APBD 2007; Menghidupi Rakyat atau Memfasilitasi DPRD?

Menganyam rotan adalah pekerjaan sehari-hari pasangan Emy dan Suhartono, warga Desa Marikangen, Kecamatan Plumbon, Kabupaten Cirebon. Sudah bertahun-tahun keluarga ini hidup dari rotan, bahkan orangtua mereka pun membesarkan keduanya dari hasil bekerja di pabrik kerajinan rotan.

Sekitar empat tahun lalu, ekonomi pasangan suami istri itu sempat disokong sepenuhnya oleh pekerjaan mereka sebagai perajin rotan. Emy saat itu masih bekerja di salah satu pabrik kerajinan rotan, dengan memperoleh upah tetap. Suaminya pun demikian. Namun, sekarang Emy harus banting setir bekerja sebagai perajin lepas rotan karena pabrik mebel rotan tempatnya bekerja gulung tikar.

Sekarang mencari uang Rp 10.000 sehari saja susah. Suami bekerja hanya musiman saat order datang, kata Emy.

Emy sendiri sebenarnya berminat berjualan sayuran untuk menopang hidup, selain sesekali mengerjakan kerajinan rotan jika ada order. Namun, modal sama sekali tak punya. Uang hasil kerja dari rotan habis untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Mau pinjam uang untuk modal, tak punya jaminan harta. Mau pinjam ke rentenir, khawatir tak bisa membayar bunga. Akhirnya, pasangan itu hanya bisa mengharapkan order rotan.

Tak hanya pasangan Emy dan Suhartono yang kesulitan modal. Dasina, petani Desa Suranenggala Kidul, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, pun mengalami hal sama. Ia bahkan sudah terlilit utang sebesar Rp 3 juta.

Dasina terjebak utang karena tahun lalu panennya gagal total. Ia pun harus menanggung rugi dan kehilangan modal untuk bertanam. Mau mencari pekerjaan lain juga tak bisa. Akhirnya, saya memilih mengolah sawah lagi karena memang itu saja modal saya. Sedangkan modal tanam terpaksa meminjam rentenir, ujar Dasina.

Demi mendapat pinjaman, Dasina pun terpaksa rela membuat kesepakatan dengan pemberi utang, yakni menjual gabah kering panennya dengan harga Rp 150.000 per kuintal jika panen. Padahal, harga gabah kering panen seharusnya bisa mencapai Rp 200.000 per kuintal.

Namun, Dasina memang tak punya pilihan lain karena tak mungkin ia meminjam uang dari bank. Meminjam dengan fasilitas kredit LUEP pun tak semudah yang dibayangkan.

Warga seperti Emy dan Dasina memang tak mempunyai akses untuk meminjam di bank karena tak bisa menyediakan agunan. Fasilitas kredit pinjaman lunak dari pemerintah memang tak bisa seluruhnya menyentuh orang-orang seperti mereka karena jumlah dananya memang terbatas.

Untuk Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, anggaran yang tersedia dalam APBD 2007 hanya berjumlah sekitar Rp 3 miliar rupiah. Dana itu pun tak bisa semua dimanfaatkan untuk memodali pengusaha kecil atau perajin kecil seperti Emy. Sebab, ada pos-pos lain yang harus didukung dana itu.

Namun, angka itu jauh lebih kecil daripada pos anggaran Kesekretariatan DPRD yang mencapai Rp 19 miliar. Apalagi, dengan pos anggaran Kesekretariatan Daerah yang mencapai Rp 49 miliar.

Padahal, pos Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengahlah yang paling riil bisa membantu perajin kecil seperti Emy. Adapun pos Kesekretariatan DPRD ataupun Daerah sebagian besar tak berimbas langsung kepada rakyat.

Dana pembelian laptop, misalnya, menghabiskan dana sekitar Rp 338 juta yang diambil dari dana tunjangan komunikasi intensif DPRD. Meski dikritik berbagai pihak, proses tender jalan terus. Meningkatkan kinerja DPRD

Menurut Ade Firmansyah dari Fraksi Demokrat DPRD Kabupaten Cirebon, jika ada fasilitas laptop, manfaat pemakaian laptop juga akan berimbas pada kinerja DPRD dan selanjutnya bisa dirasakan rakyat. Memori otak manusia terbatas. Kalau ada laptop, akan mempermudah kami, setidaknya aspirasi rakyat tersalur, katanya.

Anggota DPRD lain pun mengamini pernyataannya itu. Bahkan, mereka mempertanyakan mengapa pembelian laptop DPRD terlalu dipermasalahkan. Toh nilainya hanya Rp 388 juta dari total anggaran tunjangan komunikasi intensif Rp 6,1 miliar yang batal diberikan kepada anggota DPRD.

Nilai Rp 388 juta boleh saja dianggap kecil. Namun, Ahmad Subhanuddin Alwy, Direktur Center of Social and Cultural Studies, menyatakan bukan kecil atau besarnya yang dipermasalahkan, tetapi kejelasan peruntukannya bagi masyarakatlah yang penting.

Dengan demikian, jika wakil rakyat dan pemerintah daerah tetap ngotot memperoleh fasilitas laptop, mereka pun harus membuktikan, nilai Rp 388 juta lebih bermanfaat untuk membeli laptop dibandingkan memodali rakyat banyak seperti Emy dan Dasina. (Siwi Yunita Cahyaningrum)

Sumber: Kompas, 6 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan