Minim Transparansi Anggaran Kemendikbudristek
Pada 11 Desember 2019, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Program Merdeka Belajar Episode 1. Tujuannya untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Program ini meliputi beberapa hal, diantaranya, Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi.
Program tersebut tentu berimplikasi pada besaran anggaran yang dikelola Kemendikbudristek. Pada 2019, anggaran yang dikelola sebesar Rp 36,49 triliun. Kemudian pada 2020 mengalami kenaikan signifikan, mencapai Rp 75,7 triliun, pada 2021 sebesar Rp 81,5 triliun, dan pada 2022 sebesar Rp 72,9 triliun.
Sayangnya, besar anggaran yang dikelola tidak sejalan dengan transparansi yang diterapkan oleh Kemendikbudristek. Informasi anggaran tidak mudah didapatkan. Tampaknya Kemendikbudristek hanya menganggap Kementerian/Lembaga dan DPR sebagai stakeholders penting untuk mempublikasikan anggarannya. Dalam rapat kerja dengan DPR RI, informasi anggaran ditampilkan Kemendikbudristek dalam paparan presentasi. Adapun dalam website resmi Kemendikbudristek hanya ditampilkan angka capaian atau target program tertentu tanpa menampilkan besaran anggarannya. Seperti informasi bantuan kuota internet untuk mendukung belajar dari rumah selama masa pandemi Covid-19. Sebanyak 35,725 juta peserta didik dan tenaga pendidik telah menerima bantuan kuota data internet. Tapi tidak diketahui berapa anggaran yang dikeluarkan untuk bantuan kuota tersebut.
Tidak hanya bantuan kuota, transparansi penggunaan anggaran juga tak tampak dalam Program Organisasi Penggerak (POP), yang merupakan bagian dari Program Merdeka Belajar. Ditargetkan akan memberikan pelatihan kepada 20.438 orang guru dengan alokasi anggaran sebesar Rp 595 miliar setiap tahun, Kemendikbudristek belum mempublikasikan siapa saja organisasi atau komunitas penerima dana program ini dan berapa anggaran yang diterima oleh masing-masing penerima.
Kondisi keterbatasan informasi anggaran bagi publik sangat kontras dengan permintaan Nadiem mengenai transparansi dana otonomi khusus Papua bidang pendidikan. Ia menyebutkan bahwa Kementeriannya tidak memiliki informasi tentang penggunaan dana otonomi khusus pendidikan. Selain itu ada juga penghargaan Top 5 Kepatuhan Tinggi Standar Pelayanan Publik 2021 dengan penilaian tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas dari Ombudsman RI yang diterima Kemendikbudristek.
Melihat kondisi ini dapat dikatakan pengelolaan anggaran Kemendikbudristek minim transparansi. Tidak hanya sebagai implementasi prinsip tata kelola yang baik, penjelasan pengelolaan dana-dana yang terkait dengan Program Merdeka Belajar, penting dilakukan dalam rangka pencegahan penggunaan anggaran yang tidak tepat guna dan penyalahgunaan. Program ini mempunyai kerentanan tersendiri terhadap praktik korup ataupun kecurangan lainnya seperti dalam tahap penilaian proposal, penggunaan, dan pertanggungjawabannya.
Selama ini, pendidikan menjadi sasaran empuk korupsi. Kajian ICW mengenai Tren Penindakan Kasus Korupsi yang dirilis setiap tahun selalu menunjukkan sektor pendidikan sebagai salah satu dari 5 sektor yang paling banyak ditindak aparat penegak hukum (top 5). Lebih spesifik, kajian penindakan korupsi pendidikan tahun 2016-September 2021 mencatat ada 240 kasus korupsi di sektor pendidikan dengan kerugian negara Rp 1,6 triliun. Sedikitnya terdapat 3 kasus korupsi yang berlokasi di Kemendikbudristek seperti kasus pemotongan dana bantuan sosial Kota Serang pada 2016 dengan kerugian negara Rp 261.000.000,-, kasus korupsi pemotongan dana bantuan sosial Kemendikbudristek dan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan tahap II gedung kampus IPDN Riau yang terjadi tahun 2017 dengan kerugian negara Rp 34 miliar.