Yusril Ihza Mahendra: Pertemuan Itu Tak Sengaja

Pengakuan itu muncul dalam persidangan. Di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terdakwa kasus korupsi perpanjangan hak guna bangunan (HGB) Hotel Hilton, Pontjo Sutowo, menyatakan Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra pernah menawarkan bantuan.

Pontjo mengungkapkan Yusril memperkenalkannya dengan Hidayat Achjar, pengacara Ihza & Ihza, firma hukum yang sebagian sahamnya dimiliki Yusril. Maklum, saat itu Pontjo, Presiden Direktur PT Indobuildco, tengah terbelit masalah. Sertifikat tanah HGB hotel miliknya, Hotel Hilton (kini Hotel The Sultan), yang telah diperpanjang diduga tak beres.

HGB Hilton, yang terbit pada 1973, habis pada 2003. Saat itu pemerintah mengeluarkannya untuk membangun hotel dan gedung pertemuan bagi konferensi PATA pada 1974. Pada 1999, Pontjo mengurus izin perpanjangan HGB lewat pengacaranya, Ali Mazi.

Ketika mengurus izin, Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta meminta Indobuildco melengkapinya dengan rekomendasi Menteri-Sekretaris Negara Muladi. Namun, Muladi membekukannya. Belakangan, Indobuildco mendapat rekomendasi dari Ali Rahman, Menteri-Sekretaris Negara di masa Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada Oktober 2005, Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) mulai menyidik kasus perpanjangan HGB yang diduga membuat rugi negara Rp 1,9 triliun. Akhir tahun lalu, Pontjo pun diseret ke meja hijau. Sampai akhirnya ia menyanyi bahwa Yusril sempat menawarinya bantuan.

Yusril tak menampik adanya pertemuan dia, Pontjo, dengan Hidayat Achjar. Tapi itu tidak sengaja, ujarnya kepada wartawan Tempo, Fanny Febiana, di kantornya Rabu lalu.

Mengapa Anda menawarkan bantuan kepada Pontjo?

Ini kan kasus lama dan panjang. Saya ingin menyelesaikannya. Saya juga sempat berbicara dengan jajaran direksi Indobuildco beberapa kali untuk mencari jalan keluar, bahkan sempat sudah ada draf kesepakatan, tapi mundur lagi.

Sampai akhirnya Anda memanggil Pontjo ke kantor dan mempertemukan dengan Hidayat Achyar?

Bukan mempertemukan. Waktu itu saya panggil Pontjo. Nah, saat Pontjo ada di sini, kebetulan ada Hidayat. Itu bukan kesengajaan. Waktu itu saya punya saran ke Pontjo tersebut karena ada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan soal Hilton itu. Timtas Tipikor juga sedang menyelidiki kasus ini.

Tapi kesan yang muncul Anda mempertemukan Pontjo dengan Hidayat?

Ya, itu saya tidak tahu. Tapi yang sebenarnya terjadi, saya sebagai Ketua Badan Pengelola menyelesaikan kasus perdata dengan cara berunding untuk mencari jalan keluar yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Menurut saya, itu satu hal yang sah saja. Kebetulan ada Hidayat di sini. Tapi kan tidak ada kelanjutan apa-apa.

Hidayat pernah di Ihza & Ihza. Apakah ini artinya Ihza & Ihza menggunakan nama Anda untuk membantu perkara ini?

Membantu sih tidak. Waktu itu ini belum jadi perkara di pengadilan. Dan nggak ada saya bilang Pontjo, you pake ini pengacara (Hidayat). Nggak. Kebetulan dia cari saya. Dia ada di sini, Pontjo juga datang, ya sudah, coba bagaimana jalan keluar Hilton ini.

Sebenarnya bagaimana permasalahannya?

Ada aspek perdata, menyangkut hukum pertanahan dan pidananya yang ditangani Timtas Tipikor pada waktu itu. Jadi masalahnya, kalau ditarik ke belakang, panjang sekali. Dimulai pada 1972 sebelum Sekretariat Negara mengambil alih Gelora Senayan. Status tanah Gelora Bung Karno dan sekitarnya tidak ada sertifikatnya.

Lalu...?

Nah, sertifikat HGB keluar pada 1973 untuk Indobuildco, kemudian hak pengelolaan lahan (HPL) atas nama Sekretariat Negara baru keluar pada 1984. Dan dalam HPL Sekretariat Negara itu disebutkan bahwa itu termasuk dalam persil tanah yang ada Hotel Hilton dan Balai Sidang sekarang ini. Menyadari sejak 1973 mereka telah mendapat HGB, dalam HPL yang diberikan kepada Sekretariat Negara disebutkan itu baru berlaku apabila HGB itu selesai. HGB Hilton selesai pada 2003.

Nama Anda di Ihza & Ihza itu dipermasalahkan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)?

Kapan Peradi membahas masalah itu? Banyak prasangka....

Mungkin orang menghubungkan jabatan Anda sebagai menteri....

Begini, pada waktu saya mengajukan Undang-Undang Advokat ke Dewan Perwakilan Rakyat, saya ingin semua orang yang terlibat dalam pejabat negara berhenti jadi advokat. Tapi pada waktu itu DPR tidak setuju. Undang-undangnya mengatakan bahwa mereka untuk sementara waktu nonaktif. Tapi hubungan keperdataan dengan kantor advokatnya tetap berjalan seperti semula.

Yang dipermasalahkan Peradi, Anda tidak punya izin advokat?

Memang saya tidak pernah jadi advokat.

Tapi bisa membuat kantor hukum?

Boleh saja.

Jadi memang tidak dilarang?

Iya, Undang-Undang Advokat tidak melarangnya.

Ihza & Ihza itu menangani perkara apa saja?

Jarang sekali beperkara. Lebih banyak semacam corporate lawyer. Dan kami nggak pernah mau menangani perkara pidana, belum pernah sekalipun.

Sumber: Koran Tempo, 13 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan