Fact Sheet: Pengelolaan dan Pemanfaatan Data Sanksi Daftar Hitam oleh Masyarakat Sipil
Pengadaan barang dan jasa merupakan komponen penting dalam pembangunan suatu negara. Sebab, dengan adanya pembangunan yang adil dan merata maka pelayanan publik dapat meningkat dan berkualitas. Oleh sebab itu, anggaran yang dialokasikan untuk belanja pengadaan jumlahnya cenderung besar.
Namun, masalah timbul ketika besarnya anggaran belanja yang dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa tidak linear dengan upaya pengawasan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat tergambar dari data Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai penindakan kasus korupsi. Sejak tahun 2004 hingga 31 Maret 2021, tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK sebanyak 1.144 kasus. Dari total tersebut, 21 persen diantaranya adalah perkara jenis pengadaan barang/jasa.
Pemidanaan terhadap kelompok swasta yang diduga turut terlibat dalam praktik korupsi belum secara konsisten menyasar korporasi. Hal tersebut tergambar dari hasil kajian ICW tahun 2018 dan 2019 mengenai tren penindakan kasus korupsi. Selama 2 (dua) tahun penegak hukum baru berhasil menetapkan 11 korporasi yang diduga turut terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Saat ini, penegak hukum hanya berkonsentrasi pada individu tanpa melihat keterkaitan korporasi yang diduga juga turut mendapatkan keuntungan. Padahal, salah satu faktor penting yang dapat meningkatkan kualitas hasil pekerjaan adalah korporasi itu sendiri. Sehingga, penting bagi penegak hukum atau para pihak yang memiliki kewenangan untuk mengekspos korporasi yang diduga melakukan pelanggaran.
Daftar Hitam Korporasi Konstruksi
LKPP memiliki sarana untuk mengekspos korporasi yang melakukan tindakan pelanggaran yaitu, Penayangan Sanksi Daftar Hitam melalui situs inaproc.id/daftar-hitam. Sanksi Daftar Hitam merupakan bentuk dari upaya pemerintah untuk melakukan pembinaan bagi Penyedia sehingga mendorong adanya perubahan agar dapat bekerja dengan baik. Berdasarkan data LKPP tahun 2017 tergambar bahwa terdapat 228 korporasi yang masuk dalam Daftar Hitam, 166 korporasi atau sekitar 72 persen diantaranya bergerak di bidang konstruksi.
Kondisi tersebut menunjukan bahwa pelanggaran banyak dilakukan oleh korporasi yang bergerak di bidang konstruksi. Hal tersebut semakin memperkuat asumsi apabila korporasi yang memenangkan lelang memiliki rekam jejak buruk, maka akan berdampak pada hasil pekerjaan sehingga kualitas sarana dan prasarana buruk, bahkan hasil pekerjaannya dapat tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Tantangannya kemudian adalah, bagaimana caranya agar informasi yang telah tersedia dapat diolah dan dianalisis untuk memastikan korporasi yang memenangkan pengadaan barang/jasa memiliki rekam jejak baik. Atau, jika memang pada akhirnya ada korporasi dengan rekam jejak buruk memenangkan pengadaan, maka perlu ada pengawasan oleh publik dalam bentuk laporan ke pihak terkait.
Atas dasar tersebut, ICW membuat lembar fakta untuk memberikan sebuah alternatif mengenai pemanfaatan data korporasi yang masuk dalam Sanksi Daftar Hitam. Harapannya dokumen ini dapat membantu para pihak memperbaiki dan mengurangi potensi akan terpilihnya korporasi yang memiliki rekam jejak buruk, sehingga kualitas sarana dan prasarana akan lebih baik dan bermanfaat bagi publik.