Widjanarko Puspoyo Diganjar 10 Tahun; Terbukti Dua dari Tiga Dakwaan Korupsi

Mantan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo harus siap berlama-lama di penjara. Dalam sidang kemarin (4/2), pria yang akrab disapa Widjan itu divonis 10 tahun setelah dinyatakan terbukti melakukan dua kasus korupsi di antara tiga dakwaan jaksa.

Dua kasus tersebut adalah penerimaan hadiah (gratifikasi) terkait dengan impor beras dari Vietnam senilai USD 1,6 juta dan kasus korupsi ekspor beras ke Afrika Selatan Rp 78,3 miliar. Dalam dakwaan pertama, yakni kasus korupsi pengadaan sapi fiktif dari Australia Rp 11 miliar, Widjan tak terbukti berkorupsi.

Bobot hukuman Widjan lebih ringan daripada isi tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta agar majelis hakim menjatuhi hukuman 14 tahun penjara.

Majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Artha Theresia Silalahi menegaskan, selain hukuman penjara, Widjan dibebani denda Rp 500 juta atau enam bulan kurungan jika tidak mampu membayar. Terdakwa (Widjan) juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp 78,3 miliar. Apabila tidak membayar, harta bendanya disita dan dilelang. Jika tetap tidak memenuhi, terdakwa harus dipenjara (lagi) dua tahun, jelasnya dalam sidang kemarin (4/2). Artha didampingi dua hakim anggota.

Raut wajah Widjan tampak tegang dan gelisah saat mendengar hukuman berat tersebut. Mantan tokoh pemuda yang mengenakan setelan kemeja putih itu sesekali membenahi cara duduknya. Sorot matanya tetap tajam terarah ke meja hakim.

Majelis tidak memberikan kesempatan kepada Widjan untuk mengomentari isi putusan sekaligus mengajukan pernyataan banding. Begitu seluruh berkas putusan dibacakan, Artha yang juga kakak kandung presenter Rosianna Silalahi tersebut langsung mengetuk palu sebagai tanda berakhirnya sidang. Tiga hakim pun bergegas meninggalkan ruang sidang.

Widjan lantas menuju meja pengacaranya. Dia sejenak berbincang-bincang pelan dengan salah seorang kuasa hukumnya, Martin Pongrekun. Sejurus kemudian, puluhan wartawan langsung merubung Widjan. Pria kelahiran Jogjakarta itu terpaksa naik kursi untuk mengomentari isi putusan sekaligus mengajukan banding. Saya rasa putusan itu tidak adil. Saya akan mengajukan banding. Saya melihat ada fakta-fakta hukum yang tidak ter-cover dalam putusan, ujar Widjan setengah berteriak.

Dia lantas mencontohkan pendapat hakim bahwa dirinya tidak mengantongi izin dari menteri keuangan untuk mengekspor beras ke Afrika. Ekspor tersebut juga keputusan bersama, bukan perorangan. Saya nggak bisa dikenai pertanggungjawaban individu, tegasnya.

Widjan menuding bahwa putusan hakim dipengaruhi suasana di luar sidang tanpa mendetailkan tuduhan tersebut.

Selama sidang, di kursi pengunjung, tampak istri Widjan, Endang Ernawati, dan putranya, Rinaldi Puspoyo. Sedikitnya 10 pria berperawakan tegap dan berbaju safari tampak mondar-mandir selama sidang yang dimulai pukul 15.40 dan berakhir 17.10 tersebut.

Dalam amar putusannya, majelis membeberkan bukti bahwa Widjan menerima gratifikasi terkait dengan impor beras dari Vietnam. Gratifikasi senilai USD 1,6 juta itu dikirim melalui empat kali transfer dari Cheong Karm Chuen alias Steven sebagai perantara. Uang itu dikirim dari HSBC Hongkong ke rekening ABIL (Ardent Bridge Investment Limited, perusahaan milik adik Widjan, Widjokongko Puspoyo). Selanjutnya, uang mengalir ke rekening terdakwa (Widjan) di Bukopin, jelas Artha.

Dia juga membeberkan kasus ekspor beras. Menurut majelis, kebijakan ekspor ke Afrika menyalahi prosedur. Sebab, kebijakan tersebut tidak tercantum dalam pelaksanaan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) serta skema pendanaan Bulog pada 2004. Beras yang diekspor seharusnya disalurkan ke (pasar) dalam negeri. Kalaupun diekspor, Bulog harus memuat dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan, ungkapnya.

Majelis juga membeberkan patgulipat yang merugikan negara Rp 78,3 miliar atas ekspor tersebut. Sebanyak 51 ribu metriks ton beras atau 51 juta kilogram itu, kata Artha, dijual seharga USD 202 per metriks ton atau Rp 1.818 per kilogram. Harga itu jauh di bawah harga pokok penjualan yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 3.343 per kilogram, jelas hakim perempuan tersebut.

Untuk kasus pengadaan sapi, kata Artha, majelis menganggap Widjan tidak bersalah. Alasannya, kebijakan tersebut diambil berdasar usul tim monitoring. Saat itu tidak ada pilihan bagi Bulog selain melakukan pengadaan sapi untuk ketahanan pangan menjelang hari raya, katanya.(agm/tof)

Sumber: Jawa Pos, 5 Februari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan