[MEDIA RILIS KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBARUAN KUHAP] RUU KUHAP GAGAL MEMPERBAIKI MASALAH BESAR POLISI DAN PERADILAN PIDANA: HENTIKAN TUDUHAN HOAX KEPADA MASYARAKAT, TUNDA PEMBERLAKUAN KUHAP BARU

KUHAP

 “Ini tidak benar sama sekali. Ini hoaks. Hoaks, benar-benar hoaks,” kata Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI, 18 November 2025 

Atau sebenarnya ini bukan berita bohong, berita yang tidak pas, tidak benar dan tidak tetap” - kata Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI, 19 November 2025 

Pada Selasa, 18 November 2025, RUU KUHAP telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam rapat sidang paripurna. Dalam rapat pertama tanggal 18 November tersebut Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman menyebut poster dari @bijakmemantau yang beredar dan berisi kekhawatiran jika RUU KUHAP disahkan adalah hoax. Lalu kemudian, pada konferensi pers yang kedua tentang sosialisasi KUHAP, 19 November, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman mengoreksi pernyataannya, dengan menyatakan ini sebenarnya bukan hoax, melainkan berita yang tidak pas, tidak benar dan tidak tetap. Selain itu, ia juga menuduh koalisi pemalas dan tidak menyimak pembahasan RUU KUHAP yang dilakukan di DPR. 

Koalisi sangat menyayangkan tuduhan-tuduhan hoax dan stigma-stigma pelabelan yang disampaikan oleh anggota DPR tersebut. Alih-alih berdiskusi substansi, pelabelan-pelabelan yang tidak perlu justru terus dilakukan. 

Koalisi tekankan bahwa 4 masalah krusial yang beredar massif posternya, yang dibuat oleh rekan Bijak Memantau dan Indonesian Matters adalah bukan hoax, namun berasal dari sikap kritis pembacaaan RUU KUHAP. Koalisi sedari awal menyampaikan perubahan KUHAP harus fundamental, harus menyentuh akar masalah peradilan pidana, namun justru menyuburkan praktik-praktik koruptif dan melanggengkan ketiadaan judicial scrutiny yang substansial untuk seluruh upaya paksa yang merenggut HAM warga negara. Rekomendasi Koalisi selalu dalam tataran harapan paling tinggi pembaruan KUHAP sesuai dengan perspektif HAM, karena butuh 44 tahun merevisi KUHAP, maka sangat amat mengecewakan jika revisi KUHAP tidak dilakukan dengan komprehensif. 

Rilis Media ini tidak hanya akan menjawab bahwa 4 isu RUU KUHAP yang dituduh sebagai hoax, namun juga menjawab narasi yang sampaikan pada konferensi pers kedua oleh pimpinan Komisi III DPR RI pada 19 November 2025. 

 

1. Terkait Penyadapan (Pasal 136 ayat (2) RUU KUHAP) [Draft 18 November 2025] 

Perlu ditekankan memang benar bahwa pengaturan penyadapan akan diatur lebih lanjut dalam UU. Namun perlu ditekankan bahwa Pasal 136 telah menyatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penyadapan. Tidak ada batasan jenis tindak pidana, tidak ada safeguard yang diberlakukan, selain itu tidak ada sama sekali pasal yang menjelaskan penyadapan tidak boleh dilakukan sampai dengan diundangkannya Undang-undang Penyadapan. RUU KUHAP ini justru telah melegalkan penyidik untuk melakukan penyadapan untuk semua tindak pidana. Sehingga ketakutan penyadapan akan diberlakukan tanpa batasan sama sekali adalah valid. Tentu kita tidak tau kapan UU Penyadapan akan terbit, sehingga ketidakjelasan UU tersebut akan memperburuk praktek penyadapan yang tanpa batas. Tidak ada sama sekali pasal dalam RUU KUHAP yang berusaha menjelaskan bahwa sebelum adanya UU tentang Penyadapan maka ketentuan penyadapan dalam RUU KUHAP tidak dapat dilaksanakan. 

 

2. Terkait Pemblokiran Tanpa Izin Pengadilan (Pasal 140 ayat 2) [Draft RUU KUHAP 18 November 2025] 

Habiburokhman menyampaikan Pasal 140 Ayat (2) RUU KUHAP bahwa semua bentuk pemblokiran rekening, data online, dan media sosial dilakukan dengan mendapatkan izin hakim. Namun perlu ditegaskan bahwa izin hakim tersebut dapat dikecualikan dan pengecualian tersebut bersifat sangat rentan untuk disalahgunakan secara subjektif. Alasan tersebut adalah potensi dialihkannya harta kekayaan; adanya tindak pidana terkait informasi dan transaksi elektronik; telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi; dan/atau “situasi berdasarkan penilaian Penyidik.” Yang paling rentan disalahgunakan adalah alasan pemblokiran tanpa izin pengadilan berdasarkan “situasi berdasarkan penilaian Penyidik”. Selain itu, syarat tersebut juga alternatif, yang artinya sesederhana bahwa tanpa perlu melihat alasan-alasan yang lain, cukup dengan alasan adanya “penilaian penyidik” maka sudah bisa menjadi dasar untuk pemblokiran tanpa izin pengadilan. 

 

3. Terkait Penyitaan (Pasal 44) [Draft RKUHAP 18 November 2025] 

Habiburokhman menjelaskan bahwa Pasal 44 KUHAP, semua bentuk penyitaan harus seizin ketua pengadilan negeri. Penyitaan pun dapat dilakukan oleh Penyidik tanpa izin pengadilan jika dalam kondisi mendesak terhadap benda bergerak (yang dapat secara fisik dipindahkan). Hal ini berarti benda-benda seperti handphone, kendaraan, dan lainnya dapat disita tanpa izin pengadilan dengan alasan kondisi mendesak. Masalahnya, alasan-alasan penyitaan dalam kondisi mendesak sangatlah lentur dan dapat dilakukan atas subjektifitas penyidik tanpa ada batu uji objektif, termasuk alasan “situasi berdasarkan penilaian Penyidik” sehingga rentan digunakan untuk merampas secara sewenang-wenang atau memaksa seseorang untuk menyerahkan barangnya. 

Setelah melakukan penyitaan, penggeledahan, pemblokiran dalam kondisi mendesak, penyidik memang harus meminta persetujuan dari pengadilan negeri. Namun praktik saat ini sudah cukup banyak menunjukkan bahwa hal tersebut hanya akan berfungsi sebagai prosedur administratif persuratan, tidak benar-benar ada pemeriksaan yang substansial ketika tindakan sudah terlanjur dilakukan. Terlebih RUU KUHAP juga tidak memberikan batu uji yang objektif untuk hakim menilai keadaan mendesak. RUU KUHAP dalam hal ini malah semacam mencoba untuk membenarkan praktik-praktik mekanisme kontrol yang saat ini terbukti tidak efektif untuk mencegah penyalahgunaan dan pelanggaran HAM warga negara. 

 

4. Terkait Penangkapan (Pasal 93) dan Penahanan (Pasal 99 dan Pasal 100) [Draft RUU KUHAP 18 November 2025] 

Habiburokhman mengklarifikasi soal pasal penangkapan (Pasal 93) yang menyebutkan bahwa seseorang bisa ditangkap tanpa konfirmasi tindak pidana. Yang benar, penangkapan harus dilakukan setelah penetapan tersangka. Penetapan tersangka itu mensyaratkan dua alat bukti. “Lalu, penahanan itu syaratnya (di RKUHAP) jauh lebih berat, jauh lebih obyektif dibandingkan dengan apa yang diatur di KUHAP Orde Baru”. 

Sementara menurut Habib, penahanan (Pasal 100 ayat (5)) baru bisa dilakukan apabila terdakwa mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, memberikan informasi tidak sesuai fakta, menghambat proses pemeriksaan, berupaya melarikan diri, melakukan ulang pidana, terancam keselamatannya, hingga mempengaruhi saksi untuk berbohong. 

Koalisi mengingatkan bahwa alur izin penangkapan, penahanan dan upaya paksa lainnya sama sekali tidak berubah secara konsep dengan KUHAP 1981. Catatan yang paling besar yakni terkait dengan fakta bahwa jarang ditemukan di negara demokratis manapun, kewenangan untuk merampas kemerdekaan seseorang datang dari otoritas selain pengadilan (judicial scrutiny). Indonesia harusnya sudah mulai mengarah pada perkembangan ini khususnya untuk perubahan KUHAP yang baru dilakukan setelah berlaku 40 tahun lebih. 

Selain itu, penambahan syarat penahanan justru sangat subjektif, yaitu alasan “memberikan informasi tidak sesuai fakta” dan “menghambat proses pemeriksaan.” 

Alasan tersebut sangat subjektif dan justru bertentangan dengan hak ingkar tersangka, bahwa memang tersangka berhak untuk tidak menyatakan yang sebenarnya. Kemudian, tindakan apa yang dimaksud dengan “menghambat proses pemeriksaan” juga bisa sangat subjektif bergantung pada penilaian individu pemeriksanya, khususnya polisi di awal-awal proses pidana. 

 

5. Terkait dengan tindakan Pembelian Terselubung (Undercover Buy) dan Penyerahan di bawah Pengawasan (Control Delivery) dalam tahap penyelidikan (Pasal 16) [Draft RUU KUHAP 18 November 2025] 

Habiburokhman menyatakan Koalisi pemalas tidak melihat debat melalui streaming youtube soal pembahasan ini. Ia menyatakan pasal ini sudah dijelaskan dalam penjelasan bahwa pasal ini bukan untuk semua tindak pidana tapi hanya untuk narkotika dan psikotropika. Penjelasan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan Penyelidikan dengan cara penyamaran, pembelian terselubung, dan penyerahan di bawah pengawasan merupakan teknik investigasi khusus yang diatur dalam Undang-Undang, antara lain, pada Undang Undang mengenai narkotika dan psikotropika”. 

Koalisi menyatakan bahwa hal ini dimuat dalam penjelasan Pasal 16 yang baru muncul pada draft 18 November 2025. Namun, kami tekankan bahwa penjelasan yang dirumuskan juga masih memberikan pembatasan yang kabur dan bahkan menimbulkan inkonsistensi baru antara RUU KUHAP dan Undang-Undang tentang Narkotika. Kami tekankan berulang-ulang bahwa kewenangan ini seharusnya bukan sama sekali kewenangan dalam tahap penyelidikan, tapi tahap penyidikan. Kemudian antara Pasal 16 dan penjelasan Pasal 16 ada pertentangan antara penyebutan “kewenangan penyelidikan” dengan “teknis investigasi khusus” yang mana teknik investigasi adalah teknik penyidikan yang dilakukan setelah masuk tahap penyidikan, bukan mulai pada tahap penyelidikan. Penjelasan Pasal 16 RUU KUHAP tersebut justru bertentangan dengan UU Narkotika yang menggunakan istilah “teknik penyidikan” untuk merujuk tindakan penyamaran, pembelian terselubung, dan penyerahan di bawah pengawasan. Inkonsistensi dari kedua aturan ini dalam praktik hanya akan dimanfaatkan sebagai ruang-ruang penyalahgunaan. Jadi, penjelasan Pasal 16 yang baru disisipkan dalam draf RUU KUHAP per 18 November maupun penjelasan Habiburokhman tersebut sama sekali tidak menjawab masalah yang diangkat. 

 

6. Terkait Restorative Justice di Penyelidikan: Pasal 74A dan Pasal 79 [Draft RUU KUHAP 18 November 2025] 

Habiburokhman menjelaskan mekanisme restorative justice dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Mekanisme ini telah diberikan batasan (Pasal 81). Seluruh pelaksanaanya diawasi dan dimintakan penetapan pengadilan. Ia mencontohkan misalnya, “Ada perkelahian, ada orang memukul orang lain, lalu ingin melakukan restorative justice. Keduanya kan sudah sama sama tau-tau yang mukul siapa dan yg dipukul siapa, yang terpenting adalah harus dengan kesukarelaan dan keikhlasan orang itu menjalani restorative justice.” 

Koalisi sekali lagi menekankan bahwa RUU KUHAP 2025 mengaburkan penyelidikan. Penyelidikan adalah proses yang sangat terbatas, yaitu mengkonfirmasi peristiwa apakah peristiwa pidana atau bukan, sehingga dalam tahap ini tidak boleh ada tindakan pembatasan HAM apapun apalagi menentukan pelaku dan korban sebelum ada kepastian bahwa benar telah terjadi tindak pidana. Selain itu, masih terdapat hal yang tidak jelas mengenai proses ini seluruhnya memintakan penetapan pengadilan. Pasal 79 memang menjelaskan setelah seluruh proses restorative justice selesai, maka perkara wajib dihentikan dan dimintakan penetapan pengadilan, kemudian Pasal 83 menjelaskan bahwa selesainya restorative justice diformalkan dengan adanya surat penghentian Penyelidikan atau surat penghentian Penyidikan. Namun, dalam Pasal 84 hanya Surat penghentian Penyidikan yang diberitahukan kepada Penuntut Umum dan dimintakan penetapan kepada ketua pengadilan negeri. Lantas dimana pengaturan mengenai pelaporan penghentian penyelidikan dan penetapan pengadilan pada tahap penyelidikan yang sinkron dengan Pasal 79? 

 

7. Terkait Penyidik Utama: Pasal 6, Pasal 7 ayat (3) (4) (5), Pasal 8 ayat (3), Pasal 24 ayat (3) [Draft RUU KUHAP 18 November 2025] 

Habiburokhman menegaskan Polri menjadi penyidik utama karena amanat konstitusi (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945). PPNS dan penyidik lain merupakan pendukung negara dalam penegakan hukum yang memang dibutuhkan dan diatur secara khusus. Kewenangan ini konsekuensi dari Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 dan Putusan MK Nomor 59/PUU XXI/2023. 

Berdasarkan Pasal 6, Pasal 7 ayat (3) (4) (5), Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 24 ayat (3) RUU KUHAP 2025, PPNS dan Penyidik Tertentu berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri, koordinasi berkas oleh PPNS dan Penyidik tertentu harus dengan penyidik polisi sebelum penyerahan ke Penuntut Umum secara bersama-sama. Koalisi menekankan bahwa justru ini tidak efisien dan cenderung mengganggu independensi Penyidik tertentu atau Penyidik PPNS karena menjadikan kewenangan polisi yang semakin superpower atau besar meluas bahkan pada bidang-bidang penyidikan kasus spesifik yang mana penyidik umum tidak memiliki keahlian di dalamnya. Yang diperlukan dari polisi hanyalah untuk membantu PPNS atau penyidik tertentu dalam hal perlu melakukan penangkapan, pengejaran atau upaya paksa lainnya, bukan untuk mengontrol seluruh proses penyidikan oleh PPNS dan penyidik tertentu yang telah mendapatkan mandat oleh undang-undang masing-masing. Pengaturan khusus dalam undang-undang mengenai adanya penyidik PPNS dan penyidik tertentu tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. 

Atas hal ini, Koalisi mengingatkan untuk pentingnya berdebat mengenai substansi RUU KUHAP tanpa stigma dan tuduhan-tuduhan yang tidak perlu. Koalisi telah melakukan proses advokasi yang panjang, kami sendiri pun telah memberikan rekomendasi sampai dengan tersedianya draft utuh RUU KUHAP dan Naskah Akademik versi Masyarakat Sipil. Kami selalu siap bertarung dalam ranah substansi, bukan tuduhan dan stigma. 

Oleh karena betapa sulit dan teknis sekali pembahasan RUU KUHAP, termasuk bahkan bagi aparat penegak hukum sendiri juga belum tentu memiliki pemahaman yang jelas soal RUU KUHAP ini, maka sangat besar kemungkinan pelaksanaan RUU KUHAP ini mulai pada 2 Januari 2026 tidak dapat terkontrol dengan baik di berbagai wilayah cakupan negara 

Indonesia yang sangat luas. Untuk itu menjadi masuk akal demi mencegah kekacauan sistem peradilan pidana, perlu ada penundaan keberlakuan KUHAP Baru setidaknya minimal satu tahun sebagai masa transisi untuk menyelesaikan aturan-aturan pelaksana, sosialisasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dan aparat pelaksana, simulasi-simulasi penerapan pengaturan, termasuk membuka kemungkinan untuk mengubah substansi-substansi yang fatal. 

Atas jawaban diatas, kami mendesak dan menyerukan: 

1. Ketua Komisi III DPR RI tidak merespons kekhawatiran publik dengan stigma hoax ataupun tuduhan lainnya; 

2. Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto harus menunda pelaksanaan KUHAP Baru yang telah disahkan dan mengatur masa transisi minimal 1 (satu) tahun sejak disahkan dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang penundaan keberlakuan KUHAP; dan 

3. Presiden dan DPR RI segera melakukan percepatan agenda Reformasi Kepolisian salah satunya dengan menunda keberlakuan KUHAP Baru dan memperbaiki substansi-substansi fatal dalam KUHAP Baru. 

 

Jakarta, 19 November 2025 

Hormat Kami, 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan