Bahasyim, Kartini, dan Korupsi
Terungkapnya pemerasan sebesar Rp 1 miliar yang konon dilakukan mantan pejabat pemeriksa pajak Bahasyim Assifie kepada ahli hukum senior Kartini Mulyadi (Kompas.com, 20 Oktober 2010) tentu sangat mengejutkan. Kebetulan saya agak mengenal atau pernah bertemu dengan keduanya.
Bagi saya, Bahasyim berbeda dengan para pejabat pajak pada masa lalu yang pandai menyembunyikan kekayaannya, Bahasyim terlihat enteng memamerkan apa yang ia miliki. Belanjanya pun terbuka.
Rumah di Menteng yang disebut-sebut koran, sudah lama ia tunjukkan kepada kenalan-kenalannya. Akan tetapi, begitu disebutkan kekayaannya mendekati satu triliun rupiah, semua orang pasti terbelalak. Sebegitu mudahkah seseorang memupuk kekayaan?
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah tindakan Kartini Mulyadi yang menyerahkan uang satu miliar rupiah agar perusahaannya tidak diganggu masalah pajak oleh terdakwa (Kompas.com, 30/9).
Mengejutkan bagi saya, karena ahli hukum yang satu ini adalah penjaga peraturan. Bicaranya selalu soal peraturan dan integritas. Wajahnya tidak mudah diajak tersenyum, apalagi kompromi.
Boleh dibilang, Universitas Indonesia di era Kartini Mulyadi sebagai anggota dan ketua Majelis Wali Amanah lebih mengutamakan peraturan tertulis daripada terobosan. Inisiatif dan kreativitas harus mengalah agar semua berjalan di atas rel hukum yang benar. Ada yang setuju karena patuh terhadap hukum adalah penting, tapi bagi yang ingin lari cepat pastilah terhambat.
Sepasang penari
Ibarat tarian yang dimainkan sepasang suami-istri, maka korupsi pun memiliki iramanya sendiri. It takes two to tango! Butuh dua pihak yang saling bekerja sama seperti yang sering diucapkan Bang Napi di televisi: ”Ingat! Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tetapi juga karena ada kesempatan!”
Ada pemeras saja tidak cukup. Pemerasan baru terjadi bila ada pihak yang mau diperas.
Demikianlah negeri ini menangkapi para koruptor, baik karena memperkaya diri sendiri maupun memperkaya orang lain. Yang satu pemeras, yang satu lagi membiarkan diri diperas. Memang yang kedua masih lebih banyak mengena para pejabat publik yang menghambur-hamburkan uang negara seperti uangnya sendiri. Tetapi, keduanya sama-sama merugikan negara dan turut mempertahankan budaya korup yang ingin kita berantas.
Saya teringat suatu sore, seorang sopir truk pengangkut tanah yang kami sewa—di yayasan yang saya kelola—tak berani pulang karena STNK dan SIM-nya ditahan petugas polantas. Ia duduk termenung di kursi kemudi, sementara sopir-sopir yang lain sudah beranjak pulang. Sewaktu saya tanya, ia menjawab, ”Saya salah karena membuat jalan macet. Tetapi, bapak polisi itu diajak damai dengan seratus ribu rupiah tidak mau. Dia minta sejuta dan saya tidak punya. Ia lalu mengambil surat-surat mobil saya.”
Apa yang mau bapak sopir lakukan?
”Saya tak punya uang. Boleh saya pinjam sama Bapak?” ujarnya mengiba,
Ia terlihat takut, tapi rela diperas. Tahu berbuat salah, tetapi posisinya lemah.
Malam itu, saya mencari tahu siapa polisi yang mengambil surat-surat sopir tadi. Sayangnya tak ada selembar surat pun yang ditinggalkan. Saya lalu menelepon polsek dalam wilayah kami. Petugas jaga yang baik hati mengenal surat-surat yang dimaksud, tapi polisi yang menahan sudah pulang.
Saya katakan, saya minta malam ini dikembalikan atau saya menelepon pimpinan mereka. Ia meminta waktu sejenak. Lima menit kemudian saya diberitahu surat-surat sudah ada dan besok pagi siap diantarkan. Saya kembali menegaskan, polisi melanggar hukum dan saya minta malam ini juga agar sopir bisa mengambilnya. Ia pun menyerah.
Esoknya terjadi obrolan menarik di antara para sopir. ”Diajak damai lima puluh ribu enggak mau, seratus ribu ditolak. Eh, akhirnya malah cuma dapat kartu nama,” ujar mereka terkekeh-kekeh.
Malam itu saya memang hanya memberi sopir truk sepotong surat yang saya tulis di belakang kartu nama. Saya menulis dengan penuh rasa dongkol dan kasihan terhadap rakyat kecil yang lusuh dan sulit mencari makan, lemah, dan buta hukum, tapi justru jadi sasaran pemerasan.
Adalah tugas kita melindungi sahabat-sahabat yang lemah. Namun, sebuah tanda tanya besar tetap muncul di pikiran saya. Mengapa Kartini Mulyadi, seorang ahli hukum, notaris terkenal, dan terbilang sukses menjadi usahawan besar, dikenal tegas, rela diperas atau membayar demi bebas dari kasus yang dihadapinya?
Apakah hukum benar-benar lemah dalam menghadapi korupsi? Kalau mereka saja menyerah, apalagi rakyat biasa?
Perangi korupsi
Dalam karier saya, dua kali saya diperiksa petugas pajak. Buat dosen seperti saya, tentu berat membayar denda pajak ratusan juta rupiah.
Saya pernah bertanya kepada seorang petugas pajak, apakah denda seperti ini sudah wajar? Ia pun mengatakan, petugas pemeriksa sudah menjalankan tugasnya dengan benar. Jadi, denda harus dibayar. Saya pikir Ditjen pajak telah berubah. Jadi, mereka memang bekerja untuk negara.
Demi patuh pada hukum, saya pun mencairkan tabungan dan menunda pembangunan gedung PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang rencananya dibangun istri saya lima tahun lalu. Sebagai bintang iklan dan pakar, sewaktu mempunyai program televisi awal tahun 2000-an, nama saya jauh melebihi penghasilan. Sedangkan biaya yang bersifat personal tak bisa untuk mengurangi penghasilan terkena pajak.
Namun, terlepas dari segala kepahitan itu, ada satu hal yang harus kita pegang bersama: korupsi harus berhenti hari ini juga. Kalau kita mau bersama-sama menolak pemerasan, maka berhentilah ia seketika. Namun, begitu dilayani, ia akan terus merangsek kehidupan ini, menyedot hak-hak kaum miskin dan lemah dan membuat kita bodoh.
Seperti kata Gandhi, ”Pertama-tama mereka tak mempercayai Anda, lalu menertawakannya, setelah itu menyerang Anda. Tetapi Anda akan tertawa kemudian.”
Rhenald Kasali Mantan Panitia Seleksi KPK
Tulisan ini disalin dari Kompas, 2 November 2010