Ancaman terhadap Independensi KPK
Secara mengejutkan Markas Besar (Mabes) Polri pada 14 November 2008 menarik dua perwira polisi yang selama ini bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dasar penarikannya adalah telegram dari Kapolri Bambang Hendarso Danuri, Nomor TR/549/XI/2008, yang merujuk pada Surat Keputusan Kapolri Nomor SKEP/464/XI/2008 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Polri.
Mereka yang diambil melalui SKEP di atas adalah Brigadir Jenderal (Pol) Bambang Widaryatmo dan Ajun Komisaris Besar Polisi Akhmad Wiyagus. Kedua perwira polisi di atas mendapatkan tugas baru di Polri.Bambang Widaryatmo yang sebelumnya menjabat Direktur Penyidikan KPK mendapatkan tugas baru sebagai kepala Biro Litbang Polri. Adapun Akhmad Wiyagus yang di KPK menjabat direktur Pengaduan Masyarakat ditempatkan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat,sebagai kapolres.
Sebenarnya proses mutasi, pemindahan, atau promosi perwira di tubuh Polri adalah hal biasa. Rotasi jabatan merupakan bagian dari penyegaran sekaligus cara menempa calon pejabat Polri dengan berbagai pengalaman baru yang akan dihadapinya untuk memperkuat jiwa leadership.
Namun,karena ini berkaitan erat dengan tugas penindakan kasus korupsi di KPK yang tengah diemban oleh kedua perwira tersebut, kebijakan pencopotan dua ujung tombak KPK ini mengundang tanda tanya besar. Pasalnya jika ditelisik lebih dalam, proses pemindahan tersebut kental dengan berbagai kejanggalan di sana sini.
Tampaknya pada kasus mutasi Bambang dan Agus, alasan maupun pertimbangan pemindahan yang terkesan mendadak ini tidak jelas. Alasan mutasi di satu sisi dapat diterima jika dalam kondisi yang wajar. Akan tetapi, pada sisi yang lain mengandung makna penghukuman terhadap kedua orang tersebut.
Untuk memperjelas hal ini harus dipahami bahwa jabatan di KPK (sebagai direktur Pengaduan Masyarakat dan Direktur Penyidikan KPK) merupakan posisi yang strategis untuk mendongkrak karier seorang perwira polisi kelak. Biasanya, jika ada perwira polisi telah menjalani masa tugas di KPK, jabatannya di kepolisian akan melesat.Promosi atas orang-orang yang ditugaskan di KPK merupakan pola yang umum terjadi.
Masalahnya, keduanya ditarik ke posisi yang tidak strategis.Ada fakta sejarah yang bisa dirujuk, bahwa penyidik KPK yang berasal dari Polri umumnya mendapatkan promosi sebagai kapolres.Padahal penyidik KPK bukanlah jabatan struktural, beda dengan Direktur KPK yang merupakan jabatan struktural. Karena itu, patut dianggap bahwa keputusan Kapolri atas dua personelnya ini lebih tepat sebagai pembuangan, bukan promosi. ***
Pertanyaan selanjutnya, jika kedua orang ini telah dinilai memiliki sepak terjang yang bagus di KPK, mengapa justru mendapatkan demosi dari Kepolisian RI? Apakah yang melatarbelakangi keputusan tersebut sebenarnya? Kejanggalan lain yang bisa dilihat adalah keputusan di atas terkesan sangat terburu-buru.
Hal ini mengingat mereka sebenarnya belum lama menjabat direktur di KPK.Kecurigaan bahwa ada latar belakang tertentu yang menyebabkan keputusan mutasi cepat diputuskan juga dapat dicium dari tiadanya koordinasi dengan pimpinan KPK secara kolegial. Sistem pengambilan keputusan pimpinan KPK pada prinsipnya adalah kolegial.
Meskipun masingmasing pimpinan KPK mendapatkan tugas khusus berdasarkan kesepakatan bersama,tetapi untuk hal-hal yang strategis kepemimpinan kolektif seharusnya diterapkan. Jika kemudian penarikan itu telah ada persetujuan dari salah satu pimpinan KPK saja,tentu bisa ditebak pimpinan KPK dimaksud adalah pejabat yang membawahi bidang penindakan.
Keputusan strategis di KPK yang tidak diambil melalui mekanisme persetujuan kolektif sesungguhnya dapat menyebabkan lahirnya hak istimewa. Dalam posisi KPK yang memiliki wewenang besar dan acap harus berhadapan dengan kepentingan politik, hak istimewa itu akan sangat mudah disalahgunakan. Hal di atas akan menjadi ”preseden” buruk bagi KPK di masa datang.
Karena pihak di luar KPK, baik kepolisian, kejaksaan dan BPKP, dengan inisiatif sendiri atau usulan dari pihak lain dapat saja kemudian melakukan intervensi atau melumpuhkan posisi KPK pada sektor penindakan dengan modus menarik personel mereka di KPK secara mendadak. Sebagaimana diketahui, komposisi petugas penindakan KPK sebagian besar diisi oleh pegawai dari kepolisian,kejaksaan dan BPKP.
Bisa saja kemudian kita menduga bahwa penarikan ujung tombak penindakan KPK merupakan bagian dari skenario untuk menggagalkan penyelesaian berbagai kasus korupsi berkategori kakap. Dengan bahasa lain, mutasi kedua perwira Polri di KPK ini mungkin saja merupakan bagian dari skenario pihak-pihak tertentu untuk ”mengamankan” penanganan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi eksekutif, legislatif,maupun pengusaha besar di Indonesia.
Jika benar keputusan menarik personel kepolisian di KPK bermotifkan kepentingan semacam ini, KPK sesungguhnya sedang diancam bahaya besar. ***
Masyarakat mungkin tidak terlalu mengetahui bahwa baik Bambang (selaku direktur Penyidikan) dan Wiyagus (baik sewaktu menjadi penyidik maupun setelah menjadi direktur Pengaduan Masyarakat) dianggap memiliki peran penting dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi kelas kakap.
Keduanya sesungguhnya merupakan aktor yang tidak terpisahkan dari keberhasilan KPK selama ini. Mereka juga memiliki peran penting dalam pengungkapan sejumlah kasus korupsi seperti kasus suap aliran dana Bank Indonesia, kasus suap alih fungsi hutan yang diduga melibatkan anggota Dewan dan Menteri Kehutanan,kasus korupsi pengadaan kapal di Departemen Perhubungan, serta pemeriksaan sejumlah kepala daerah (aktif maupun mantan) yang dinilai punya dukungan yang kuat dari sejumlah partai politik.
Sebagaimana diketahui, dalam kapasitasnya sebagai direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Akhmad Wiyagus tengah menangani kasus yang dilaporkan Agus Condro terkait suap dalam proses pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia. Selain diduga melibatkan sebagian besar anggota partai politik tertentu sebagai penerima,kasus ini juga diduga melibatkan kalangan pengusaha kelas kakap sebagai penyandang dana dan tim sukses dalam proses pemilihan tersebut.
Proses mutasi ”dadakan”ini dapat dipastikan akan memengaruhi proses penuntasan kasus-kasus korupsi tersebut. Bukan mustahil prosesnya akan tersendat, atau hanya menjerat aktor lapangan saja atau bahkan menjurus pada penghentian kasus.
Karena itu, sudah semestinya pimpinan KPK secara keseluruhan segera mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan institusi KPK dari upaya ”pembusukan” dengan menciptakan sistem yang transparan dan objektif untuk mengatur sirkulasi jabatan sehingga tidak muncul kesewenang-wenangan dari segelintir pihak yang memiliki kekuasaan diskresional untuk menentukan nasib pegawai KPK di masa depan.(*)
Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Disalin dari Koran Seputar Indonesia, Rabu, 26 November 2008