Vonis untuk Urip Tri Gunawan
Pintu Masuk Usut Sjamsul Nursalim
Jaksa terdakwa penyuapan dan pemerasan Urip Tri Gunawan divonis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan hukuman 20 tahun penjara. Juga denda Rp 500 juta untuk mantan ketua tim jaksa penyelidik perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Urip dinyatakan terbukti menerima uang terkait dengan jabatannya sebagai anggota tim jaksa penyelidik perkara BLBI. Dia dinilai menerima uang dari Artalyta Suryani USD 660.000 dan dari Glenn Muhammad Surya Jusuf melalui pengacaranya, Reno Iskandarsyah, Rp 1 miliar.
Vonis yang dijatuhkan, pada satu sisi, sangat melegakan dan memberi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada sisi lain, vonis yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tipikor itu patut mendapat apresiasi. Vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan hakim lebih tinggi daripada tuntutan jaksa yang hanya 15 tahun penjara.
Sebagaimana diketahui, dalam sidang 22 Agustus 2008, JPU menuntut Urip 15 tahun penjara. Padahal, maksimal yang bisa dijatuhkan hakim adalah 20 tahun penjara atau seumur hidup.
Selain itu, vonis 20 tahun penjara merupakan pemecahan rekor sebagai vonis tertinggi di Pengadilan Tipikor. Sebelumnya, vonis tertinggi yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor adalah 10 tahun penjara dalam kasus pengadaan helikopter dengan terdakwa Abdullah Puteh (gubernur nonaktif NAD).
Namun, secara keseluruhan, vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor itu cukup memberikan efek jera dan rata-rata lebih tinggi daripada vonis perkara korupsi yang dijatuhkan pengadilan umum.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama dua tahun terakhir (2007-2008), vonis rata-rata di Pengadilan Tipikor adalah 4,4 tahun penjara, bandingkan dengan pengadilan umum yang hanya 1,6 tahun penjara untuk pelaku korupsi. Dalam sejarahnya, belum ada koruptor yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor, berbeda dari pengadilan umum yang telah menjatuhkan vonis bebas terhadap 438 pelaku korupsi.
Layak
Meski mengundang perdebatan, vonis 20 tahun penjara sudah selayaknya diberikan terhadap Urip didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, selama sidang, Urip tidak kooperatif dan berbelit-belit.
Meski fakta-fakta dalam sidang menyebutkan adanya komunikasi antara Artalyta dengan Urip dan pemberian uang suap terkait dengan pemeriksaan kasus korupsi BLBI, hingga sidang akan berakhir, Urip tetap bersikukuh bahwa uang dari Artalyta itu merupakan pinjaman untuk usaha perbengkelan. Dalam pemeriksaan dan sidang, Urip juga terkesan menutupi keterlibatan petinggi di Kejaksaan Agung.
Kedua, perbuatan terdakwa telah mencermarkan institusi kejaksaan. Terungkapnya praktik penyuapan yang melibatkan ketua tim BLBI itu, kenyataannya, berdampak pada menurunnya kepercayaan publik kepada kejaksaan pada tingkat yang paling rendah. Nama baik institusi kejaksaan menjadi sangat tercemar akibat praktik suap-menyuap yang dilakukan Urip.
Selain itu, secara lebih luas, ketidakpercayaan publik terhadap kejaksaan harus diartikan pula sebagai ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah yang dipimpin SBY-Kalla. Sebab, kejaksaan merupakan tulang punggung upaya pemberantasan korupsi yang sedang diusung pemerintah.
Ketiga, sebagai aparat penegak hukum, Urip seharusnya mengerti hukum (dan tindakan korupsi) serta menjadi teladan bagi masyarakat, bukan sebaliknya justru menjadi pelanggar hukum dan pelaku korupsi.
Pemberian vonis yang berat bagi Urip diharapkan bisa menjadi terapi kejut (shock therapy) bagi aparat penegak hukum lainnya, khususnya jaksa, untuk tidak melakukan tindakan menyimpang serupa pada masa mendatang.
Keempat, hakim tidak terikat terhadap jumlah tuntutan hukuman yang diajukan jaksa penuntut umum. Penjatuhan vonis hakim yang lebih tinggi daripada tuntutan jaksa merupakan suatu hal yang biasa dalam praktik penanganan perkara korupsi di pengadilan (umum maupun tipikor), selama tidak melebihi ancaman pidana sebagaimana pasal UU Korupsi yang didakwakan oleh jaksa.
Contohnya, Rokhmin Dahuri, mantan menteri kelautan, yang dituntut jaksa enam tahun, namun akhirnya divonis hakim Pengadilan Tipikor tujuh tahun penjara. Atau, Setiawan Haryono dalam kasus korupsi BLBI yang awalnya dituntut enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru divonis lima tahun penjara.
Dengan demikian, tidak ada ketentuan yang dilanggar bila vonis yang dijatuhkan hakim lebih berat daripada tuntutan jaksa.
Pintu Masuk
Selain penjatuhan hukuman terhadap Urip, sidang terhadap Urip (dan Artalyta Suryani) menegaskan banyak sinyalemen publik tentang indikasi permainan di balik penanganan korupsi BLBI, khususnya yang melibatkan Sjamsul Nursalim.
Fakta-fakta hukum yang terungkap dalam sidang dengan kedua terdakwa tersebut seharusnya dilihat sebagai poin penting bahwa suap USD 660.000 itu bukanlah pemberian yang berdiri sendiri, tapi merupakan imbalan yang berhubungan dengan penghentian penyelidikan kasus BDNI-BLBI II. Fakta-fakta sidang dan penjatuhan vonis bersalah terhadap Urip setidaknya bisa menjadi pintu masuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani kasus korupsi BLBI yang melibatkan Glenn M. Jusuf (mantan ketua BPPN), Sjamsul Nursalim (pemegang saham BDNI), serta sejumlah petinggi Kejaksaan Agung.
Saat ini, satu-satunya harapan penuntasan korupsi BLBI hanya ada pada KPK. Adanya fakta suap-menyuap yang dilakukan Urip dengan Artalyta terkait dengan penanganan korupsi BLBI Sjamsul Nursalim telah memenuhi alasan bagi KPK (sebagaimana diatur dalam pasal 9 dan 68 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK) untuk mengambil alih kasus korupsi BLBI.
Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 September 2008