Aliran Dana Pengutang Kakap Akan Ditelusuri

Mereka melarikan duit lewat bank-bank kecil devisa di Jakarta.

Pemerintah akan menelusuri aliran dana konglomerat pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selama ini pemerintah mengaku tidak memiliki data transaksi atau transfer modal dari Indonesia ke luar negeri selama 1997-1998.

Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husain mengatakan pihaknya bisa melakukan penelusuran kembali atas transaksi yang pernah dilakukan oleh para pengutang BLBI. Hingga kini, Pusat Pelaporan belum memiliki data transfer modal dari Indonesia ke luar negeri selama 1997-1998. Kami akan memenuhinya jika aparat hukum meminta, katanya kemarin.

Yunus menjelaskan, yang menjadi kendala dalam penelusuran atas transfer dana yang dilakukan para pengutang itu adalah peraturan. Sebab, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang baru berlaku April 2002. Undang-undang itu tidak bisa berlaku surut untuk digunakan sebagai dasar memindahkan seseorang, ucapnya.

Yang bisa dilakukan PPATK adalah menelusuri atas permintaan aparat penegak hukum atau memberikan data tentang pelaku dan waktu transaksi. Kami belum memiliki basis data, jadi harus mencari ke bank yang melakukan transfer, ujar Yunus.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution mengatakan transfer kekayaan yang dilakukan konglomerat hitam pada saat krisis ekonomi 1997-1998 ikut memperparah perekonomian nasional. Menurut dia, selama ini pemerintah mengalami kesulitan menagih utang para konglomerat bermasalah yang telah melarikan diri ke luar negeri.

Anwar menjelaskan, besarnya pelarian modal bisa diketahui dari jumlah cadangan devisa yang berkurang pada saat krisis. Menurut dia, para pelakunya harus diselidiki satu per satu.

Untuk mendapatkan data dan nama pengutang kakap yang melarikan diri ke luar negeri, harus ada kerja sama antarinstansi di Indonesia. Langkah awal bisa dilakukan dengan melakukan pelacakan kepada konglomerat hitam satu per satu, kata Anwar.

Menurut dia, sebagian besar pelarian dana dari Indonesia dilakukan dengan cara mentransfer dana melalui bank-bank kecil devisa di Jakarta dan kota lainnya. Anwar meminta PPATK melakukan pencarian data awal dari bank devisa. Sesuai dengan ketentuan perbankan, bank devisa masih menyimpan data transfer keuangan hingga saat ini. AGUS SUPRIYANTO
-------------
Sementara itu....
Kejaksaan Mentahkan Fatwa Mahkamah Agung

Menurut Hendarman, apakah pemotongan piutang itu merupakan korupsi atau bukan, akan dilihat proses pengucuran kreditnya memenuhi prosedurnya atau tidak.

Kejaksaan Agung menyatakan kekayaan negara yang dipisahkan di bank pemerintah--karena kredit macet--tetap merupakan kekayaan negara. Hal itu ditegaskan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Soepandji kemarin menanggapi fatwa Mahkamah Agung, yang menyatakan kekayaan negara di bank pelat merah yang dipisahkan bukan lagi tergolong kekayaan negara.

Kalau ada yang mengatakan pemisahan uang itu bukan lagi keuangan negara, baca saja Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, kata Hendarman. Ia menuturkan, pada undang-undang yang mengatur soal tindak pidana korupsi itu dijelaskan bahwa keuangan negara termasuk juga uang yang dipisahkan di badan usaha milik negara.

Sebelumnya, Mahkamah Agung melalui fatwa tertanggal 16 Agustus 2006 menyatakan piutang perusahaan negara tidak dapat disebut sebagai piutang negara. Dengan putusan tersebut, pengelolaan aset BUMN mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU Nomor 1 Tahun 1995.

Penegasan Hendarman ini mengandung konsekuensi: bank-bank negara yang melakukan pemotongan piutang tetap bisa dianggap merugikan negara. Menurut Hendarman, apakah pemotongan piutang itu merupakan korupsi atau bukan, akan dilihat proses pengucuran kreditnya memenuhi prosedurnya atau tidak.

Apabila ada haircut, kemudian proses pengucuran kreditnya melawan hukum--dan bukan karena risiko bisnis--itu adalah korupsi karena menimbulkan kerugian negara, ujar Hendarman.

Dia menjelaskan, bagaimanapun pemberian pinjaman bank-bank pemerintah terikat berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Orang yang karakternya ngemplang, kok dikasih kredit, itu kan suatu tindak pidana, katanya.

Badan Pemeriksa Keuangan, menurut dia, bisa diminta melakukan audit terhadap kekayaan negara yang dipisahkan. Hasil audit BPK merupakan keterangan ahli atas kasus tindak pidana korupsi.

Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan fatwa MA hanya bisa diterapkan pada negara yang menganut tata kelola perusahaan yang baik. Tapi tidak untuk Indonesia, ujarnya. Dia menegaskan, kekayaan negara yang dipisahkan tetap merupakan kekayaan negara. Setiap penggunaan anggaran harus kami periksa untuk dipertanggungjawabkan kepada pemegang hak bujet, katanya.

Menurut Anwar, meski sudah diaudit oleh akuntan publik, pihaknya akan melakukan evaluasi hasil audit tersebut. Jika perlu, akan dilakukan audit khusus, katanya. AGUS SUPRIYANTO

Sumber: Koran Tempo, 26 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan