“Waspada Rekayasa Jilid II, KPK Harus Ambil Alih Kasus Gayus”
Rilis Konferensi Pers
Jauh –jauh hari, sesungguhnya publik sudah pesimis kasus mafia pajak Gayus HP Tambunan Cs akan bisa diungkap secara tuntas oleh kepolisian. Pasalnya, banyak fakta-fakta yang terungkap di persidangan menunjukkan adanya keterlibatan oknum petinggi kepolisian yang terlibat di dalam kasus tersebut. Sehingga sulit untuk percaya, kepolisian akan mampu menuntaskannya ditengah pusaran konflik kepentingan (conflict of interest).
Pernyataan itu bukan tanpa alasan, karena setidaknya ICW mencatat ada 10 fakta kejanggalan yang terjadi dalam pengungkapan skandal mafia pajak Gayus HP Tambunan ini. Baik dari segi kasus, hingga pada kejanggalan yang muncul dari para penegak hukum itu sendiri.
Kejanggalan paling mencolok dimulai dengan adanya desain sistematis untuk membonsai kasus ini. Dimana Gayus justru dijerat pada kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570.952.000, dan bukan pada kasus utama (main case) yakni kepemilikan rekening 28 M dan save deposit sebesar 75 M. Padahal, kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal muasal kasus ini mencuat. Bahkan yang terjadi saat ini, publik tidak tahu sama sekali perkembangan dua kasus tersebut. Seolah-olah hilang ditelan bumi. Manuver ini disinyalir by design sebagai skenario Kepolisian untuk “menghindar” dari simpul besar kasus mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi di institusi Kepolisian tersebut.
Pernyataan tersebut menjadi sulit dibantah, karena secara faktual beberapa petinggi kepolisian seperti Edmon Ilyas, Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, Raja Erizman sampai dengan Kabareskrim dan Wakabareskrim, hingga kini tidak tersentuh sama sekali. Padahal dalam kesaksiaan Gayus, ia menyatakan pernah mengeluarkan uang sebesar USD 500.000 yang diserahkan melalui Haposan kepada Perwira Tinggi Kepolisian agar blokir rekening uang dibuka.
Pada sisi yang berseberangan, pihak kepolisian cenderung melokalisir kasus ini hanya sampai kepada perwira menengah saja, yakni Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini. Keduanya seolah-olah dijadikan tumbal. Padahal, mereka hanyalah “pemain kecil” dan tidak berkedudukan sebagai pemegang keputusan dalam skenario kasus tersebut. Pada titik ini sebenarnya publik amat yakin kepolisian tidak akan mampu menuntaskan kasus ini karena adanya konflik kepentingan yang menggerogotinya. Karena yang ada hanyalah upaya untuk menutupi peran penting dari oknum petinggi di Kepolisian.
Sehingga apa yang terjadi belakangan seperti aksi “pelesiran” Gayus ke Bali, diyakini sebagai sebuah efek domino dari ketidakseriusan kepolisian untuk menuntaskannya. Hampir dapat dipastikan, akan akan ada banyak kejanggalan lain yang akan terjadi kalau saja masih kepolisian yang menangani kasus ini
KPK Harus Ambil Alih
Jika melihat kebelakangan, pada bulan maret 2010 sebenarnya KPK sudah memberikan sinyal bahwa mereka siap untuk mengabil alih kasus Gayus Cs. Namun Mabes Polri saat itu melalui Juru Bicaranya Edward Aritonang bersikeras Kepolisian tidak akan menyerahkan kasus ini, karena ia yakin kepolisian akan bisa menuntaskannya.
Penolakan ini tentunya menimbulkan banyak pertanyaan di mata publik. Karena secara logika sederhana saja, karena jika kasus ini diambil oleh KPK, institusi kepolisian pasti akan terbantu . Secara beban kerja mereka pasti akan berkurang. Oleh karena itu, penolakan ini bisa dibaca sebagai pesan dari Kepolisian, mereka sedang menyembunyikan dan menjaga sesuatu yang “besar”. Sehingga takut sesuatu yang besar itu akan beralih dalam genggaman KPK.
Namun apa yang terjadi belakangan ini, kasus Gayus tidak diungkap sampai pada otak yang sesungguhnya dibalik semua ini, hingga aksi pelesiran Gayus ke Bali, sudah cukup menjadi alasan bagi KPK untuk mengambil alih kasus ini. Karena Kepolisian secara nyata telah gagal dalam mengungkap simbul kejahatan mafia pajak tersebut.
Jika mengacu pada Undang-Undangan No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka secara yuridis formal KPK sudah berwenangan untuk melakukan supervisi terhadap kasus ini. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 9, tentang alasan pengambilalihan kasus korupsi. Setidaknya tiga klausul yang sudah terpenuhi diantaranya:
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Atas dasar inilah KPK dianggap sudah memenuhi syarat untuk mengambil alih kasus ini. Selain aspek yuridis tersebut diatas, sesungguhnya KPK juga memiliki modal kepercayan dari publik. Sesuatu yang sejatinya tidak dimiliki oleh Institusi Kepolisian hari ini.
Hal lain tidak kalah penting untuk diluruskan berkaitan dengan penolakan mabes polri, terkait pengambilalihan kasus ini. Sejatinya kepolisian tidak berwenang untuk itu, karena didalam pasal 8 ayat 3 UU KPK disebutkan:
“Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Dari pasal ini terlihat jelas, adanya klausul “wajib menyerahkan” sehingga tidak ada ruang bagi Kepolisian dan Kejaksaan untuk menolak KPK melakukan supervisi atas kasus Gayus. Karena konsepnya jelas “Pengambilalihan” bukan persetujuan pengambilalihan maupun permintaan pengambilalihan.
Desakan
- KPK harus melakukan supervisi atas kasus Gayus Tambunan Cs sesegera mungkin, dan menuntaskan kasus ini hingga dijeratkan aktor intelektual sesungguhnya.
- Kepolisian harus bersikap terbuka dan menghilangkan gelombang resistensi terhadap KPK dalam hal upaya pengambilalihan kasus ini.
- Presiden hendaknya bersikap aktif dalam membongkar kasus ini. Jangan sampai berlindung dibalik “selimut” tidak ingin intervensi dan malah mempercayakan penanganannya pada sistem yang “rusak”.