Wapres : Penyebab Korupsi di DPR karena Kekuasaan DPR Terlalu Besar
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, banyaknya kasus korupsi di DPR disebabkan kekuasaan DPR yang terlalu besar (parliament heavy). Karena itu, Kalla meminta kekuasaan legislatif pada masa depan dikurangi agar fungsi check and balances legislatif dan eksekutif lebih seimbang.
''Setelah reformasi, inginnya kita membalik sistem agar tidak executive heavy dan ada check and balances. Namun, jadinya agak sedikit rancu. Sistem presidensial, tapi dalam praktiknya, mekanismenya seperti parlementer,'' ujar Kalla dalam paparan di hadapan peserta Kursus Reguler Lemhanas di Istana Wakil Presiden kemarin (5/11).
Pendapat umum pada era reformasi, seluruh aparat pemerintah brengsek sehingga semua lembaga pemerintah harus didampingi lembaga independen. Karena itu, Bank Indonesia lantas menjadi independen, pemberantasan korupsi dilakukan KPK yang independen, dan persaingan usaha diawasi KPPU yang independen.
''Pemerintah tidak boleh terlalu besar kekuasaannya. Jadinya agak aneh bila pemerintah tidak bisa memerintah. Bukankah fungsi pemerintah memang untuk memerintah?'' katanya.
Dari awalnya hanya ingin membalik sistem menjadi lebih berat ke parlemen, Kalla menilai, kini mulai terasa dampak buruknya bila lembaga politik diberi kekuasaan yang sangat besar. ''DPR korupsi karena kekuasaannya. Bagaimana orang mau korupsi kalau tidak punya kekuasaan,'' katanya.
Wapres mencontohkan, tidak ada negara penganut presidensial di dunia ini yang mewajibkan Dubes asing sebelum diterima presiden harus lebih dulu mendapat persetujuan DPR. Tidak ada negara lain yang pengangkatan panglima TNI dan kepala Polri harus disetujui DPR sebelum bisa dilantik presiden.
''Walau negara kita bukan parlementer, kekuasaan DPR amat besar. Mau menetapkan anggaran negara harus dengan persetujuan DPR, menjual perusahaan negara harus persetujuan DPR, bahkan menetapkan Dubes juga dengan persetujuan DPR.''
Kalla mengharapkan, sistem kenegaraan yang lebih condong ke parlemen dievaluasi setelah pemerintah dianggap tidak otoriter lagi. ''Sekarang kita taat kepada konstitusi karena kita disumpah untuk taat kepada UUD,'' tandasnya.
Di tempat terpisah, Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo tidak membantah bahwa DPR terkesan menjadi lembaga superbodi. Sebab, selain berwenang membentuk komisi independen, dalam realitasnya, DPR memang ikut memberi persetujuan kepada panglima TNI, Kapolri, dan duta besar.
''Tapi, menyalahkan DPR juga nggak bisa. Semua itu kan amanat konstitusi. Kalau pemerintah ingin kewenangan tersebut dihapus, ya amandemen saja UUD 1945. Tapi, amandemen itu jelas domainnya parlemen, parpol, dan masyarakat,'' katanya.
Menurut dia, pihak eksekutif sebaiknya memiliki political will untuk memercayai DPR dalam menjalankan fungsinya. Baik di bidang legislasi, bujet, maupun pengawasan. Apalagi, kata Tjahjo, DPR juga selalu berupaya menghargai sistem presidensial.
''Kalau pengawasan yang semakin ketat, itu wajar. Pemerintah tidak punya GBHN lagi, sebatas janji kampanye. Makanya, harus ada pengawasan yang efektif dari parlemen,'' tegas ketua Badan Pemenangan Pemilu Legislatif DPP PDIP tersebut.(pri/noe)
Sumber: Jawa Pos, 6 November 2008