Ayo Bermain Ular Tangga Antikorupsi

Tangan kanan gadis berkepang dua itu asyik mengocok dadu dalam gelas plastik. Sejurus kemudian dadu digulingkan di atas lembaran kertas dan keluar nomor 5. Sekeping uang logam yang semula ada di petak angka 83 digeser lima langkah sesuai dengan nomor dadu yang keluar. Artinya, uang logam milik gadis tadi digerakkan sampai di petak angka 88, yang bertuliskan mencontek contoh nyata perbuatan korupsi.

Nasib gadis itu sedang apes karena petak angka 88 ditandai dengan gambar ekor ular yang tubuhnya menjuntai ke bawah dan kepala si ular menunjuk petak angka 13. Mau tidak mau uang logam gadis berkepang dua itu harus merosot dan sekarang ada di petak angka 13.

Makanya jangan suka nyontek, yang jujur dan rajin belajar aja, ledek teman satu permainan.

Eh kalau ngomong jangan sembarangan, ya, saya enggak pernah nyontek, balas gadis itu tak kalah sengit.

Sekelumit permainan ular tangga di atas di SMP Keluarga di Kudus, Jawa Tengah, dinamakan ular tangga anti-korupsi (UTAK). Embel-embel anti-korupsi muncul karena permainan tersebut tumbuh dan berkembang di tengah-tengah pembelajaran pendidikan antikorupsi. Di SMP Keluarga Kudus, pembelajaran pendidikan antikorupsi diberikan satu jam pelajaran per minggu sejak 19 Desember 2005.

Antara ular tangga biasa dan UTAK hakikatnya adalah sebuah permainan yang disukai anak- anak. Namun, ada satu ciri khusus yang membedakan di antara dua permainan tersebut. UTAK merupakan modifikasi ular tangga biasa dan kemudian digunakan menjadi semacam media pembelajaran penanaman konsep pemahaman korupsi sejak usia dini.

Selain UTAK, pemahaman konsep korupsi juga dikembangkan melalui permainan gobag sodor. Sebagai bentuk praktik keseharian menolak segala bentuk korupsi, melalui pengembangan nilai-nilai kejujuran dikembangkan lewat konsep toko kejujuran dan pemilihan ketua OSIS gaya baru layaknya pemilu pada umumnya. Beragam kegiatan tersebut tetap mengacu pada keinginan untuk mendidik anak sesuai dengan harkat dan martabat yang dimilikinya.

Nilai kejujuran
Intinya, anak-anak disadarkan bahwa korupsi tidak melulu berhubungan dengan kerugian uang negara. Korupsi bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, sejak usia dini anak diberi pengertian tentang nilai- nilai kejujuran yang mudah mereka temukan sendiri di lingkungan sekolah. Contoh konkret perilaku tidak jujur seperti mecontek, tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR), ngemplang alias tak mau bayar di kantin sekolah, dan menilep uang SPP.

Mengingat usia anak setingkat SMP belum mampu menyerap pasal-pasal antikorupsi yang begitu njlimet, permainan UTAK khususnya mampu menjembatani kesenjangan pemberian materi antikorupsi. Berdasarkan pengalaman selama ini, anak- anak akan menolak pemberian materi pembelajaran pendidikan antikorupsi yang berkisar seputar pasal dan hukum belaka.

Permainan UTAK mudah dibuat dan sebaiknya melibatkan semua unsur dalam satu kelas. Untuk memudahkan kerja anak, satu kelas bisa dibagi menjadi lima atau enam kelompok regu kerja, tergantung dari banyaknya murid. Sebagai langkah awal, setiap regu diberi tugas membuat satu UTAK. Untuk memudahkan proses pembuatan, guru bisa membawa contoh permainan ular tangga yang mudah ditemukan di toko-toko buku.

Pada ular tangga biasa ritme permainan bisa dibedakan menjadi dua hal, yaitu tangga berarti pemain bisa langsung loncat dan ular berarti pemain terpaksa mundur beberapa petak. Biasanya gambar tangga muncul saat anak-anak mencari layang-layang di atap rumah atau untuk memetik buah mangga. Adapun gambar ular tampak ketika akan memangsa ayam petani.

Simbol perilaku
Media pembelajaran UTAK merupakan modifikasi permainan ular tangga pada umumnya. Gambar tangga merupakan simbol perilaku positif dan ular mewakili kehidupan negatif. Setelah mendapat pengarahan sekadarnya dari guru, anak-anak dibiarkan menerjemahkan sendiri perilaku positif dan negatif keseharian di atas papan petak ular tangga.

Dari 100 petak permainan UTAK tidak ada batasan berapa banyak tangga dan ular. Kreasi dan pemahaman akan bermunculan ketika setiap kelompok mulai mencoba mendefinisikan nilai-nilai kejujuran dan ketidakadilan yang mereka temui sehari-hari. Daya nalar dan pemahaman setiap anak dan kelompok tentu berbeda. Hal tersebut wajar karena pencarian setiap anak untuk mencari pencerahan memang beda, bergantung latar belakang kehidupan sosialnya.

Bisa disebut contoh ular antara lain bangun kesiangan mengakibatkan sekolah telat, korupsi bisa dihukum mati dan suka berbohong membuat tidak punya teman. Adapun contoh tangga adalah olahraga membuat badan sehat, berantas korupsi mengakibatkan negara kaya serta aparat jujur negara makmur.

Supaya anak lebih terkesan, hasil UTAK regu yang satu dimainkan regu lain dan sebaliknya. Akan tetapi, di permainan UTAK, pemain tidak sekadar mencapai finis lebih dulu untuk jadi pemenang. Namun, saat anak melewati papan bergambar ular atau tangga perlu memberi perhatian khusus. Untuk itu, sebaiknya guru disarankan ikut bermain bersama-sama siswa sekaligus bisa menerangkan nilai-nilai kejujuran yang terangkum di papan UTAK.

Peran orangtua
Khusus untuk anak usia SD, permainan UTAK bisa berkembang baik jika dimainkan bersama antara anak dan orangtuanya. Melalui permainan sederhana ini orangtua bisa memberi masukan nilai-nilai kejujuran yang menjadi kunci melawan praktik korupsi. Bagaimanapun, perbuatan melawan hukum di kemudian hari tentu diawali dari perbuatan curang kecil-kecilan sejak anak berusia dini.

Bahkan, untuk siswa setingkat SMA atau mahasiswa, UTAK bisa dimainkan tentu dengan sejumlah perubahan. Di mana untuk usia tingkat SMA dan perguruan tinggi (PT) mereka perlu berdiskusi dan memahami bersama atas apa yang menjadi pesan tertulis di atas papan UTAK.

Memang, permainan ular tangga dari SMP Keluarga di Kudus bukan jaminan praktik korupsi di Tanah Air akan terkikis habis. Bagaimanapun, menyiapkan generasi mendatang yang punya nilai-nilai kejujuran yang memadai perlu disiapkan sejak usia dini. Tanpa integritas tinggi dan dilandasi moral kejujuran, benih-benih ketidakjujuran dan ketidakadilan akan terus berkembang di kemudian hari.

Sekolah tak punya daya tangkal melawan praktik korupsi. Namun, di tengah karut-marutnya pendidikan nasional, sekolah punya kewajiban moral menjunjung nilai-nilai kejujuran. Dan, ternyata nilai-nilai kejujuran bisa dicoba dan dipraktikkan dalam keseharian. Siapa mau mencoba?

M Basuki Sugita Pendidik; Pemrakarsa Pendidikan Antikorupsi di Sekolah; Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah

Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan