Wakil Rakyat Fiktif
Sebagai kepentingan bangsa, pemungutan suara pada 9 April 2009 mau tidak mau harus diselamatkan.
Di sini rakyat mempunyai ruang untuk menyaring, membuang, bahkan menghentikan periode kekuasaan legislator korup. Secara konstitusional, pemilu merupakan alat rakyat untuk mengontrol siapa yang berkuasa atau menyingkirkan yang tidak pantas memimpin. Itu idealnya. Mungkinkah hal itu tercapai?
Hingga kini, berbagai masalah masih menjadi polemik, mulai dari diragukannya data Komisi Pemilihan Umum tentang daftar pemilih tetap, potensi penggelembungan suara, kesalahan pencetakan surat suara, hingga minimnya pengawas di tempat pemungutan suara. Masalah itu tentu terkait kepentingan banyak pihak, khususnya parpol peserta pemilu.
Temuan PDI-P di beberapa daerah di Jawa Timur menunjukkan potret DPT fiktif. Di Trenggalek lebih dari 6.000 kasus dengan modus penggandaan nomor induk kependudukan hingga 16.000 pemilih. Bukan mustahil kebohongan data pemilih seperti ini tersebar merata di sejumlah daerah di Nusantara.
DPT fiktif dan penggelembungan suara dengan segala variannya tentu harus dilihat tidak hanya soal statistik mati sebab setiap suara merupakan perwujudan konsep penyerahan hak dan kepercayaan warga negara kepada orang tertentu. Dengan kata lain, adagium klasik one man one vote yang sesungguhnya adalah simbol bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Dan, rakyat dimaksud bukan dalam daftar fiktif yang disusun oknum-oknum korup di sejumlah daerah.
Demokrasi semu
Jika pemilu merupakan salah satu proses dan cara mewujudkan demokrasi—yang diharapkan menyejahterakan rakyat—memastikan aneka tahapan berjalan dengan benar dan jujur adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak mungkin membangun demokrasi perwakilan yang kukuh jika tonggak-tonggak dan prosesnya terdiri dari kebohongan dan rekayasa.
Pada titik inilah kisruh soal rekayasa DPT, penggelembungan suara, dan ”jual beli” suara akan menjadi musuh demokrasi perwakilan yang sedang dibangun. Secara formal, mungkin saja berbagai tahap Pemilu 2009 akan berjalan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Prasyarat prosedural akan terpenuhi. Tetapi, itu tidak cukup sebab pemilu yang kita inginkan lebih bersifat substantif, bukan hanya angka dan statistik perolehan kursi di legislatif.
Belajar dari pemungutan suara pada periode sebelumnya dan negara-negara demokrasi, kegagalan pencapaian kesejahteraan rakyat karena pemilu hanya dilihat dari aspek formalitas penyelenggaraan.
Untuk Pemilu 2009, hal-hal seperti ini penting dihindari karena demokrasi perwakilan yang sedang dibangun bukan demokrasi semu yang hanya menjadi alat legitimasi kelompok korup mempertahankan kekuasaan.
Legislator korup
Kinerja DPR 2004-2009 harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh bangsa. Dari aspek legislasi, penilaian publik justru amat buruk. Terlalu sedikit undang- undang yang telah disahkan bermanfaat langsung bagi masyarakat. UU itu sebagian besar terkait pemekaran wilayah, sebagian lain ditengarai UU politik hasil tawar- menawar kepentingan politik sempit partai tertentu. Wajah buruk kinerja legislasi juga terlihat dari fenomena ”tukang bolos”.
Di sisi lain, ditangkap dan ditahannya 9 anggota DPR oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah fenomena penting. Beberapa wakil rakyat dari sejumlah partai yang berjanji akan memperjuangkan nasib rakyat ternyata justru ”mencuri”.
Mereka dipilih rakyat dalam pemilu. Setiap kursi DPR rata-rata butuh 210.000 suara. Dengan kata lain, praktik korupsi adalah wujud pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan ratusan ribu warga yang memilih mereka. Kompleksitas persoalan DPR periode 2004 seharusnya menjadi pelajaran penting dalam penyelenggaraan Pemilu 2009.
Di tingkatan yang lebih pribadi, memastikan tiap kita yang mempunyai identitas dan kartu pemilih untuk memberikan suara adalah hal paling minimal yang bisa dilakukan. Jangan golput. Sedangkan pada tataran institusional, KPU merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengurai benang kusut masalah operasional pemilu. Lembaga pengawas juga berperan penting sesuai tugasnya.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi akan mendapat tugas berat. Persidangan yang adil dan tak memihak adalah implementasi eksistensi MK sebagai the guardian of constitution. Ini dimaksudkan agar DPR yang terbentuk nanti tidak diisi para wakil rakyat fiktif yang dilahirkan dari kebohongan.
FEBRI DIANSYAH Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, Kamis, 9 April 2009 | 05:58 WIB