Yang Tak Tersentuh

Rendahnya persentase vonis ganti kerugian dalam kasus perdata Soeharto adalah satu soal. Namun, bagaimana infrastruktur peradilan berfungsi memberikan keadilan adalah soal lain yang memicu kekecewaan berulang bagi rakyat.

Rendahnya persentase vonis ganti kerugian dalam kasus perdata Soeharto adalah satu soal. Namun, bagaimana infrastruktur peradilan berfungsi memberikan keadilan adalah soal lain yang memicu kekecewaan berulang bagi rakyat.

Menurut catatan ICW, hingga saat ini setidaknya telah dilakukan 26 kali upaya membuka kasus hukum mantan Presiden Soeharto. Mulai dari pengusutan harta yayasan pada 1 September 1998 sampai dengan tragedi penerbitan SKP3 oleh Jaksa Agung Abdurahman Saleh, 11 Mei 2006.

Sekarang, menjelang 10 tahun reformasi, rakyat kembali menjadi saksi, keadilan terus membentur dinding justru di rumahnya sendiri. Pengadilan. Dan, Tap MPR XI/1998 menjadi semangat reformasi yang terus-menerus dikhianati.

Sekadar ganti rugi
Di satu sisi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Soeharto sekaligus ahli waris tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, di sisi lain, yayasan divonis mengganti kerugian 105,7 juta dollar AS dan Rp 46,4 miliar. Atau, 25 persen dari jumlah uang negara yang disetor kepada yayasan. Seperti diketahui, Soeharto selaku presiden saat itu menerbitkan PP No 15/1976 dan SK Menkeu No 333/1978 yang memerintahkan bank-bank pemerintah untuk memberikan sisa laba bersih pada yayasan.

Di tengah besarnya harapan publik untuk mengungkap kebenaran kasus Soeharto, PN Jaksel justru menutup rapat pintu keadilan. Seolah dalam putusannya, hakim ingin mensimplifikasi kejahatan korupsi dan segala penyimpangan dalam masa pemerintahan Soeharto menjadi sekadar ganti rugi total Rp 997 miliar. Itu pun dibebankan pada yayasan.

Ada beberapa hal prinsip yang sering kali dilupakan. Pertama, orientasi pemberantasan korupsi yang belakangan sepertinya sengaja diarahkan pada pengembalian kerugian negara ansich dibanding penghukuman. Hal ini justru kontradiktif dengan upaya mengungkap kebenaran masa lalu. Majelis hakim sepertinya mencoba berlindung di balik dalil ini. Jadi, agaknya tidak salah jika dikatakan proses peradilan perdata merupakan satu bagian dari upaya sistematis membersihkan nama baik Soeharto dan keluarga dari jerat hukum. Upaya menutup-nutupi dosa Soeharto.

Kedua, putusan ini tidak semata menunjukkan lemah dan tidak independennya peradilan. Lebih dari itu, pendirian majelis hakim PN Jaksel sekaligus adalah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan