masuk di urutan ini, katanya.
Sampai saat ini, ujar Hardi, polisi hanya menangkap pelaku pembalakan kecil, seperti sopir atau penggergaji pohon yang hanya buruh bergaji Rp 30.000 per hari. Potret penegakan hukum lingkungan tahun 2007 sangat suram, ujarnya. (WSI)
Sumber: Kompas, 27 Desember 2007