Yanuar Rizky:
Fakta pengakuan agus condro dan temuan 400 traveler’s cheque oleh PPATK merupakan indikasi kuat adanya praktek suap untuk mensukseskan pemilihan Miranda Goeltom sebagai Dewan Gubernur Senior bank Indonesia.
Namun hingga saat ini, proses hukum yang dilakukan oleh KPK sepertinya mengalami stagnasi. 41 anggota DPR yang diduga terlibat belum juga diperiksa KPK. Wajah Sponsor dibalik kasus suap ini pun semakin kabur. Ada apa dengan KPK?
Untuk mengkritisi proses hukum yang sedang berjalan di KPK, Indonesia Corruption Watch mengundang mantan Investigator Bursa Efek, Yanuar Rizki untuk mengomentari persoalan ini. Berikut rangkuman penuturannya:
Jika saya baca, sekarang ini fokus masalahnya ada pada traveler’s cheque karena ada pengakuan dari Agus Condro. Sebenarnya jika flashback kebelakang, penelusuran traveler’s cheque tidak terlalu sulit karena sudah ada pengakuan dari penerima. Yang sulit itu jika sebelumnya tidak ada pengakuan dari pihak penerima.
Kembali ke masalah traveler’s cheque, Agus Condro menerima traveler’s cheque dan setiap traveler’s cheque itu memiliki barcode. Saya perkirakan jenis yang digunakan adalah multi guna. Nah jenis multiguna nominal terbesar memang 50 juta, kemudian jika tidak salah kelipatannya 5 juta, 10 juta. Nah persoalannya apakah dengan mudah menghilangkan jejak jika yang mencairkan orang lain ?
Menurut saya tidak juga, karena dari sudut pandang asal muasalnya uang itu, barcode Cheque menunjukan pembelinya artinya tidak boleh beli traveler’s cheque kalau tidak ada identitas pembeli. Bahkan kalau belinya sudah diatas 100 juta itu wajib lapor karena ada prinsip logika klien di UU PPATK soal money loundring. Jadi jelas kalau saya beli seratus maka saya harus mencatatkan maksud dan tujuan sehingga ada verifikasi dan sebagainya.
Nah, kalau sudah beli itu sebetulnya tinggal dilihat, Agus Condro kan kan 500 berarti ada 10. tinggal diihat barcode dia yang mana. Cuma kan Pak Agus mengatakan bahwa sekarang dia sudah tidak pegang fee traveler’s chequenya, nah sebenarnya yang perlu dilakukan tinggal dilihat dimana Cheque itu dicairkan. Kalo tidak salah Agus Condro menguangkan di Pemalang, tinggal di lihat pada tanggal itu, pihak bank pasti mencatat karena itu merupakan prosedur normal. Kalau pihak Bank tidak mencatat maka Banknya salah, sudah pasti banknya harus kena tindak pidana. Intinya, siapapun yang menguangkan baik Agus Condro maupun 40 teman lainnya maka akan dicatat transaksinya oleh Bank.
Memang betul travel cheque ini bisa dicairkan oleh orang yang pegang aja. Tapi kan ada prosedurnya, walaupun saya cairkan hanya satu misalnya 50 juta maka saya harus menggunaka KTP, kemudian dimasukan ke database bank. Database Perbankan itu sangat tersentral di Bank Indonesia. Kemudian siapa yang berwenang menelusuri itu ya Bank Indonesia dan PPATK. Kalau PPATK terkait dengan dugaan pencucian uang dan Bank Indonesia terkait dengan menejemen resiko perbankan.
Sebenarnya kasus ini sudah tidak terlalu sulit karena kelihatannya PPATK cukup cekatan. Seperti yang diungkapkan Pak Yunus Husein memang teknisnya seperti itu. Kalo saya ringkas prosedurnya yaitu menelusuri ke databasenya BI, Agus Condro mau mencairkan barcode berapa, misalnya dicairkan dari barcode nomor sekian kemudian dicari buyernya dan buyer itu ditanya dia beli traveler’s cheque nomor berapa saja. Nah begitu ketahuan beli traveler’s cheque nomor berapa saja setelah itu tinggal ditelusuri barcode yang lain di luar yang dipegang Agus Condro itu siapa yang mencairkan.
Jadi memang sangat mudah dan ini kelihatan dari kepercayaan diri PPATK dengan menyatakan 400 Cheque itu sudah didefinisikan siapa saja yang terima. Jelas ada kecerobohan karena modus ini dulu memang belum ada dan KPK tidak ngurus hal seperti ini. Ketika sekarang ketahuan mereka sekarang jadi bingung dan akhirnya lari-larinya ke sesuatu yang tidak jelas, misalnya dari kubu tim kandidat yang mengatakan ”saya tidak tahu, ini kan urusan orang lain”.
