Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Demokrasi Desak Pemerintah Batalkan Usulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto - Cluster Antikorupsi dan Demokrasi

Pemerintah melalui Menteri Sosial Saifullah Yusuf tengah mengajukan 40 nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Salah satu nama yang diajukan adalah Presiden kedua Republik Indonesia, H. M. Soeharto. Koalisi masyarakat sipil antikorupsi yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Hal ini lantaran berpotensi memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya yang dipenuhi dengan dosa-dosa korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM). Pemberian gelar pahlawan nasional kemunduran bagi reformasi dan mengaburkan tanggung jawab, yang seharusnya menyerukan pengadilan bagi Soeharto dan para kroninya serta menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Penolakan ini kami dasarkan pada rekam jejak buruk H.M. Soeharto, terutama terkait berbagai kejahatan, termasuk korupsi, yang dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pemberian gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk penghargaan tertinggi dari negara yang seharusnya diberikan kepada individu yang telah berjasa luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan, menjaga keutuhan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik. Dalam konteks ini, Soeharto diduga kuat melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM bahkan pelanggaran berat terhadap HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih meninggalkan luka sosial dan ketidakadilan struktural yang masih dirasakan hingga kini.
  2. September 1998, Kejaksaan Agung turut mengungkap indikasi penyimpangan dana yayasan-yayasan yang dipimpin Soeharto. Ada 7 yayasan yang diperiksa Kejaksaan Agung saat itu, yakni Yayasan Dana Mandiri, Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Gotong Royong, serta Trikora. Aset tujuh yayasan tersebut ditaksir senilai Rp 5,728 triliun. Dugaan KKN ini lantaran dalam yayasan-yayasan tersebut juga tersimpan dana yang berasal dari negara. Per Juni 1999, sisa dana Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) sebesar Rp 4,3 miliar ditemukan dalam rekening yayasan tersebut.

 

  1. Pada Desember 1998, Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib mengungkap hasil pemeriksaannya, yakni ada dugaan penyalahgunaan dana pada sejumlah yayasan sebesar Rp 1,4 triliun. Tak hanya itu, Kejaksaan Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar dan tanah seluas 400 ribu hektar atas nama keluarga Cendana. Akhir Maret 2000, Soeharto ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya. Namun saat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pada akhir Agustus 2000, Soeharto tidak hadir. Tim dokter ketika itu menyatakan Soeharto tak mungkin mengikuti persidangan.
  2. Pada tahun 2015, Mahkamah Agung telah menyatakan melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015 bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US $ 315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 (atau sebesar Rp 4,4 triliun berdasarkan kurs saat itu) kepada Pemerintah RI.
  3. Transparency International mencatat Soeharto sebagai pemimpin dunia yang paling banyak dituduh menggelapkan uang negara. Dalam daftar itu disebutkan, Soeharto (Indonesia) korupsi sebesar US$ 15-35 miliar, Ferdinand E. Marcos (Filipina)  US$ 5-10 miliar, dan Mobutu Sese Seko (Kongo) US$ 5 miliar. Kemudian, dalam laporan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative oleh Kantor PBB urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia pada 2005 yang menyebutkan bahwa H.M. Soeharto berada pada peringkat 1 sebagai (mantan) Presiden terkorup di abad 20. Bank Dunia juga memeriksa jaringan patronase dan struktur kleptokrasi yang mengakar di bawah rezim Orde Baru, yang secara sistematis menggunakan kekuasaan negara untuk memperkaya keluarga penguasa dan rekan dekatnya. Dalam hal ini, Soeharto memikul tanggung jawab atas pelembagaan korupsi melalui pelemahan lembaga negara yang disengaja, akumulasi utang publik yang besar karena salah urus sektor keuangan, penipisan sumber daya alam Indonesia yang cepat, dan mengakarnya kronisme dan korupsi di kalangan elit bisnis.
  4. Masa awal Reformasi menandai pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM berat dan maraknya praktek KKN di bawah pemerintahan Soeharto, sebagaimana tercermin dalam TAP MPR IV/MPR/1999 dan TAP MPR XI/MPR/1998. TAP MPR No. XI/MPR/1998 secara eksplisit menyebut Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam upaya pemberantasan KKN. TAP tersebut hingga kini masih berlaku secara moral dan substantif sebagai rujukan dalam perjuangan penyelenggaraan negara yang bersih dan bertanggung jawab sebagaimana dipertegas dalam TAP I/MPR/2003 dengan klasifikasi bahwa TAP XI/MPR/1998 “tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.”
  5. Isu penghapusan nama “Soeharto” dari TAP MPR XI/MPR/1998 yang muncul di media pada 25 September 2024 juga tidak dapat dijadikan pertimbangan yang absah untuk menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto karena pernyataan tersebut tidak berdasar secara hukum. 
  6. Rekam jejak Soeharto selama 32 tahun kepemimpinannya menunjukkan keterlibatan dalam berbagai pelanggaran berat HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sistematis, serta kebijakan represif yang mengorbankan ribuan nyawa warga sipil. 
  7. Merujuk pada ketentuan Pasal 24 jo Pasal 25 jo Pasal 26 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan, tidak ada satupun rekam jejak Soeharto yang memenuhi pasal-pasal tersebut, justru dari rangkaian rekam jejak dan bukti keburukan Soeharto tersebut di atas menjadi bukti bahwa Soeharto tidak layak mendapatkan gelar kepahlawanan. 
  8. Soeharto selama masa kepemimpinannya telah menghancurkan sistem kepartaian, membunuh ideologi yang berkembang di masa orde baru, dan membusukkan politik. Tidak ada pemilu yang transparan yang dilakukan selama masa Ia menjabat. Soeharto telah menjadikan politik sebagai alat untuk kepentingan pribadi, mematikan oposisi, serta menjadikan negara sebagai alat untuk mempertahankan rezim yang korup dan otoriter. Dalam dua dekade lebih kekuasaannya, politik berubah menjadi sarana transaksi dan penaklukan. 
  9. Langkah ini merupakan kemunduran serius bagi upaya membangun tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan hanya mengabaikan fakta sejarah, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar transparansi dan akuntabilitas publik yang menjadi fondasi pemerintahan modern dan demokratis.

Apabila Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan, komitmen negara, khususnya Presiden Prabowo yang merupakan mantan menantu dari Soeharto, dalam upaya melawan kejahatan korupsi menjadi absurd dan berlawanan dengan banyak pernyataan Prabowo dalam berbagai kesempatan saat merespon mengenai permasalahan korupsi. Pelabelan pahlawan terhadap orang yang dianggap pemimpin paling korup dapat dianggap sebagai pelemahan gerakan antikorupsi dan upaya penghapusan kejahatan Soeharto dari catatan sejarah. Pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto berarti sama saja dengan mengabaikan para korban pelanggaran HAM selama masa orde baru dan melanggengkan impunitas juga merusak pendidikan antikorupsi di publik. Sebab fakta sejarah tak bisa dihindari, bagaimanapun Soeharto merupakan salah satu presiden terkorup, tapi kemudian mendapatkan gelar pahlawan. 

Maka, kami menegaskan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengingkaran terhadap fakta sejarah dan perjuangan panjang rakyat Indonesia melawan kekuasaan yang korup dan sewenang-wenang. Pemerintah seharusnya berpihak pada kebenaran sejarah, bukan pada romantisme kekuasaan yang telah meninggalkan jejak pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sistematis.

Pemberian gelar tersebut bukan hanya akan mencederai nilai-nilai reformasi 1998, tetapi juga menampar wajah keadilan dan nurani bangsa. Tindakan ini menunjukkan bahwa negara gagal belajar dari masa lalunya sendiri, dan justru memilih memutihkan pelanggaran kekuasaan atas nama rekonsiliasi yang semu. Maka, GEMAS mendesak Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia untuk menolak secara tegas usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. 

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) Cluster Antikorupsi dan Demokrasi 

Indonesian Corruption Watch (ICW)

Indonesia Budget Center (IBC)

Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro)

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) 

Narahubung
Nisa Zonzoa (ICW) 

Faris Helmi Yahya (IBC) 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan