Tren Vonis Kasus Korupsi 2024

Rendahnya Vonis Bagi Terdakwa Korupsi dan Gagalnya Pemerintah Dalam Merampas Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi
peluncuran tren vonis korupsi.

 

Korupsi masih menjadi tantangan terbesar yang dihadapi oleh Indonesia hingga saat ini. Upaya pemberantasan korupsi masih stagnan meski Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999) telah genap berusia 25 tahun. Stagnasi tergambar dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International. Pada 2004, IPK Indonesia menunjukan skor 34. Sepuluh tahun kemudian, skor Indonesia naik menjadi 37, meski sempat meraih skor 40 pada 2019. Tidak kunjung tercapainya skor yang minimal mencapai rata-rata dunia membuat pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan evaluasi besar, tidak hanya pada tatanan peraturan perundang-undangan, namun juga penegakan hukumnya.

Usaha untuk memberantas korupsi belum mampu menjerat pelaku-pelaku kelas atas dan belum berhasil menjadi instrumen efektif untuk mencegah berulangnya beragam praktik serupa. Peraturan mengenai tindak pidana korupsi telah berulang kali diperbaharui sejak 1957 untuk menjerat pelaku korupsi yang modusnya kian hari semakin kompleks. Terakhir, satu tahun pasca reformasi, DPR menyetujui UU 31/1999 yang menjadi dasar pemidanaan terhadap pelaku korupsi hingga saat ini. 

UU 31/1999 belum mengatur sejumlah ketentuan minimum dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi yang telah Indonesia ratifikasi sejak 2006 lalu dalam UU No. 7 Tahun 2006. Beberapa di antara ketentuan yang belum diatur adalah pengaturan mengenai suap asing, suap pejabat organisasi internasional, pengayaan ilegal, dan perdagangan pengaruh. Beberapa perbuatan ini perlu diatur di Indonesia untuk menjamin penanganan kasus yang lebih progresif, efektif, dan efisien.

Selain belum diaturnya beberapa perbuatan dalam UNCAC, UU 31/1999 merupakan UU yang tergolong usang, mengingat ancaman denda yang dikenakan jauh lebih kecil jika dilihat dari nilai uang saat ini dan besarnya keuntungan yang dinikmati pelaku korupsi, meskipun 4 pasal telah diatur ulang dalam KUHP Baru. Keempat Pasal tersebut adalah Pasal 603 dan 604 mengenai kerugian keuangan negara dan Pasal 605 dan 606 mengenai suap. Pasal 603 dan Pasal 604 dalam perubahannya memiliki rentang ancaman pidana lebih luas daripada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, sedangkan Pasal 605 dan 606 memiliki ancaman denda yang lebih besar dari sebelumnya dengan ancaman pidana penjara yang sama.

Dari perspektif substansi hukum, perampasan aset sangat dimungkinkan dengan instrumen pidana tambahan berdasarkan UU Tipikor maupun UU TPPU. Namun, dua instrumen tersebut masih belum digunakan secara maksimal. Jika dilihat dari penerimaan negara bukan pajak dalam perampasan denda dan uang pengganti pada tindak pidana korupsi, jumlahnya belum menyentuh total kerugian keuangan negara. Hal ini menunjukan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara belum maksimal dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Meskipun kerap dilakukan pembaharuan hukum baik melalui Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah Agung, diperlukan adanya pembaharuan secara menyeluruh dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari penambahan norma yang disesuaikan dengan UNCAC, pengaturan mengenai penerima manfaat akhir (ultimate beneficial owner) dan konflik kepentingan yang meliputi personal interest registry. Dorongan untuk mengatur mengenai ultimate beneficial owner dan konflik kepentingan yang diatur dalam undang-undang harapannya mampu untuk memberikan dasar hukum yang lebih kuat dari sekadar peraturan internal lembaga.

Rancangan Undang-Undang yang saat ini tengah dibahas di DPR pun perlu menjamin efektivitas dan efisiensi pemberantasan tindak pidana korupsi, misalnya RUU Perampasan Aset. Dorongan untuk memperbaharui UU Tipikor untuk dilakukan penyelarasan dengan Konvensi Antikorupsi dan UU TPPU dengan The 40 Recommendations dari the Financial Action Task Force (FATF) pun perlu dilakukan, salah satunya adalah transparansi beneficial ownership dalam Recommendation 25 - Transparency and beneficial ownership of legal arrangements.

Atas dasar tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan pemantauan terhadap pemidanaan yang dijatuhkan pada terdakwa tindak pidana korupsi dalam laporan tren vonis korupsi. Laporan ini telah disusun setiap tahun sejak 2005 sebagai gambaran bagaimana penegakan hukum tindak pidana korupsi, terutama pada penjatuhan pidana terhadap terdakwa korupsi. Laporan ini disusun dengan tujuan mengevaluasi penegakan hukum tindak pidana korupsi, baik masukan terhadap pembuat kebijakan maupun pelaksana dari kebijakan tersebut.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan