Vonis Bebas Nurdin Halid
Dalam referensi hukum dikenal adagium lebih baik membebaskan seratus orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Karena itu, dalam penanganan kasus hukum yang kesalahan terdakwanya berada dalam wilayah abu-abu (grey area), hakim cenderung membebaskan daripada menghukum.
Apakah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis bebas kepada Nurdin Halid -terdakwa kasus korupsi dana Bulog (koran ini, 17/Juni)- sudah berdasarkan pertimbangan Nurdin tidak terbukti melakukan kesalahan atau kesalahannya berada di wilayah abu-abu, sehingga lebih baik dibebaskan? Para hakim itu sendiri yang tahu.
Namun, demi transparansi dan aspirasi keadilan publik, putusan kontroversial tersebut harus diuji lagi. Baik melalui upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) maupun eksaminasi (penilaian/pengujian) internal oleh MA. Meski, kedua cara tersebut sangat mungkin tidak akan mengubah putusan bebas Nurdin.
Mengapa? Pertama, permohonan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum sangat mungkin ditolak MA. Apalagi bila MA menggunakan perspektif formal-legalistik, sehingga merujuk kaku pada ketentuan pasal 244 KUHAP.
Pasal tersebut menegaskan bahwa semua putusan pengadilan, selain putusan MA, bisa diajukan kasasi oleh terdakwa atau penuntut umum, kecuali terhadap putusan bebas. Saya kira, penasihat hukum Nurdin akan menggunakan pasal itu sebagai senjata menggagalkan dikabulkannya kasasi.
Kedua, eksaminasi bukanlah sebuah upaya hukum, melainkan mekanisme internal di MA untuk menilai atau menguji putusan hakim yang berfungsi sebagai bahan masukan atau referensi bagi penanganan kasus-kasus serupa di masa depan agar tidak mengulang kesalahan.
Selain itu, hasil eksaminasi merupakan masukan bagi pimpinan guna menilai kapabilitas serta integritas hakim-hakim yang membuat putusan tersebut. Hasil eksaminasi biasanya tertutup dan untuk konsumsi internal.
Meski demikian, karena kasus korupsi itu menyangkut kepentingan hajat hidup masyarakat, apa pun hasil putusan kasasi dan eksaminasi kasus Nurdin ini sebaiknya ditransparansikan karena publik berhak tahu.
Dengan begitu, mereka bisa mempelajari apa saja pertimbangan yuridis hakim, sehingga Nurdin diputus bebas. Apa pertimbangan hukum jaksa penuntut umum menuntut Nurdin hukuman penjara 20 tahun, tetapi kok kandas begitu saja?
Benarkah perkara korupsi ini masuk wilayah perkara perdata seperti yang diyakini para pengacara Nurdin atau sesungguhnya merupakan perkara pidana, namun jaksanya tak becus merumuskan dakwaannya dan gagal membuktikan kesalahan Nurdin?
Semua informasi (hukum) tersebut akan sangat berguna untuk pembelajaran kesadaran hukum publik. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah membuat justifikasi (judgment) negatif. Misalnya, menuduh majelis hakim menerima suap atau jaksanya sengaja membuat dakwaan yang lemah biar Nurdin divonis bebas dan sebagainya.
Jangan Membabi Buta
Semangat tinggi memberantas korupsi memang sangat diperlukan, apalagi di negeri yang korupsinya sudah menjadi way of life ini. Namun, semangat itu tidak boleh membabi buta menabrak rambu-rambu keadilan yang malah menciptakan ketidakadilan.
Kalau memang secara hukum tidak bisa dibuktikan bahwa Nurdin telah berkorupsi, vonis bebas adalah keharusan. Setidaknya hal itu memenuhi ketercapaian keadilan formal.
Namun, sesungguhnya, salah satu tujuan hukum adalah untuk menegakkan keadilan, bukan hanya berurusan dengan keadilan formal, melainkan juga keadilan substantif. Secara formal-legalistik, putusan hakim yang membebaskan Nurdin tentu memenuhi kriteria normatif yang berlaku, meski hal itu masih bisa diperdebatkan di ranah kasasi serta eksaminasi nanti.
Persoalannya, apakah keterpenuhan kriteria keadilan formal (prosedural) tersebut sekaligus memenuhi kriteria keadilan substantif yang diaspirasikan publik? Hal itu juga bisa diperdebatkan. Namun, di tengah suasana parahnya penyakit korupsi di negeri ini dan tingginya suhu pemberantasan korupsi yang sedang berlangsung, putusan tersebut menjadi kontraproduktif.
Sebagaimana yang dikatakan Indonesian Corruption Watch (ICW), vonis hakim itu melukai rasa keadilan dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Akan sangat bijak bila pendekatan hakim tidak formal-legalistik semata serta tidak berorientasi pada perwujudan keadilan formal belaka. Dengan demikian, hakim tidak sekadar menjadi mulut UU (bouche de la loi) seperti kata Montesquieu.
Vonis hakim adalah produk hukum. Seyogianya disadari bahwa hukum bukan hanya kebenaran menurut kaidah-kaidah dalam perundang-undangan, melainkan juga kebenaran menurut ukuran-ukuran keadilan serta moralitas.
Dalam pemahaman seperti ini, meski hukum itu valid secara formal (prosedural), bila bertentangan dengan moral dan keadilan, ia bukanlah hukum (an unjust law is not law). Pemikir hukum Johannes Masser menegaskan, hukum yang berisi ancaman-ancaman bagi kesejahteraan bersama tidaklah bisa dianggap valid.
Kalau hukum yang secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan seperti itu dan dipaksakan tetap berlaku karena dalih validitas formal-legalistiknya, kondisi tersebut akan menjadi akar kejahatan (kriminogenik) bagi timbulnya aksi-aksi pembangkangan sipil (civil disobedience).
Salah satu wujud pembangkangan sipil adalah tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Tentu kita tidak ingin wajah sejarah hukum kita dikotori tindakan anarkis massa yang menghukum sendiri para koruptor karena banyaknya koruptor yang diputus bebas pengadilan. Tindakan seperti itu sudah sering dilakukan massa kepada para pencuri motor, memang belum kepada para koruptor.(Prija Djatmika, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 24 Juni 2005