Wayan Sudhirta tentang Kampanye Politisi Busuk

Sebutkan Saja Namanya, kalau Salah ya Minta Maaf

Sebutkan Saja Namanya, kalau Salah ya Minta Maaf

Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Ketua DPR Agung Laksono mengingatkan agar Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (Ganti Polbus) tak gegabah menyebutkan nama. Namun, anggota DPD asal Bali, I Wayan Sudhirta, yang pernah ikut mengampanyekan gerakan serupa menjelang Pemilu 2004 justru menganjurkan.

Apa penilaian Anda terhadap munculnya Ganti Polbus untuk Pemilu 2009?

Baik itu. Prinsipnya, nggak ada yang dirugikan. Masyarakat yang memiliki hak pilih dan partai politik yang menjalankan fungsi rekrutmen caleg justru diuntungkan. Jadi, ada semacam warning agar memilih dengan lebih hati-hati.

Tentu saja, sepanjang kelompok LSM yang bergabung di Ganti Polbus tidak punya niat lain, di luar memperbaiki kualitas demokrasi. Asal itu tujuannya, mereka nggak usah takut.

Anda yakin Ganti Polbus akan objektif?

Kalau melihat LSM yang bergabung, ada ICW (Indonesia Corruption Watch) dan UPC (Urban Poor Consortium), saya optimistis mereka objektif.

Mereka kelak pasti melibatkan orang-orang yang punya kredibilitas tinggi untuk menjaring politisi yang masuk kategori busuk. Dengan demikian, kepentingan sempit atas nama pribadi, golongan, atau kelompok tidak bisa ikut menumpang di sana.

Ganti Polbus berencana mengumumkan daftar politisi busuk secara terbuka kepada masyarakat. Tanggapan Anda?

Kalau jujur, data valid, dan kriteria jelas, nggak usah khawatir, publikasikan saja. Jangan takut keliru.

Kalau memang terjadi kesalahan, segera klarifikasi, akui terjadi human error, dan cepat rehabilitasi nama politisi itu. Ganti Polbus tidak usah membela diri. Kalau tidak punya keberanian, orang tidak akan melangkah.

Tapi, ini kan menyangkut nama baik seseorang?

Benar sekali, maka Ganti Polbus harus hati-hati sekali. Namun, jangan khawatirlah.

Di Korea Selatan baru-baru ini, ada kejadian seorang politikus bersih tanpa sengaja masuk list politisi busuk. Dia lantas protes dan menggugat LSM yang merilis daftar tersebut. Melalui pengadilan, terbukti LSM bersangkutan keliru sehingga disanksi membayar ganti rugi. Tapi, semua berakhir manis, baik bagi LSM maupun politisinya.

Akhir manis seperti apa?

Rupa-rupanya, banyak komponen masyarakat yang bersimpati ke LSM tersebut dan ikut menyumbang untuk membantu. Sampai-sampai, uang yang terkumpul ternyata melebihi nilai ganti rugi sehingga bisa digunakan untuk mengembangkan jaringan kampanye antipolitisi busuk.

Sementara itu, si politikus juga tidak mendendam. Bagi dia, uang ganti rugi tersebut hanya menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah dan bukan politisi busuk. Lebih dari itu, si politikus justru mendapatkan berkah karena menjadi lebih populer.

Mungkinkah itu bisa terjadi di Indonesia?

Prinsipnya, kalau nanti Ganti Polbus terbukti melakukan kekeliruan, jangan membela diri. Kalau memang salah, akui saja. Di Indonesia, asalkan mengaku salah, kayaknya lebih enteng, nggak sampai ganti rugi. Cukup minta maaf dan rehabilitasi namanya, sudah klir. Kalau ada politisi busuk yang nekat melawan, pasti namanya bertambah hancur.

Bagaimana realitas kampanye antipolitisi busuk di sini selama ini?

Menjelang Pemilu 2004, gerakan antipolitisi busuk sudah muncul. Saya juga terlibat bersama teman-teman LSM di Bali sebelum maju sebagai calon anggota DPD. Tapi, seperti di daerah lain, efeknya tidak maksimal. Penyebab utamanya, LSM-LSM di daerah belum terlalu siap.

Apa tantangan kampanye Ganti Polbus?

Bagaimanapun, gerakan semacam ini rawan tekanan. Politisi busuk umumnya punya preman. Karena itu, kepolisian sebagai alat keamanan harus ikut melindungi.

Kesulitan kian terasa di daerah. Jaringan LSM lemah dan birokrasi cenderung masih apriori dengan hadirnya LSM. Dengan resistensi yang sangat tinggi, pencarian data memang lebih sulit. (priyo handoko/mk)

Sumber: Jawa Pos, 30 Mei 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan