Warisan Budaya Petani dan Priayi
KORUPSI merupakan persoalan klasik yang dari waktu ke waktu tidak pernah selesai dan mengalami jalan buntu. Rasanya kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan jika kita ingin negeri ini baik, segeralah para pemimpin ini diberi pertobatan yang serius.
Negeri ini pada dasarnya merupakan negeri sangat terpuji. Idealismenya luar biasa, akan tetapi korupsi sedemikian tingginya. Secara kultural, menurut saya, korupsi di negeri ini berbasis kepada budaya petani dan budaya priayi. Yang kedua-duanya adalah budaya pemalas.
Petani malas di negeri ini karena tanahnya yang sangat subur, tanpa harus bekerja keras sudah bisa mendapatkan apa yang mencukupkan hidupnya. Sedangkan, priyayi tidak perlu bekerja keras, karena bekerja keras artinya merendahkan diri.
Di sisi lain mereka harus hidup dengan mewah. Bagaimana kemewahan bisa didapat kalau mereka tidak bekerja? Ya tentu saja melalui keringat rakyat itu sendiri. Menurut saya itulah yang menjadi akar korupsi pada sekarang ini.
Kesadaran priayi yang merajalela muncul terutama di kalangan birokrasi dan kalangan elitenya. Termasuk elite agama, bermental priayi juga. Mereka ingin hidup sebagai orang yang bermartabat, karena itu hidup harus berkecukupan. Tapi, budaya kerja keras tidak ada. Maka yang tersedia hanya jalan pintas.
Sehingga kalau kita lihat, fakta yang terus bergulir sampai saat ini--meskipun segala usaha sudah dicoba--betul-betul menusuk perasaan kita semuanya.
Kekuatan di negeri ini, eksekutif, yudikatif, legislatif berkolusi melakukan korupsi di negeri ini dengan cara yang sangat transparan dan formal. Sebagian korupsi memang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan mengingkari hukum.
Tapi korupsi yang dilakukan dengan melipatgandakan penghasilan pada saat rakyat dalam penderitaan, sungguh luar biasa. Dan itu dilakukan dengan hukum. Melalui undang-undang anggaran, saya kira ini bukan lagi kemunafikan, tapi kekafiran. Kalau munafik itu masih malu-malu, tapi kalau kafir sudah secara terang-terangan melakukan kejahatan. Itulah yang terjadi saat ini.
Menguatnya budaya korupsi di negeri ini juga dipengaruhi oleh belum lamanya kita merasakan bahwa korupsi adalah suatu kejahatan. Dalam pemerintahan VOC, hal ini sudah disadari karena ada kesadaran dalam pemerintahan yang relatif modern.
Kita baru mulai sadar ada sesuatu kejahatan yang berhubungan dengan kekayaan publik, ketika kita baru mulai sadar perlunya pembedaan antara domain publik dan domain pribadi.
Ketika negeri ini merdeka, dengan warisan mental feodal dan teori kekeluargaan yang dipelesetkan, meski sudah jadi negara modern, pembedaan antara wilayah pribadi dan publik masih samar-samar. Itulah yang menambah seriusnya korupsi yang terjadi di negeri ini.
Menurut saya, langkah untuk memotong mata rantai korupsi yang sudah parah ini adalah dengan mengandalkan kekuatan civil society. Tapi itu butuh waktu yang lama. Sedangkan proses pencerdasan bangsa ini melalui pendidikan yang diselenggarakan negara masih jauh dari yang diharapkan.
Kalau kita mengandalkan kekuatan dari bawah, dari masyarakat yang cerdas itu, lama. Satu-satunya cara yang ditunggu adanya kehendak yang kuat dari pemimpin bangsa. Saya kira Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih ada niat untuk itu, belum terlambat. (P-2).
Sumber: Media Indonesia, 31 Oktober 2005