Babak Baru Penanganan Korupsi BLBI

Rencana Jaksa Agung Hendarman Supandji menuntaskan sejumlah perkara korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selama ini kebijakan pemerintah dalam penyelesaian perkara BLBI yang lebih mendapatkan pengembalian utang dari konglomerat mengabaikan prinsip semua orang sama di depan hukum (equality before the law) dan bertindak jauh dari rasa keadilan dalam masyarakat.

Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana perlakuan istimewa pemerintah ditunjukkan kedatangan tiga debitor BLBI ke Kantor Presiden setahun lalu. Tiga debitor itu adalah Ulung Bursa, pemegang saham Bank Lautan Berlian; James Januardi, pemegang saham Bank Namura; dan Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief, pemegang saham Bank BIRA.

Tidak tanggung-tanggung, kedatangan ketiga debitor BLBI itu didampingi dua perwira Polri. Di Istana, mereka menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang nilainya ratusan miliar rupiah asalkan mendapatkan kepastian hukum atau release and discharge. Nyatanya, meskipun diberikan tenggang waktu oleh pemerintah, para debitor BLBI tersebut tetap saja mangkir tidak mau melunasi kewajibannya.

Korupsi Terbesar
Penyimpangan dana BLBI merupakan perkara korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta itu bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara.

Penggunaan dana-dana tersebut kurang jelas. Selain itu, terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui grup bank tersebut.

Sebaliknya, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

Dalam lima tahun terakhir, upaya menyeret para koruptor dana BLBI selalu terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para konglomerat hitam. Untuk penanganan perkara korupsi BLBI, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

Dalam catatan ICW, hingga akhir 2006, 60 orang diperiksa. Tapi, baru 16 orang yang diproses ke pengadilan, enam tersangka dalam penyidikan, dan 26 orang lainnya dalam penyelidikan. Meskipun 16 orang sudah dibawa ke pengadilan, hasil yang dicapai secara keseluruhan sangat mengecewakan. Tiga terdakwa dibebaskan pengadilan.

Dari 13 terdakwa yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama, banding, atau kasasi, hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara. Dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke bui. Dan, yang paling menyedihkan adalah sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri setelah dinyatakan bersalah dan divonis penjara oleh hakim pengadilan.

Buruknya penanganan perkara BLBI diperparah oleh kebijakan jaksa agung -saat dijabat M.A. Rachman- yang menghentikan penyidikan (SP3) terhadap sepuluh orang tersangka korupsi BLBI pada 2004.

Alasan Rachman saat itu, surat keterangan lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN berdasar Inpres No 8/2002. Yakni, tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham, dikenal dengan inpres tentang release and discharge.

Berdasar inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3). Apabila perkaranya dalam proses di pengadilan, itu akan dijadikan novum atau bukti baru yang bakal menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.

Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 UU itu secara tegas menyebutkan bahwa Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.

Dengan demikian, pengembalian aset atau utang sejumlah tersangka korupsi kepada negara tidak serta-merta menghapuskan tindak pidana korupsinya. Seharusnya pihak Kejaksaan Agung tetap memproses tersangka korupsi BLBI hingga tahap penuntutan di pengadilan.

Untuk mendorong penuntasan perkara korupsi BLBI, selain membentuk tim khusus di kejaksaan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga harus mengeluarkan inpres yang membatalkan inpres tentang release and discharge. Pembatalan inpres itu menjadi pintu masuk bagi pihak kejaksaaan untuk memeriksa semua pengemplang utang BLBI yang dinilai tidak kooperatif.

Pihak kejaksaaan juga harus mengkaji ulang aset-aset debitor BLBI yang telah mendapatkan keterangan lunas dan dihentikan penyidikannnya (SP3). Bukan rahasia, banyak aset yang diserahkan debitor BLBI kepada pemerintah nilainya digelembungkan sehingga harga jualnya tidak akan mampu memenuhi kewajibannya. Bahkan, tidak mustahil aset yang dijaminkan adalah aset bodong yang tidak bernilai sama sekali.

Penuntasan proses hukum perkara korupsi BLBI menjadi tolak ukur serius atau tidaknya pemerintahan SBY dalam pemberantasan korupsi. Semoga babak baru yang akan dilakukan kejaksaaan itu bukan sekadar gebrakan sesaat atau upaya pencitraan pemerintah.

Emerson Yuntho, anggota badan pekerja ICW (Indonesia Corruption Watch) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan