Terima Kasih KPK, Jalan Pendidikan Antikorupsi Semakin Terjal
Keriuhan netizen soal dugaan gratifikasi private jet yang diterima anak mantan Presiden Indonesia, Kaesang Pangarep berakhir mengecewakan. Harapan publik terhadap KPK untuk menjadikan kasus Kasesang sebagai pintu masuk untuk membongkar gratifikasi harus pupus dengan kalimat “Bahwa yang bersangkutan bukan penyelenggara negara, sudah terpisah dari orangtuanya,” kata Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK.
P dalam KPK Bukan Lagi Bermakna Pemberantasan
Meskipun sangat mengecewakan, tapi pernyataan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengejutkan. Sejak awal kasus ini bergulir, KPK memang terkesan tidak serius. Mulai dari menolak memanggil Kaesang, mengamini pernyataan para politisi yang menganggap bahwa kaesang bukan penyelenggara negara sehingga tidak dapat ditindak, hingga mengeluarkan alasan tidak masuk akal bahwa yang bersangkutan sudah berbeda KK dengan Mantan Presiden, Joko Widodo.
Sebuah literatur menjelaskan contoh dorongan perilaku korup keluarga pebisnis terjadi karena adanya keleluasaan mutlak dalam pengambilan keputusan berdasar kepentingan keluarga. Meskipun pernyataan ini ditujukan dalam konteks bisnis, tetapi masih relevan dikomparasi kepada penyelenggara negara. Dorongan keluarga dan kekuasaan yang luas dapat mendorong perbuatan korup, dengan kata lain, keluarga penyelenggara negara juga memiliki peran dalam mempengaruhi kebijakan.
Ironisnya KPK hanya menggunakan kacamata kuda dalam membaca frasa “penyelenggara negara” dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, tidak mau melihat adanya pihak-pihak lain yang berpotensi lebih nyata menerima gratifikasi. Apa yang diungkap Jelita Jeje, Menantu Staf Ahli Jaksa Agung, Asri Agung Putra bahwa keluarga penyelenggara negara juga turut menikmati hadiah atau fasilitas dari para pengusaha, seharusnya menjadi pengetahuan dasar bagi KPK dalam mengembangkan kasus Private Jet.
Jalan Terjal Pendidikan Antikorupsi
Di penghujung 2023, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak sempat menyatakan bahwa KPK akan fokus pada pencegahan. Pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui banyak metode, salah satunya adalah pendidikan antikorupsi. Berbagai upaya telah dilakukan KPK, mulai dari membuat bus antikorupsi, festival film, pelatihan dan sosialisasi anti gratifikasi dan suap yang semuanya dibiayai negara. Kini semua upaya tersebut dimentahkan dengan keputusan KPK yang menyatakan penggunaa fasilitas private jet kepada keluarga presiden dan Walikota bukan gratifikasi.
KPK harusnya sadar jika praktik korupsi memiliki kompleksitas dan kebaruan metode untuk menyamarkannya. Patut disesalkan ketika pelaku korupsi mulai menggunakan sarana mata uang digital untuk mencuci hasil korupsi tetapi KPK justru terlihat amatir ketika menjelaskan gratifikasi terhadap keluarga Presiden.
Sebagai Lembaga yang memiliki wewenang penuh melakukan pencegahan dan penindakan kasus korupsi, seharusnya KPK dapat lebih maju. KPK harus berupaya mengisi kekosongan hukum, khususnya dalam hal penanganan kasus gratifikasi, mencegah kerugian negara akibat kasus korupsi dan suap yang mencapai Rp422 miliar di tahun 2023 (Tren Penindakan ICW) dan melakukan upaya pendidikan antikorupsi dengan metode terkini. Bukan malah membuka celah korupsi dan membuat koruptor lebih leluasa melakukan aksi rusaknya.**
Penulis: Tamimah Ashilah
Editor: Agus Sunaryanto