Baca Pleidoi, Rokhmin Cokot Mega; Sidang Kasus Dana Nonbujeter DKP

Ketika kembali disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kasus dugaan korupsi dana nonbujeter DKP (Dapartemen Kelautan dan Perikanan) kemarin, Rokhmin Dahuri mencokot nama mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Di hadapan majelis hakim di agenda pembacaan pleidoi (pembelaan) itu, Rokhmin tetap bersikukuh bahwa perbuatannya berkaitan dengan dana nonbujeter DKP tak menyalahi aturan.

Apalagi, kata Rokhmin, saat itu Megawati yang menjadi atasannya (Rokhmin menjadi menteri kelautan dan perikanan pada era Presiden Megawati, Red) dianggap mengetahui praktik dana nonbujeter. Dana itu diperoleh dengan cara memungut uang dari pejabat eselon I dan dinas di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan serta pihak luar.

Menurut Rokhmin, meski secara resmi tidak melaporkan tentang dana nonbujeter tersebut kepada presiden RI melalui menteri keuangan, secara informal dirinya pernah melaporkan kepada Megawati. Presiden RI pun memaklumi hal ini, ujarnya. Pria asal Cirebon itu menambahkan, Megawati tak keberatan asalkan bukan untuk keperluan pribadi.

Tak hanya Mega yang memberikan restu, Rokhmin menyatakan bahwa praktik dana nonbujeter itu diketahui dan dibenarkan Inspektur Jenderal (Irjen) DKP, yang saat itu dijabat Mustafa Abubakar (sekarang Dirut Bulog, Red). Sebagai bukti, tambah dia, Irjen selalu menghadiri acara yang diadakan mantan Sekjen DKP Andin H. Taryoto, termasuk dalam rapat pimpinan 20 Februari 2002 saat perintah pengumpulan dana internal DKP itu disampaikan kepada peserta rapat. Irjen juga membubuhkan rekomendasi perbaikan secara tertulis pada pembukuan pengelolaan dana sumbangan yang dikelola Sekjen (Andin, Red), tambahnya.

Alumnus Dalhousie University Canada tersebut berdalih, adanya restu tersebut merupakan fakta bahwa semua departemen dan instansi pemerintah melakukan hal yang sama, yakni memungut dana nonbujeter. Pada masa pendahulunya, Sarwono Kusumaatmadja, tambah dia, praktik serupa juga terjadi. Praktik pengumpulan dan penggunaan dana nonbujeter dalam lingklup DKP juga berlangsung hingga menteri sekarang, ujar Rokhmin. Dia lantas menyeret nama Menteri Kelautan dan Perikanan Fredy Numberi agar diperkarakan seperti apa yang dia alami.

Suami Pigoselpi Anas tersebut menggunakan kesaksian Andin dalam persidangan yang mengungkap pungutan dana nonbujeter hingga November 2006. Bahkan, tambah Rokhmin, Fredy mempergunakan dana tersebut sekitar Rp 450 juta untuk perjalanan ke Vatikan. Ini bukti KPK secara telanjang melakukan tebang pilih. Apakah karena Fredy masih menjadi menteri sehingga KPK tak berani melaksanakan keadilan. Rakyat akan marah mengetahui hal ini, ujarnya dengan suara keras dan pengunjung menimpali, Betul.... KPK bahkan disamakan dengan komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban (kopkamtib) yang pada zaman Orba menangkap tanpa melalui prosedur hukum.

Dalam kesempatan untuk membela diri di hadapan persidangan itu, bapak empat putri tersebut menolak tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Sebelumnya, Rokhmin dituntut pidana enam tahun dan denda Rp 200 juta, subsider empat bulan kurungan karena melakukan gratifikasi sesuai dengan pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 kesatu jo pasal 65 ayat 1 KUHP.

Selain bersikukuh bahwa Andin, bukan dirinya, yang berinisiatif melakukan pungutan, Rokhmin membantah menerima gratifikasi. Beberapa aliran dana ke dia dan keluarganya, termasuk uang operasional menteri Rp 1,9 miliar, mobil Camry yang sekarang menjadi hak miliknya, tidak diakui sebagai bentuk gratifikasi.

Saya tidak pernah menerima sumbangan tersebut dan membawa pulang untuk digunakan secara pribadi dan keluarga. Kalaupun semua ini dianggap untuk kepentingan pribadi, kesalahan tersebut seharusnya termasuk lingkup kesalahan administrasi. Sebab, hal ini merupakan kebijakan menteri, ttuurnya.

Rokhmin juga mengurai berbagai jasa yang dilakukan selama menjadi menteri, terutama usahanya menyetop ekspor pasir ke Singapura yang berlangsung sejak 1976. Minimal tiga kali ancaman pembunuhan terhadap saya dan keluarga kami terima. Dua kali rumah kami di Bogor dilempari dengan puluhan kepala kambing yang masih berdarah-darah, ujarnya soal konsekuensi kebijakan yang diambilnya itu. Dia menambahkan, teror itu baru berakhir ketika presiden memerintahkan Kapolri, saat itu Dai Bachtiar, turun tangan.

Suara lantang Rokhmin ketika membacakan naskah pleidoinya perlahan tersendat ketika meminta maaf kepada para pihak yang namanya terseret kasus DKP. Saya telah mengerjakan dengan sungguh-sungguh apa yang telah menjadi tugas saya. Tanpa prasangka bahwa yang tertib akan terjerat, ujarnya tersendat, lantas berhenti untuk mengusap mata dan hidungnya dengan tisu.

Kuasa hukum Rokhmin, M. Assegaf, dalam kesempatan itu membacakan kesan-kesan beberapa tokoh terhadap pribadi kliennya. Dalam pleidoinya, tim kuasa hukum meminta majelis hakim membebaskan Rokhmin karena terdakwa tak terbukti bersalah seperti tuntutan JPU. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 5 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan