Mainstreaming Isu Korupsi Sektor Kehutanan
Kutukan sumber daya alam tak hanya terjadi di negara di Afrika, namun juga Indonesia. Negara yang berlimpah kekayaannya terjerat pada kemiskinan struktural yang cukup parah. Jurang yang kaya dan miskin kian menganga. Menurut harian Bisnis Indonesia (24 September 2016), rasio gini penguasaan tanah di Indonesia pada 2016 mendekati angka 0,58 atau 1% penduduk berkuasa atas 59% sumber daya agraria, tanah dan ruang.
Korupsi adalah salah satu penyebabnya. Ijin yang mudah diberikan kepada pengusaha sektor kehutanan banyak dipicu oleh praktek suap kepada pejabat publik, baik di pusat dan daerah. Perusahaan raksasa sektor kehutanan dan anak perusahaan mereka semakin leluasa menguasai lahan hutan karena mudahnya mendapatkan ijin. ICW mendorong adanya mainstreaming isu korupsi di sektor kehutanan sejak 2012 lalu atas dukungan dana dari The Asia Foundation. Hal ini menimbang bahwa advokasi sektor kehutanan sebelumnya lebih banyak terfokus pada isu ancaman kekayaan hayati, penyelamatan habibat asli, kerusakan lingkungan serta bencana alam. KPK sendiri pada 2015 mulai menempatkan isu SDA sebagai isu prioritas.
Pada 2016, ICW mulai menyebarkan penggunaan modul investigasi korupsi sektor kehutanan pada berbagai pihak, diantaranya delapan NGO lokal yang tersebar di berbagai daerah dan jurnalis. ICW juga mendorong pelaporan kasus-kasus korupsi sektor kehutanan, baik yang dilakukan sebagai inisiatif lembaga, maupun menjadi hub bagi NGO lokal untuk melaporkan kasus korupsi sektor kehutanan pada lembaga penegak hukum yang ada. Kurang lebih 18 laporan dugaan korupsi sektor kehutanan telah disampaikan kepada penegak hukum. Namun sayangnya respon penegak hukum masih sangat lamban. Faktanya, hanya KPK yang rajin mendorong proses hukum korupsi sektor kehutanan.
Pemerintahan Jokowi sendiri mulai merespon dan melihat pentingnya perbaikan kebijakan sektor kehutanan, terutama karena masalah kerusakan lingkungan yang parah, kebakaran hutan yang kerap terjadi, menajamnya angka rasio gini pertanahan (termasuk penguasaan lahan hutan), sekaligus karena respon atas tekanan internasional karena hutan adalah paru-paru dunia. Sikap Pemerintah sendiri tampak cukup jelas, mengeluarkan kebijakan moratorium ijin sawit, mengingat bisnis sawit adalah salah satu pemicu terbesar dari alih fungsi lahan hutan di Indonesia. Meski demikian, perjuangan untuk mendorong gerakan anti korupsi di sektor kehutanan masih banyak tantangannya, terutama pada itikad penegak hukum yang belum cukup tampak.***
Foto: Cifor