UU Perlindungan Saksi Mendesak Direalisasikan
Undang-Undang Perlindungan Saksi sudah mendesak untuk direalisasikan. Pasalnya, UU yang mengatur perihal perlindungan saksi sangat dibutuhkan dalam menangani kejahatan berat, seperti terorisme, pelanggaran HAM, korupsi, dan money laundering. Hingga saat ini, harus diakui penanganan kejahatan berat di Indonesia juga terkendala ketiadaan jaminan terhadap keselamatan saksi.
Pendapat itu disampaikan Muladi, guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro, Semarang, di Jakarta, Rabu (23/2). Perlindungan ini memang tak hanya ditujukan bagi pelapor, tetapi juga bagi korban tindak kejahatan, ujarnya.
Saksi penting dalam kejahatan berat, kata Muladi, sering menjadi sasaran ancaman, teror, dan intimidasi. Padahal, teror, intimidasi, dan ancaman itu dapat dikategorikan sebagai obstraction of justice atau gangguan terhadap proses peradilan. Oleh karena itu, Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi ini dibutuhkan dalam proses peradilan.
Sementara itu, sebanyak 23 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi dalam pernyataan sikapnya yang dikeluarkan Selasa (22/2) menilai, tidak ada alasan lagi bagi DPR menunda pembahasan RUU Perlindungan Saksi. Mereka menyatakan, semakin tertundanya pembahasan RUU itu akan berdampak luas terhadap proses penegakan hukum dan penyelesaian pelanggaran HAM. Hingga kini sudah banyak saksi yang menjadi korban karena tidak adanya perlindungan. Tidak adanya jaminan perlindungan, demikian pernyataan itu, sering kali menyebabkan saksi termasuk pelapor mengalami kriminalisasi atau tuntutan atas kesaksian atau laporan yang diberikannya, dan akhirnya menjadi tersangka atau terpidana.
UU Perlindungan Saksi merupakan amanat dari Ketetapan MPR Nomor VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Menurut Muladi, yang harus dipenuhi dalam UU Perlindungan Saksi adalah anonimitas atau samaran, safe conduct, video link, dan confidentiality atau kerahasiaan. Anonimitas atau samaran berkaitan dengan langkah untuk menyembunyikan identitas saksi yang sesungguhnya. Safe conduct adalah keringanan hukuman bagi saksi yang terlibat dalam tindak pidana jika bersedia bekerja sama. Video link dan teleconference adalah perlindungan dalam bentuk lain sehingga saksi tidak perlu hadir di persidangan, dan confidentiality adalah kerahasiaan saksi. (IDR/SON)
Sumber: Kompas, 24 Februari 2005