Pemolisian (Belum) Demokratis
Secara akademis, studi mengenai berbagai gaya pemolisian berkembang begitu pesat. Berbagai peristilahan muncul untuk mengidentifikasi setiap model pemolisian di negara demokrasi. Salah satu yang paling populer ialah democratic policing atau pemolisian demokratis. Di samping terdapat juga model lainnya seperti community policing, problem-oriented policing, predictive policing, procedural justice policing, dan human rights policing.
Di negara Indonesia, embrio berkembangnya gagasan untuk mewujudkan institusi kepolisian yang lebih demokratis dimulai sejak era Reformasi 1998. Hingga saat ini, gagasan pemolisian demokratis telah menjadi visi yang terus diwujudkan secara optimal. Gagasan ini pun kemudian diletakkan dalam kerangka upaya reformasi kepolisian yang substantif mencakup aspek struktural, instrumental, dan kultural. Hal ini pun tergambar secara teknokratis dalam Grand Strategi Polri 2005-2025 maupun dalam Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun 2020-2024 yang salah satu kaidahnya ialah mengutamakan tindakan preemtif dan humanis sebagai civilian police menuju democratic policing dan mengedepankan strategi community policing.
Konsepsi Ideal Pemolisian Demokratis
Berkembangnya konsep pemolisian demokratis di Indonesia membawa harapan guna mengubah paradigma lama pemolisian yang berwatak antagonis, militeristik, represif, terjebak dalam politik praktis, korup, dan berorientasi sebagai alat kekuasaan rezim. Paradigma baru yang dicita-citakan ialah watak kepolisian yang protagonis, civilian police, demokratis, humanis, profesional, netral, akuntabel dan transparan, serta berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat.
Berbagai indikator telah dirumuskan oleh para ahli untuk menggambarkan bagaimana seharusnya wajah institusi kepolisian yang demokratis. Misalnya David H. Bayley (2006) dalam bukunya yang berjudul “Changing the Guard: Developing Democratic Police Abroad” mengemukakan empat dimensi utama dalam upaya reformasi pemolisian yang demokratis meliputi kesesuaian tindakan dengan hukum, kepatuhan terhadap standar internasional hak asasi manusia, akuntabilitas, dan tanggap terhadap kebutuhan warga negara.
Begitu pun dengan David Bruce dan Rachel Neild (2005) dalam bukunya yang berjudul “The Police That We Want: A Handbook for Oversight of the Police in South Africa” mengemukakan mengemukakan lima area kunci terkait pemolisian demokratis yakni melindungi kehidupan politik yang demokratis, tata kelola, akuntabilitas dan transparansi, pemberian layanan untuk keselamatan, keamanan dan keadilan, perilaku polisi yang baik, dan polisi sebagai warga negara.
Sementara itu, lebih komprehensif, Lukas Muntingh et.al (2021) dalam artikelnya berjudul “Democratic Policing: A Conceptual Framework” menyebutkan sembilan dimensi dari pemolisian demokratis yakni pengetahuan, efektivitas dan efisiensi, etika dan akuntabilitas, berbasis hak asasi, polisi sebagai warga negara, objektivitas, responsivitas/daya tanggap, empati, dan kepercayaan.
Pemolisian (Belum) Demokratis
Akan tetapi, dalam realitas di lapangan, implementasi dari gagasan pemolisian demokratis belum sepenuhnya terwujud. Brianne McGonigle Leyh (2021) dalam artikelnya berjudul “A New Frame? Transforming Policing through Guarantees of Non-Repetition” menggambarkan sebuah paradoks terkait bagaimana wajah kepolisian. Menurutnya, seringkali polisi yang semestinya menjadi garda depan dalam menjaga keamanan, justru menjadi sumber ketidakamanan. Polisi sering kali terlibat langsung dalam kekerasan fisik seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan orang, penangkapan sewenang-wenang, atau terlibat dalam pelanggaran yang menimbulkan kerugian sosial-ekonomi seperti korupsi. Dalam kasus lain, bahkan ketika mereka tidak ikut serta secara langsung dalam pelanggaran, para polisi justru menunjukkan ketidakmampuan atau keengganan untuk menghentikan kasus pelanggaran tersebut (Leyh, 2021).
Sejumlah data empiris dari beberapa lembaga pun menunjukkan betapa gagasan pemolisian demokratis masih belum sepenuhnya terwujud. Berdasarkan Laporan Hari Bhayangkara ke-77 dari Tim Kontras (2023) mencatat bahwa sepanjang Juli 2022-Juni 2023, terdapat 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Tim Kontras (2023) memberikan pesan menohok jika Polri yang seharusnya memberi rasa aman kepada masyarakat justru menjadi pelaku kekerasan kepada masyarakat sipil.
Begitu pun berdasarkan catatan pemantauan dan penanganan kasus yang diterbitkan oleh LBH Jakarta Tahun 2022 menunjukkan jika kepolisian konsisten menjadi aktor pelanggar hak asasi manusia. LBH Jakarta (2022) menemukan jika masih terdapat berbagai kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak kepolisian seperti extra judicial killing atau korban pembunuhan diluar hukum, torturre atau penyiksaan, kekerasan dan brutalitas dalam pembubaran secara paksa terhadap aksi demonstrasi, upaya penangkapan secara paksa dan sewenang-wenang serta penghalangan akses bantuan hukum, kriminalisasi terhadap aktivis, dan penundaan berlarut dalam berbagai kasus yang tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Dalam aspek pelayanan publik yang profesional, Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2023 menempatkan lembaga kepolisian di posisi ketiga sebagai instansi yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat terkait persoalan pelayanan publik dengan jumlah sebanyak 674 laporan. Begitu pun berdasarkan Laporan Tahunan Komnas HAM RI 2022 menunjukkan jika Polri merupakan aktor yang paling banyak diadukan oleh masyarakat terkait berbagai dugaan pelanggaran HAM dengan jumlah sebanyak 861 kasus.
Berbagai data di atas, seolah menunjukkan sebuah ironi dari wajah institusi kepolisian. Dimensi dan indikator dari pemolisian demokratis yang semestinya ditegakkan justru tercoreng oleh watak kepolisian yang represif, abai terhadap hak asasi manusia, dan kurang profesional dalam memberikan pelayanan publik.
Terakhir, sebagai bahan refleksi, penulis memberikan pesan agar polisi tidak hanya memahami demokrasi secara tekstual semata (knowing democracy), melainkan nilai dan prinsip demokrasi yang substansial harus juga ditegakkan dalam konteks menjalankan upaya pemolisian yang demokratis (doing democracy). Polisi pun diharapkan agar tidak memahami hukum hanya sebatas law in book, melainkan juga menegakkan nilai-nilai hukum secara nyata dalam tindakan (law in action) dengan cara menegakkan keadilan yang hakiki di tengah masyarakat, baik dari sisi keadilan prosedural (procedural justice) maupun keadilan substantif (substantial justice). Dengan prinsip ini, diharapkan upaya mewujudkan pemolisian demokratis tidak jalan di tempat dan tidak bersifat utopis.
Penulis,
Mursyid Setiawan
Mahasiswa Doktor Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS
Universitas Pendidikan Indonesia
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi 2024