Korupsi Dana Bantuan Pendidikan
Nelson Mandela, Aktivis Anti-Apartheid sekaligus Presiden Afrika Selatan pernah berkata bahwa pendidikan adalah senjata ampuh untuk mengubah dunia. Pernyataan tersebut kontradiktif dengan kondisi di Indonesia. Pendidikan dijadikan langkah untuk menggerogoti anggaran yang seharusnya dapat mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu faktanya adalah masih maraknya penyelewengan anggaran pada sektor pendidikan. Kali ini, korupsi menyasar dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak 2017. Pada Desember 2022 lalu, Kejaksaan Negeri Kabupaten Tasikmalaya membongkar kasus dugaan korupsi dana PIP di Kabupaten Tasikmalaya yang menimbulkan kerugian bagi pelajar di hampir 300 sekolah.
PIP merupakan program prioritas Presiden Joko Widodo yang bertujuan untuk membantu biaya personal pendidikan, seperti transportasi dan perlengkapan sekolah, agar pelajar dan mahasiswa yang berasal dari kelompok rentan dapat mengakses bantuan berupa uang tunai. Harapannya, dengan adanya PIP angka putus sekolah di Indonesia menurun. Namun faktanya tidak demikian. Jika melihat data Badan Pusat Statistik sejak tahun 2020 hingga 2022 -saat pandemi Covid-19 muncul-, tergambar bahwa angka putus sekolah di tingkatan SD, SMP, dan SMA cenderung meningkat. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya angka putus sekolah patut diduga karena adanya korupsi dana bantuan pendidikan.
Anggaran Besar, Penyelewengan Besar
Jumlah dana bantuan, khususnya PIP sangatlah besar. Pada 2022, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 9,6 triliun atau sekitar 12 persen dari total anggaran yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dana PIP ditujukan untuk 17,9 juta pelajar di seluruh tingkat pendidikan.
Berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Indonesia Pintar Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, besaran dana bantuan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pelajar berhak mendapatkan bantuan sekitar Rp225 ribu hingga Rp1 juta tergantung jenjang pendidikan.
Berdasarkan aturan di atas, mekanisme penyaluran bantuan langsung ditransfer ke rekening masing-masing pelajar. Namun sayangnya, masih terdapat celah yang dapat digunakan bagi sejumlah aktor untuk menyelewengkan anggaran, khususnya pada saat pandemi. Berdasarkan data yang Indonesia Corruption Watch (ICW) kumpulkan melalui pemberitaan selama tahun 2022, setidaknya ada sebanyak 35 dugaan kasus penyelewengan dana bantuan PIP di seluruh Indonesia pada setiap jenjangnya.
Jika dikerucutkan, kasus penyelewengan anggaran PIP paling banyak ada pada jenjang pendidikan SD (49%), SMP (31%), SMK (11%), dan SMA (9%). Selain itu, aktor yang paling banyak dilaporkan adalah kepala sekolah dan guru. Kedua aktor tersebut melakukan penyelewengan dana bantuan PIP dengan modus pemotongan anggaran atau penggelapan.
Dalam beberapa kasus, kepala sekolah atau guru menggunakan modus pemotongan dengan dalih untuk biaya administrasi, seperti uang materai, uang bensin, atau membayar tunggakan SPP. Sementara itu, pada kasus lainnya, terduga pelaku menggelapkan uang dengan cara mencairkan dana secara ilegal tanpa mendapatkan kuasa dari pelajar. Berdasarkan pengalaman kasus yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, potensi pemotongan PIP sekitar 10-20 persen dari total yang seharusnya diterima oleh pelajar. Jika diasumsikan bahwa sejumlah sekolah melakukan hal lancung tersebut, maka potensi kerugian negara akibat penyelewengan dana bantuan PIP pada tahun 2022 sekitar Rp 960 miliar hingga Rp1,9 triliun.
Kasus yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya merupakan fenomena puncak gunung es dari permasalahan bantuan pendidikan yang ada di Indonesia, yakni tidak adanya mekanisme evaluasi secara holistik untuk mencegah terjadinya korupsi. Bantuan yang disalurkan secara langsung kepada penerima merupakan gagasan yang diharapkan dapat meminimalisir terjadinya praktik korupsi. Namun pada realitanya, masih terdapat celah untuk melakukan penyelewengan. Terlebih, mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat pun belum berjalan secara efektif untuk mendeteksi terjadinya potensi kejahatan.
Mimpi tentang peningkatan kualitas pendidikan yang signifikan tidak mudah untuk tercapai selama korupsi dinormalisasi tanpa adanya penyelesaian secara komprehensif. Jika negara masih membiarkan praktik korupsi marak terjadi di lingkungan pendidikan, maka negara sedang mempertahankan kemiskinan dan kebodohan struktural sehingga akan sulit mengubah dunia.
Penulis: Wana Alamsyah
Editor: Siti Juliantari