Akankah Soeharto Diadili?

Keinginan Kejaksaan Agung untuk menutup perkara korupsi mantan presiden Soeharto sementara ini kandas di pengadilan. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Andi Samsan Nganro, Senin (12/6), menyatakan surat penghentian penuntutan perkara (SKP3) atas nama terdakwa Soeharto tidak sah. Penuntutan perkara dibuka dan dilanjutkan.

Hakim menilai penerbitan SKP3 yang ditandatangani pada 11 Mei 2006 tidak tepat dan prematur. Alasan penghentian penuntutan perkara juga tidak sah menurut hukum. Penghentian penuntutan perkara yang dilakukan kejaksaan tidak berdasarkan tiga kondisi yang disyaratkan ketentuan Pasal 140 Ayat (2) Huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kejaksaan menggunakan dasar kondisi kesehatan terdakwa yang tidak layak disidangkan. Padahal dalam KUHAP secara tegas menyebutkan alasan menghentikan penuntutan perkara demi hukum adalah karena terdakwa meninggal, nebis in idem (terdakwa disidangkan dua kali dalam perkara yang sama), serta kadaluwarsa (lewat waktu). Hakim juga menilai Kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum selayaknya hati-hati untuk tidak leluasa melakukan interpretasi atau penafsiran undang-undang.

Permohonan praperadilan terhadap SKP3 atas nama terdakwa Soeharto diajukan Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Koalisi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), dan Aktivis 98. Permohonan itu berkenaan dengan diterbitkannya SKP3 11 Mei 2006 atas nama terdakwa Soeharto dalam perkara dugaan korupsi pada tujuh yayasan yang didirikannya. Meskipun putusan praperadilan tersebut belum dapat dilaksanakan karena pihak kejaksaan masih melakukan upaya banding, namun sedikit banyak telah memberikan harapan bagi masyarakat yang menghendaki penuntasan perkara korupsi yang dilakukan oleh mantan presiden Soeharto beserta kroninya seperti yang diamanatkan Tap MPR No IX/MPR/1998.

Alternatif solusi
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 17-20 Mei 2006 yang dilakukan di Jakarta menunjukkan mayoritas masyarakat berkeinginan agar proses hukum diteruskan, tetapi juga ingin memaafkan Soeharto. Berdasarkan survei tersebut, LSI menyarankan solusi mengatasi persoalan mantan presiden Soeharto melalui tiga langkah dalam satu paket (three in one).

Pertama, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sehingga memungkinkan pengadilan in absentia, tanpa melanggar hukum. Kedua, pengadilan ini dibuat cepat (paling lama satu bulan) dan dalam satu tahap, tak dapat naik banding. Ketiga, presiden melakukan rehabilitasi jika Soeharto diputuskan tidak bersalah atau memberikan grasi jika diputuskan bersalah.

Memperkuat solusi yang ditawarkan oleh LSI, secara legal sesungguhnya penyelesaian perkara korupsi Soeharto dapat dilakukan dengan cara memberikan grasi. Kebijakan ini dilakukan tidak terhadap proses hukum yang sedang berjalan atau masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan, namun setelah proses hukumnya selesai dilaksanakan dalam arti telah ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Dalam penjelasan UU No 22/2002 tentang Grasi disebutkan bahwa grasi adalah pemberian dari presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim.

Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

Namun pemberian grasi ini dapat dilakukan dengan mensyaratkan pada dua hal. Pertama, proses hukum harus tetap berjalan. Hal ini berarti bahwa Soeharto harus menjalani proses hukum hingg

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan