Mantan Koruptor di Struktur Partai: Bukti Rendahnya Komitmen Pemberantasan Korupsi Elit Partai Politik
Mantan koruptor kembali disambut dengan hangat dalam panggung politik Indonesia. Kali ini giliran Anas Urbaningrum, mantan terpidana korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Anas didapuk sebagai ketua umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) secara aklamasi melalui forum musyawarah nasional luar biasa tanggal 14 Juli 2023 lalu. Padahal ia baru saja bebas murni pada tanggal 10 Juli 2023 setelah mendekam di penjara selama 9 tahun 3 bulan sejak 2014.
Fenomena pemberian jabatan di partai politik kepada mantan terpidana korupsi memang bukan hal baru. Sebelum Anas, terdapat Romahurmuziy (Romy), politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus mantan terpidana korupsi dalam kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama. Romy diketahui divonis 1 tahun penjara dan bebas pada tahun 2020. Ia kemudian kembali ke partai dan diberi jabatan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP.
Realita menyedihkan ini menunjukan bahwa partai politik masih bersikap permisif pada tindak pidana korupsi. Pemberian jabatan dalam struktur partai politik kepada mantan terpidana korupsi tentunya sangat bertentangan dengan semangat untuk membangun pemerintahan yang bebas dari korupsi. Bila dikaitkan secara spesifik dengan visi-misi partai yang menaungi mereka, baik PKN maupun PPP memiliki misi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan langkah kedua partai tersebut dengan tetap memberi jabatan struktural kepada mantan koruptor.
Sejumlah partai politik termasuk PPP dan PKN sendiri juga telah mengikuti Program Politik Cerdas Berintegritas Terpadu (PCB Terpadu) yang diselenggarakan KPK sebagai upaya mewujudkan iklim politik di Indonesia yang bebas dari korupsi. Namun di sisi lain, dua partai ini tetap menyambut Anas dan Romy yang telah memberi contoh buruk karena terlibat dalam kasus korupsi saat sedang memangku jabatan, baik sebagai petugas parpol maupun pejabat publik. Diterimanya kembali mantan koruptor untuk bergabung ke dalam partai politik juga mungkin berdampak pada pemahaman internal partai politik untuk mendukung dan memperbolehkan mereka mencalonkan diri pada Pemilihan Legislatif. Penting ditekankan, pemahaman tersebut keliru dan salah besar, sebab ada masa jeda 5 tahun yang harus dilewati oleh mantan koruptor untuk bisa berkontestasi kembali, sebagaimana mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Nomor 12/PUU-XXI/2023.
Permisifnya partai politik dalam menanggapi mantan koruptor yang bergabung kembali ke struktural partai seolah mengabaikan fakta bahwa korupsi politik kian merajalela di Indonesia. Data KPK menunjukan bahwa sejak tahun 2004 hingga 2022, terdapat 521 orang tersangka yang memiliki irisan dengan politik mulai dari anggota legislatif hingga kepala daerah dari total 1.519 tersangka. Tak hanya itu, kepercayaan publik terhadap parpol juga diyakini akan memburuk pasca kebijakan kontroversi ini.
Jelang pemilu 2024, partai politik seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk menunjukan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Wujud dari hal tersebut salah satunya dengan menghadirkan kader-kader yang memiliki rekam jejak baik dan bebas dari keterlibatan kasus korupsi. Partai politik sebagai peserta pemilu sekaligus pemasok berbagai kursi jabatan penyelenggara negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjalankan kaderisasi dan proses rekrutmen di internal partai secara optimal. Dengan demikian partai politik akan mampu menghadirkan politisi, serta calon pejabat publik dan penyelenggara negara yang berwawasan politik, berintegritas, dan juga profesional. Untuk itu, ICW mengecam sikap partai politik yang masih menerima dan memberikan jabatan bagi mantan koruptor.
Jakarta, 18 Juli 2023
Divisi Korupsi Politik
Indonesia Corruption Watch