Wajah Lain Suap
Langkah KPK melarang pejabat pemerintah dan jajaran instansinya menerima hadiah atau parsel dari bawahan, rekan kerja, rekan bisnis, atau rekan pengusaha dalam bentuk bingkisan bunga, bingkisan makanan, maupun barang berharga lainnya harus direspons positif.
Meski menuai banyak kritik, khususnya dari kalangan pengusaha parsel, larangan pejabat menerima parsel itu merupakan langkah maju dalam meminimalkan kemungkinan terjadinya suap. Sebagaimana kita ketahui, menjelang Lebaran, biasanya banyak pejabat yang menerima hadiah (gratifikasi) dari rekan kerjanya atau rekan bisnis serta bawahan.
Pada dasarnya, tidak ada salahnya kita menerima hadiah dari rekan kerja atau bisnis. Begitu pula sebaliknya, tidak salah kita memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih untuk menjaga hubungan baik. Bukankah hal seperti itu merupakan bentuk silaturahmi dan sangat dianjurkan bagi semua orang.
Namun, persoalannya di sini bukan pemberian hadiah, tapi lebih pada bentuk hadiah tersebut. Jika dulu pemberian hadiah itu berbentuk kue dan makanan (sebagai simbol silaturahmi), kini bentuk hadiahnya tidak sekadar kue dan makanan, tetapi mengarah pada hal-hal yang bersifat materi dengan nilai ekonomi tinggi.
Saat ini, gratifikasi kepada pejabat berbentuk, antara lain, perlengkapan masak, perlengkapan tidur, home theatre, perhiasan kristal, dan sejenisnya yang nilainya mencapai Rp 10 juta-Rp 20 juta. Angka sebesar itu tentu sangat tidak masuk akal jika dasar utama pemberian hadiah tersebut adalah untuk membina hubungan baik (silaturahmi).
Dengan angka sebesar itu, nilai silaturahminya kemudian hilang berganti menjadi nilai lain, semacam upeti pada zaman feodalisme atau sogok (suap) pada zaman sekarang.
Bentuk suap memang beraneka ragam dan cara orang menyogok pun bermacam-macam. Jadi, bukan tidak mungkin pemberian hadiah yang gila-gilaan jumlahnya itu mengandung unsur lain (hidden agenda). Sebab, jika memang berniat memberikan hadiah dengan maksud silaturahmi, mengapa harus sebesar itu?
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan tolok ukur pemberian hadiah kepada pejabat itu bisa mengarah pada kolusi (suap) dan korupsi. Pertama, dalam konteks politik, pejabat negara adalah mereka yang memegang kekuasaan strategis dalam birokrasi pemerintah.
Mereka memiliki relasi kuat terhadap pusat (kekuasaan). Relasi terhadap kekuasaan tersebut sering dimanfaatkan seseorang untuk kepentingan pribadi. Agar kepentingannya tercapai, cara yang dilakukan, antara lain, memberikan hadiah.
Kedua, dalam konteks ekonomi, pejabat negara memiliki otoritas mengatur dan menjadi eksekutor dalam kebijakan-kebijakan strategis. Misalnya, menentukan mitra kerja dalam proyek-proyek berskala besar.
Ketika kenal baik (dekat) dengan pejabat, seseorang biasanya sangat mudah mendapatkan proyek-proyek yang diajukan kepada pemerintah. Logika tersebut kemudian dijadikan alasan pembenar untuk (selalu) dekat dan bergandengan tangan dengan seorang pejabat.
Ketiga, dalam konteks struktur kekuasaan, pejabat negara memiliki wewenang menaikkan jabatan bawahannya. Setidak-tidaknya, mengusulkan atau memberikan surat sakti (rekomendasi) yang lazim dilakukan pejabat kepada orang lain.
Dengan mandat rekomendasi itu, bawahan sangat mudah mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan, jika kenal baik dengan seorang pejabat. Apalagi bawahan itu selalu berbaik-baik ria.
Mungkin karena alasan itu, KPK melarang pejabat negara menerima hadiah. Apalagi, KPK, sebagaimana dikemukakan Tumpak Hatorangan Panggabean, pernah menemukan seorang pejabat yang mendapatkan keuntungan hingga Rp 2 miliar setiap Lebaran. Pejabat itu menerima setidaknya 200 parsel yang masing-masing bernilai sekitar Rp 10 juta.
Gratifikasi kemudian menjadi semacam anomali dalam kekuasaan negara. Sebab, terjadi praktik-praktik yang tidak wajar. Bukan rahasia lagi, budaya sungkan juga sering berlaku dalam jagat politik. Contohnya, jika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, biasanya dia akan dibalas sesuatu yang setimpal. Sebab, orang yang mendapatkan hadiah itu merasa tidak enak kepada si pemberi hadiah.
Nah, dalam konteks gratifikasi tersebut, si pemberi hadiah secara tidak langsung (implisit) mengharapkan imbalan, meski tidak disebutkan secara langsung. Bentuk imbalan itu bisa beragam. Misalnya, kenaikan pangkat, minimal posisinya aman, jika yang memberikan bawahan. Mendapatkan megaproyek atau memenangkan tender, jika yang memberikan rekan bisnis dan seterusnya.
Gratifikasi yang awalnya merupakan sesuatu yang biasa menjadi luar biasa karena disusupi kepentingan tertentu. Meski, misalnya pemberian hadiah itu murni tidak memiliki pretensi apa pun atau kepentingan tertentu, hal tersebut tetap tidak etis karena diberikan kepada pejabat negara yang notabene memiliki pengaruh serta otoritas.
Mazwin Azwarini, mahasiswi Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 Oktober 2006