Vonis MK Itu Sudah Diduga
Sejak awal Desember, dua bulan yang lalu, banyak yang sudah menduga bahwa vonis Mahkamah Konstitusi tentang Pansus Angket KPK akan menyatakan KPK adalah bagian dari lembaga eksekutif, sesuai-antara lain-celotehan anggota DPR, tentang lobi-lobi dan “deal-deal” gelap.
Dugaan itu ternyata benar. Kamis (8/2) sore, di tengah kemacetan jalan menuju Bandara Halim Perdanakusuma dan di bawah guyuran hujan lebat, dua telepon seluler saya berebutan berbunyi. Ada serbuan pesan-pesan melalui WA dan SMS serta nada panggil karena ada yang ingin berbicara langsung.
Pesan-pesan yang masuk sebagian terbesar menyampaikan informasi dan pertanyaan. Informasinya, “Melalui Putusan No 36/PUU-XV/2017 dan Putusan No 40/PUU-XV/2017 Mahkamah Konstitusi memutus, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa dijadikan obyek angket oleh DPR karena ia merupakan bagian dari lembaga eksekutif”. Pertanyaannya, “Bagaimana tanggapan Bapak tentang vonis yang ternyata berlawanan dengan pendapat Bapak?”
Yang berbicara melalui telepon pun menyampaikan info dan pertanyaan serupa. Kepada mereka, jawaban pertama saya adalah sama. “Tak usah heran, sejak awal Desember 2017 saya sudah yakin keputusannya akan seperti itu. Alasannya, waktu itu sudah ada desas-desus yang akhirnya digiring ke Dewan Etik MK.”
Lalu, informasi dan pertanyaan tersebut saya tanggapi dengan tiga hal: (1) masalah kedudukan dan keberlakuan vonis MK; (2) masalah isi vonis itu sendiri; dan (3) masalah Pansus Angket KPK yang telah menyelesaikan sidang-sidangnya.
Sejauh menyangkut kedudukan dan keberlakuan vonis tersebut, saya tegaskan bahwa secara konstitusional putusan MK bersifat final, mengikat, dan harus ditaati. Itulah yang harus kita lakukan kalau mau berhukum dengan benar. Memang, seperti akan disampaikan di akhir tulisan ini, ada catatan problematik khusus atas vonis tentang pengeksekutifan KPK ini.
Lobi-lobi petinggi DPR-MK
Sejak awal Desember 2017, saya sudah menduga kuat MK akan menolak permohonan uji materi tentang konstitusionalitas Pasal 79 Ayat (3) UU No 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terhadap UUD 1945. MK tentu akan menyatakan, KPK adalah bagian dari lembaga eksekutif dan bisa dijadikan obyek angket oleh DPR.
Dugaan saya ketika itu muncul karena ada desas-desus tentang lobi-lobi antara oknum penting di DPR dan di MK sendiri. Apalagi ketika itu dari DPR tiba-tiba muncul pernyataan bahwa Pansus Angket KPK akan memperpanjang masa kerjanya karena akan menunggu vonis MK. Desas-desus itu dikonfirmasi oleh pernyataan anggota DPR bahwa ada semacam lobi yang berbicara tukar-menukar antara perpanjangan masa jabatan (pemilihan kembali hakim MK) dan vonis MK.
Dugaan saya pada saat itu tidak saya ungkap ke publik karena bisa-bisa dijadikan tembakan balik sebagai contempt of court atau sejenisnya, serangan terhadap peradilan. Apalagi pada waktu itu masalah desas-desus dan info panas dari anggota DPR belum menunjukkan pertanda akan berujung ke Dewan Etik MK. Akan tetapi, meskipun tidak mengungkapnya ke publik, kepada beberapa aktivis saya sudah menyampaikan kemungkinan isi vonis: “Permohonan uji materi akan ditolak”.
Saya berpendapat, kita tidak bisa menghalangi majelis hakim MK untuk membuat vonis apa pun “atas nama keyakinan hakim” meski kita menengarai ada permainan sesuai dengan berita-berita di media. Yang bisa kita lakukan dan sah secara hukum adalah menarik perkara yang sedang ditangani oleh MK karena secara moral dan etik ditengarai bermasalah.
Busyro Muqaddas dan kawan-kawan kemudian memang menarik perkara tersebut, tetapi MK tetap menjatuhkan vonis karena memang tak semua pemohon menarik perkaranya. Langkah Busyro Muqaddas dan kawan-kawan di KPK sudah cukup menjadi pukulan moral bagi mereka yang masih punya sisa moral.
Namun, dengan demikian, apakah hasil-hasil Pansus Angket KPK yang ada sekarang ini lantas jadi sah dan mengikat? Ini persoalan lain sebab saya dan banyak kawan sejak awal menganggap secara yuridis kelahiran dan kinerja pansus tersebut ilegal karena, minimal, tiga hal.
Pertama, Pansus Angket KPK ini sudah memulai memeriksa berbagai pihak sejak Juni 2017, padahal pengesahannya di dalam Berita Negara baru diperoleh tanggal 4 Juli 2017.
Kedua, pansus ini hanya diikuti enam dari 10 fraksi, bahkan dikabarkan akhirnya hanya tinggal empat fraksi yang ikut karena dua fraksi-Golkar dan Nasdem-menarik diri. Menurut Pasal 201 Ayat (2) UU No 17/2014, pansus harus terdiri atas semua unsur fraksi yang ada di DPR.
Ketiga, pansus dibentuk sebelum ada putusan MK bahwa KPK bagian dari lembaga eksekutif. Pada waktu itu ada, minimal, tiga vonis MK menyatakan KPK bukan bagian dari lembaga eksekutif, yakni vonis No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 05/PUU-IX/2011, dan Putusan No 049/PUU-XI/2013. Berdasar UU MK No 24/2003 sebagaimana telah diubah dengan UU No 8/2011, Putusan MK berlaku ke depan (prospective), tak bisa diberlakukan secara surut (retroaktive). Putusan MK No 36/PUU-XV/2017 dan No 40/PUU-XV/2017 yang diucapkan bulan Februari 2018 ini tentu tidak bisa diberlakukan terhadap Pansus Angket yang sudah dibentuk pada bulan Juni 2017.
Saling bertentangan
Ada catatan problematik lain terkait vonis MK yang terakhir ini. Isi vonis bertentangan dengan beberapa vonis MK sebelumnya yang menyatakan KPK bukanlah bagian dari lembaga eksekutif. Harus diingat, semua putusan MK secara sederajat bersifat final dan mengikat.
Pertanyaannya, mana yang berlaku dari vonis yang saling bertentangan ini, padahal kedudukannya sama-sama final? Jawabannya, tentu tak bisa disederhanakan dengan hanya mengatakan bahwa putusan yang terakhir menghapus putusan-putusan sebelumnya sesuai asas lex posteriori derogat legi priori.
Asas ini berlaku dalam pembentukan peraturan yang abstrak seperti dalam pembuatan UU, bukan untuk putusan-putusan pengadilan atas kasus konkret. Kalau untuk putusan pengadilan yang sudah sama-sama inkracht, demi kepastian hukum dan menghindari ne bis in idem, yang harus berlaku adalah yang pertama.
Moh Mahfud MD, Ketua Asosiasi Pengajar HTN dan HAN; Ketua MK 2008-2013
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 10 Februari 2018