Sekarang tinggal peran KPK untuk melakukan penyidikan karena dari sudut tracking transaksi keuangan sudah sangat terang benderang. Menurut saya, tugas KPK tinggal panggil saja yang terima, kan sudah jelas orangnya ada 41 orang. Kedua, karena terimanya berbarengan semua, sehingga tidak mungkin kalau mereka ngomong ini traveler’s cheque dan saya tidak ada urusannya sama itu apalagi bersamaan semua satu komisi dan jumlah 41 kan sama dengan suaranya Miranda Gultom.
Kemudian yang ketiga tinggal dipanggil buyernya, kemudian bisa diketahui sponsornya. Kalau dia berada di lingkungan perbankan sudah jelas maunya apa, karena ini kan menyangkut pemilihan yang berada diotoritas perbankan.
Menurut saya kasus ini tidak perlu berlama-lama lagi tinggal difollow up KPK dalam bentuk penyidikan. Ini sudah terang benderang, barcodenya sudah ketahuan, buyer dan penerimanya pun sudah ketahuan. Saya fikir ini tidak terlalu rumit dan sekarang bolanya ada di KPK.
KPK tidak bisa berkelit karena memang transaksi dalam kasus ini tidak secanggih misal dalam penyimpangan investasi BUMN yang transaksinya dan buyernya yang berada di singapura misalnya. Kalo model seperti ini memang agak rumit karena perlu ada cross border juga antara penyidik transaksi keuangan disini dengan di Singapura. Tapi ini kasus ini tidak serumit itu tidak pernah ada melintasantar negara. Kalau merut saya dari ini tidak terlalu rumit, bukti analisis PPATK sudah cukup untuk selevel penyelidikan, tinggal naik ke level penyidikan.
Keterlibatan sponsor dalam praktek Suap
saya melihat banyak orang mengkaitkan kasus ini sebagai skandal aliran dana BI ke dua. Menurut saya justru tidak ada keterkaitannya dengan Bank Indonesia sebagai institusi. Logikanya, bagaimana BI mau sponsori kandidat karena waktu itu kan saingannya orang BI semua. Menurut saya, ini lebih melibatkan swasta, Bohir-bohir yang selama ini banyak mempengaruhi keputusan politik di Indonesia.
Saya khawatir kenapa penegak hukum masih ragu, karena sponsornya ini kan para pengusaha dan kita tahu para pengusaha kan raja tebar juga sehingga kekhawatiran saya terjadi offside. Bahkan mungkin offsidenya bukan hanya anggota DPR saja.
Inilah repotnya di Indonesia beda seperti di Amerika. disana yang namanya Barrack Obama sponsornya jelas terbuka, Obama didukung penuh oleh gengnya Soros sedangkan Mc Cain didukung penuh oleh gengnya Warren Bafe...itu jelas. jadi di Amerika terang benderangnya penyumbangnya dan disitulah governancenya. Di kita kan tidak jelas, kalau kita punya peta, jangan-jangan nih pengusaha-pengusaha yang terpilih juga yang merupakan donatur kampanye pemenang, kita kan tidak akan pernah tahu.
Apalagi ini mau pemilu, donatur kampanye semakin banyak pihak nih. Jadi menurut saya sekarang ini cenderung akan ada upaya melindungi atau mengamankan sponsornya. Kita tahu kan bukan hanya pemilihan di BI yang pakai duit, semua pemilihan di DPR juga pakai duit, termasuk pemilihan di komisi III juga mungkin pakai duit. Sudah bukan rahasia umum lah, pemilihan apapun di DPR harus ada permennya.
Memang saya lebih khawatir lagi kalau modelnya seperti arisan beberapa konglomerat misalnya wah itu akan lebih repot lagi karena menyangkut kedekatan banyak pihak itu dengan kombinasi banyak orang. Kalau modelnya blockgrant masih gampang kali karena ditanggung satu orang, cuma persoalannya apakah si pemberi blockgrant itu termasuk donatur kampanye yang lagi berkuasa engga. Kalau termasuk, saya kok cenderung ragu bahwa kasus ini akan maju kedepan.
Jadi menurut saya, bagaimana caranya masyarakat termasuk media harus mendesak buyernya ini keluar. Karena saya khawatir kelambanan kasus ini karena kepentingan si buyer. (Norman/Agus)