Karpet Merah untuk Gerombolan Koruptor
Pelan tapi pasti, dampak buruk Undang-Undang Pemasyarakatan (UU PAS) yang baru mulai terasa. Alih-alih menjunjung tinggi hak atas keadilan bagi para korban kejahatan, regulasi ini justru menguntungkan gerombolan koruptor. Tak tanggung-tanggung, dua puluh tiga pejabat dan aparat penegak hukum korup secara gratis mendapatkan pembebasan bersyarat. Akibatnya, mereka dapat lebih cepat meninggalkan lembaga pemasyarakatan (lapas) sebelum menuntaskan kewajiban hukumnya.
Mirisnya lagi, nama-nama yang mendapatkan “kado istimewa” dari Kemenkumham itu bukan orang sembarangan, mulai dari Patrialis Akbar (eks Hakim Konstitusi), Suryadharma Ali (eks Menteri Agama), Ratu Atut (eks Gubernur Banten), Zumi Zola (eks Gubernur Jambi), Pinangki Sirna Malasari (eks Jaksa Kejaksaan Agung), dan belasan napi korupsi lainnya. Penting untuk dijadikan catatan, deretan pelaku korupsi itu bukan akhir dari sengkarut UU PAS, melainkan baru halaman pertama dan masih akan terus berlanjut di kemudian hari.
Sederet Persoalan Regulasi Pemidanaan Koruptor
Jika ditarik, akar persoalan dari lolosnya puluhan koruptor itu sebenarnya bermula dari putusan Mahkamah Agung (MA) tahun lalu tatkala membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012). Sebagaimana diketahui, regulasi yang dibuat saat rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu memang kerap menjadi momok bagi koruptor. Betapa tidak, dalam aturan itu tertuang bahwa pelaku korupsi dilarang mendapatkan pembebasan bersyarat sebelum memenuhi syarat sebagai pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum (justice collaborator). Jadi, secara tidak langsung PP 99/2012 membedakan perlakuan bagi narapidana korupsi dengan kejahatan lainnya.
Permasalahannya, aturan progresif semacam itu tidak didukung oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Bukti konkretnya, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, berulang kali mengutarakan niat untuk menghapus keberadaan PP 99/2012. Alasannya pun terlalu mengada-ngada, misalnya, melanggar hak asasi manusia dan menyebabkan kondisi lapas penuh. Padahal, aturan itu sama sekali tidak menyinggung hak asasi manusia, melainkan narapidana. Patut dicermati pula, PP 99/2012 sama sekali tidak menghapus hak narapidana mendapatkan pembebasan bersyarat, namun hanya memperketat. Lagipun keputusan itu sejalan dengan pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sedangkan alasan lapas penuh sama sekali tidak berbasis bukti faktual. Sebab, berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM per November 2021 lalu, jumlah narapidana korupsi hanya 4.431 orang dari total 270 ribu penghuni “hotel prodeo” itu. Jadi, narapidana korupsi hanya berkisar 0,01 persen di seluruh napi yang menghuni lapas Indonesia.
Pembatalan PP 99/2012 oleh MA itu pun langsung dimanfaatkan oleh pemerintah dan DPR untuk turut memasukannya ke dalam perubahan UU PAS. Langkah pembentuk undang-undang ini bisa dikatakan cherry picking atau mengambil putusan yang menguntungkan pandangan mereka semata. Betapa tidak, jauh sebelum putusan MA terakhir, lembaga kekuasaan kehakiman itu - melalui Putusan Nomor 51/P/HUM/2013 – sudah menegaskan bahwa PP 99/2012 konstitusional. Bahkan dalam pertimbangannya, MA mengatakan keberadaan regulasi itu, terutama bagian memperketat syarat pemberian remisi, mencerminkan nilai keadilan dengan menjelaskan dampak buruk kejahatan korupsi, mulai dari kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa. Sayangnya putusan ini kemudian diabaikan begitu saja, bahkan seolah-olah dianggap tidak pernah dikeluarkan MA oleh pemerintah dan DPR.
Penindakan Korupsi yang Semakin Buruk
Dengan mudahnya pelaku korupsi mendapatkan pembebasan bersyarat, setidaknya ada dua dampak yang besar kemungkinan terjadi pada masa mendatang. Pertama, citra Indonesia akan semakin buruk di mata dunia berkaitan dengan komitmen pemberantasan korupsi. Sebab, pengetatan pemberian pembebasan bersyarat merupakan mandat dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC). Pasal 30 ayat (5) kesepakatan internasional itu mewajibkan negara-negara untuk mempertimbangkan berat-ringannya kejahatan sebelum memberikan pembebasan bersyarat. Tentu konsep itu berbeda jauh dengan UU PAS baru karena menganulir seluruh syarat khusus sebagaimana ada dan tertuang dalam PP 99/2012.
Bukan cuma itu, masalah klasik pemberantasan korupsi era Presiden Joko Widodo belakangan waktu terakhir menyangkut Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang kian merosot. Skor IPK Indonesia hanya berada di poin 38 atau naik satu poin pada tahun 2021 lalu. Sangat kontras jika dibandingkan pencapaian tiga tahun sebelumnya yang mencapai skor 40. Dikaitkan dengan konteks obral besar-besaran pembebasan bersyarat, bukan tidak mungkin IPK Indonesia akan semakin terpuruk.
Kedua, tindakan hukum, baik penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan yang dilakukan aparat penegak hukum menjadi tak terlalu berarti. Keberadaan lapas sebagai muara dari sistem peradilan pidana mestinya bisa selaras dengan konteks penegakan hukum yang sebelumnya dilakukan, bukan justru menjadi lembaga pengobral pengurangan hukuman. Akibat terburuknya, masyarakat tidak lagi khawatir melakukan kejahatan korupsi karena situasi lapas tetap memungkinkannya mendapatkan pembebasan bersyarat.
Selain kebijakan penegakan hukum yang sangat kendur, vonis pengadilan terhadap pelaku korupsi juga jarang menghadirkan efek jera maksimal. Riset ICW membuktikannya, rata-rata vonis pidana penjara tahun 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Jadi, kian lengkap, seluruh cabang kekuasaan turut menyumbang kerja yang anti terhadap pemberantasan korupsi.
Tampaknya, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan semakin berat dan sulit. Situasi ini bisa dibalik apabila Pemerintah, dalam hal ini Presiden, menimbang kembali substansi UU PAS yang semangatnya memperlemah agenda antikorupsi. Pertanyaannya, mungkinkah Jokowi akan mengambil tindakan korektif?
Penulis: Kurnia Ramadhana
Editor: Siti Juliantari