13 Bekas Pejabat Akan Diperiksa Terkait Kasus BPPC

Mereka dimintai keterangan sebagai saksi kasus tata niaga cengkeh yang melibatkan Tommy Soeharto alias Hutomo Mandala Putra.

Penyidik Kejaksaan Agung pekan depan menjadwalkan pemeriksaan terhadap 13 pejabat berkaitan dengan dugaan korupsi pada Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Mereka dimintai keterangan sebagai saksi kasus tata niaga cengkeh yang melibatkan Tommy Soeharto alias Hutomo Mandala Putra.

Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung M. Salim mengungkapkan surat panggilan terhadap 13 bekas pejabat itu sudah dilayangkan. Setelah saya tanda tangani, langsung dikirim. Kebanyakan mereka (bekas) pejabat pemerintah, katanya kemarin. Salim enggan menyebutkan nama-nama pejabat yang dimaksud.

Kejaksaan Agung tengah mempersiapkan sejumlah bukti untuk menunjukkan bahwa dana Tommy yang tersimpan di BNP Paribas cabang Guernsey merupakan uang hasil korupsi. Salah satu bukti yang akan diajukan adalah korupsi di BPPC. Pengadilan Guernsey kini membekukan sementara dana Tommy.

Kemarin penyidik Kejaksaan Agung memeriksa dua orang perwakilan perusahaan rokok asal Kudus, Jawa Tengah. Mereka adalah Prayitno, Direktur Perusahaan Rokok Sukun, dan Bambang, akuntan Perusahaan Rokok Jambu Bol.

Dua orang tersebut, menurut Salim, adalah bagian dari tujuh saksi yang akan diperiksa dalam pekan ini. Salim menjelaskan alasan penyidik memeriksa manajemen pabrik rokok berkaitan dengan tata niaga cengkeh BPPC yang didirikan Presiden Soeharto pada 1992. Kami menganggap keterangan mereka penting, ujarnya.

Dugaan korupsi di BPPC bermula dari penyalahgunaan dana kredit likuiditas Bank Indonesia. Dana yang diduga bermasalah itu nilainya mencapai Rp 175 miliar. Sebelumnya, kasus dugaan korupsi ini pernah diselidiki oleh Kejaksaan Agung, tapi dihentikan.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Ismanu Soemiran, yang mendampingi pengusaha rokok ke Kejaksaan Agung, berharap pemeriksaan dan pengungkapan kasus BPPC tidak mengganggu kelangsungan industri rokok. Kami bisa memberikan kontribusi positif terhadap penyidik. Dulu kami juga pernah diperiksa, katanya.

Saat ini, menurut Ismanu, para pengusaha rokok yang diperiksa sedang mencocokkan data jual-beli cengkeh semasa dikendalikan BPPC. Intinya, kami siap bantu, ujarnya. SANDY INDRA PRATAMA

Sumber: Koran Tempo, 30 Mei 2007
---------
Bos Pabrik Rokok Jambu Bol dan Sukun Diperiksa
Sebagai Saksi Kasus Korupsi BPPC

Satu per satu bos perusahaan rokok dipanggil Kejaksaan Agung (Kejagung). Kali ini giliran Direktur Pabrik Rokok Sukun Kudus Prayitno dan akunting pabrik rokok Jambu Bol Kudus Bambang Suhartono. Mereka menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus korupsi penyalahgunaan kredit likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Badan Penyangga Pemasaran Cengkih (BPPC) di Gedung Bundar, Kejagung, kemarin.

Sebelumnya, tim penyidik memanggil Thomas Budi Susanto, direktur keuangan PT Djarum Kudus, dan SJJB, direktur keuangan PT Nojorono Tobacco Indonesia (NTI). Tetapi, mereka tidak memenuhi panggilan alias mangkir.

Baik Prayitno dan Bambang mendatangi Gedung Bundar sekitar pukul 09.05. Mereka menghadap ketua tim penyidik Slamet Wahyudi. Prayitno didampingi stafnya, Lilik R. Bambang juga didampingi staf perusahaan. Keduanya menjalani pemeriksaan di lantai III Gedung Bundar. Hari ini (kemarin), semua saksi dari Jawa Tengah, kata Direktur Penyidikan Kejagung M. Salim di Gedung Bundar kemarin.

Di tengah pemeriksaan, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemiran mendatangi Gedung Bundar. Dia membenarkan, dua koleganya, Bambang dan Prayitno, menjalani pemeriksaan.

Ismanu mengatakan, pemeriksaan anggota GAPPRI dalam kasus BPPC pernah dilaksanakan pada 2002. Tim penyidik membutuhkan keterangan anggota GAPPRI untuk mencocokkan data terkait pembelian cengkih. Saat ini, anggota kami didengar lagi untuk validasi data, jelas Ismanu.

Menurut Ismanu, kalangan pabrikan rokok kretek pembeli cengkih menganggp kasus BPPC telah lama selesai. Sebagian pabrikan ada yang tutup, kata Ismanu.

Ismanu menyambut positif penyidikan kasus BPPC. Meski demikian, dia berharap, proses kasus hukum ini tidak mengganggu kenyamanan dan ketenangan proses produksi rokok. Kami berharap dengan dibukanya kasus BPPC, pemerintah dapat memberikan jaminan agar industri tidak terhambat, jelas Ismanu. Sejauh ini, lanjut Ismanu, kalangan pabrikan rokok kretek belum mendapat jaminan dan kepastian hukum.

Salim menegaskan, selain dua saksi, tim penyidik menjadwalkan pemeriksaan 13 saksi dalam kasus BPPC. Saya sudah menandatangani surat panggilannya untuk diperiksa pada Senin hingga Jumat ini, ungkap Salim. Selain dari pabrikan rokok, para saksi tersebut berasal dari mantan pejabat pemerintah. Mereka dianggap tahu kebijakan terkait pembelian cengkih petani oleh BPPC.

Ditanya apakah mantan pejabat tersebut berasal dari mantan menteri, Salim menegaskan, untuk tahap pertama, tim penyidik baru memanggil pejabat teknis. Untuk mantan menteri, belum, jawab mantan kepala Kejati Jawa Tengah itu.

Setelah menjalani pemeriksaan sekitar pukul 14.00, baik Prayitno maupun Bambang menolak menjelaskan materi pertanyaan tim penyidik. Saya tadi nggak diperiksa, kok. Hanya bicara-bicara santai, kata Bambang.

Kejagung membuka lagi penyidikan kasus BPPC yang melibatkan Tommy Soeharto. Ini terkait dengan gugatan intervensi pemerintah RI terhadap uang EUR 36 juta (Rp 424 miliar) yang tersimpan di BNP Paribas, Guernsey. Dalam kasus tersebut, BPPC diduga menyalahgunakan uang KLBI Rp 175 miliar.

BPPC merupakan badan yang dibentuk berdasar Keppres 20/1992 jo Inpres 1/1992 oleh mantan Presiden Soeharto. BPPC diberi monopoli penuh untuk membeli dan menjual hasil produksi cengkih dari petani.

Seluruh hasil produksi cengkih petani harus dibeli oleh BPPC dengan harga yang telah ditentukan. Pabrik rokok kretek (PRK) harus membeli cengkih dari BPPC dengan harga yang telah ditentukan juga.

BPPC di dalamnya terdiri atas berbagai unsur, yakni Inkud dari unsur koperasi, PT Kerta Niaga dari unsur BUMN, dan unsur swasta melalui PT Kembang Cengkeh Nasional yang merupakan perusahaan milik Tommy. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 30 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan