Utang 7 Obligor BLBI Susut Rp 7 T; Pemerintah-DPR Sepakati Perhitungan BPK
Banjir diskon menjelang Imlek juga dinikmati tujuh obligor bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Para pengutang kakap itu terbebas dari akumulasi bunga dan denda Rp 7,07 triliun setelah DPR dan pemerintah sepakat menetapkan nilai utang tujuh obligor BLBI Rp 2,297 triliun Rabu (6/2).
Kesepakatan dalam rapat kerja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Komisi XI DPR itu mengacu pada perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal, perhitungan auditor negara itu lebih kecil Rp 7,07 triliun dari temuan Tim Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham BLBI Departemen Keuangan yang menghitung jumlah kewajiban tujuh obligor BLBI mencapai Rp 9,368 triliun. Langkah menyetujui rekomendasi DPR itu membuat tujuh debitor BLBI terbebas dari akumulasi bunga dan denda.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah sudah lama menunggu keputusan DPR atas jumlah pasti tagihan yang akan diajukan kepada tujuh debitor penanda tangan PKPS BLBI. Ketujuh obligor BLBI adalah James dan Adisaputra Januardy (Bank Namura Internusa), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Omar Putihrai (Bank Tamara), Lidya Mochtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multi Karsa), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).
Berbekal ketetapan itu, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah segera memproses tagihan pada tujuh debitor tersebut. Dengan keputusan ini kami akan menggunakan kolom terakhir. Kalau menggunakan angka Rp 2,297 triliun, kami akan maksimalkan sebaik mungkin, kata Ani, panggilan Sri Mulyani.
Sebagai langkah pertama pelaksanaan kesepakatan itu, pemerintah akan menerbitkan surat paksa dan menyita aset-aset milik ketujuh obligor kakap tersebut. Kami akan melakukan penetapan jumlah piutang negara (PJPN) dan menerbitkan surat paksa. Kemudian, kami menerbitkan surat perintah sita, berita acara sita, kemudian eksekusi melalui surat perintah penjualan barang atau lelang, jelas Ani.
Mengapa perhitungan BPK yang dijadikan acuan? Ketua Komisi XI DPR Awal Kusumah mengatakan, alasan Komisi XI DPR agar pemerintah menggunakan tagihan utang berdasarkan hitungan BPK dilatarbelakangi pendapat mantan menteri koordinator perekonomian yang terkait kebijakan BLBI. Panitia Kerja (Panja) PKPS BLBI yang dibentuk komisinya juga sudah mendengarkan langsung keterangan BPK. Panja merekomendasikan pemerintah menggunakan angka BPK Rp 2,297 triliun, ujar Awal.
Dia menjelaskan, jumlah tagihan pokok versi Depkeu lebih besar Rp 243 miliar dibanding versi BPK. Sebelumnya Depkeu masih memakai angka tagihan Akta Pengakuan Utang (APU) awal yang jumlahnya mencapai Rp 9,36 triliun, terdiri atas pokok tagihan utang Rp 2,79 triliun ditambah denda dan bunga Rp 6,57 triliun. Angka itu digunakan dengan asumsi ketujuh debitor tersebut dianggap wanprestasi atau default.
Dengan ketetapan tagihan utang angka versi BPK tersebut, kewajiban ketujuh debitor saat ini untuk James dan Adisaputra Januardy Rp 303 juta, Atang Latief Rp 155,72 miliar, Ulung Bursa Rp 424,65 miliar, dan Omar Putihrai Rp 159,1 miliar. Lalu, kewajiban Lidia Muchtar Rp 189,039 miliar, Marimutu Sinivasan Rp 790,557 miliar, dan Agus Anwar Rp 577,813 miliar.
Dengan ditetapkannya angka versi BPK itu, empat debitor -James dan Adisaputra, Ulung Bursa, M. Sinivasan, serta Atang Latief- dianggap sudah melunasi kewajiban mereka. Sebab, nilai recovery ratio atau perbandingan jumlah aset yang disita dari mereka terhadap jumlah utangnya sebesar 0 persen.
Sri Mulyani merinci, obligor yang belum lunas utangnya adalah Omar Putihrai, Lidya Muchtar, dan Agus Anwar. Omar Putihrai yang mengutang Rp 159,1 miliar baru menyerahkan aset senilai Rp 158 miliar atau recovery rate-nya 99 persen.
Lidia Muchtar, dari utang Rp 189,039 miliar baru menyerahkan aset senilai Rp 561 juta atau 0,3 persen. Agus Anwar baru menyerahkan aset 11,1 persen atau Rp 64,3 miliar dari total kewajiban BLBI Rp 577,813 miliar. Beberapa aset yang dijadikan jaminan bagi pemerintah antara lain tanah dan bangunan ruko di Jakbar, Jaktim, Jakut, Jaksel, Depok, Bandung, Tangerang, Karawang, Bogor, Surabaya, Makassar, dan aset bangunan lain. Dari semua perhitungan, tingkat recovery rate atau pengembalian aset tiga obligor itu baru Rp 223,01 miliar atau 9,71 persen, ungkap Ani.
Pihak Tak Setuju
Tidak semua anggota Komisi XI DPR menyetujui rekomendasi obligor BLBI tersebut. Salah satu anggota Panja PKPS BLBI DPR Dradjad H. Wibowo mengatakan, besarnya perbedaan antara angka tagihan versi BPK dan versi Depkeu (APU awal) membuat penetapannya harus berdasarkan peraturan presiden (perpres). Silakan saja kalau komisi mau menyetujui itu. Dengan catatan, saya tidak bisa menerima keputusan karena terdapat selisih sangat besar antara BPK dan PKPS. Tapi, saya tidak akan mengganggu keputusan komisi, ujar Dradjad.
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengatakan, kesepakatan Komisi XI DPR dan Menkeu mengenai angka kewajiban debitor BLBI sangat mencederai rasa keadilan, karena tidak memperhitungkan beban bunga dan denda.
Menurut dia, keputusan itu sama artinya dengan pemerintah memberikan pinjaman murah kepada para debitor BLBI. Ini berarti rakyatlah yang menanggung utang para debitor BLBI, ujarnya. Seharusnya kewajiban yang dibayar debitor BLBI memperhitungkan beban bunga, denda, dan potensi pendapatan yang didapat apabila uang itu digunakan semestinya. (iw/kim)
Sumber: Jawa Pos, 8 Februari 2008