Bahaya Voucher Pendidikan

Kontroversi mengenai pemberian voucher pendidikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono masih bergulir. Dikhawatirkan program tersebut menjadi jalan untuk melakukan money politics. Karena itu, Departemen Pendidikan Nasional dituntut secara terbuka memberi penjelasan, termasuk menyebutkan siapa saja penerima voucher.

Selain aroma korupsi, hal terpenting yang patut dikritik adalah kaitan voucher dengan orientasi pendidikan nasional. Depdiknas tidak menjelaskan masalah yang akan diatasi melalui model pembiayaan dengan menggunakan sistem voucher. Padahal pembiayaan tidak dapat dipisahkan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.

Depdiknas sampai saat ini lebih sibuk membuat bantahan daripada memberi penjelasan. Dua alasan yang biasa digunakan berkaitan dengan program voucher adalah untuk memangkas rantai birokrasi dan yang menerima bukan hanya dari kalangan anggota DPR. Tentu saja, jawaban tersebut jauh dari memuaskan dan semakin menyulut kontroversi.

Soalnya, apabila berkeinginan memangkas birokrasi, Depdiknas telah memiliki model penyaluran dana yang lebih jelas mekanisme dan sasarannya, seperti program bantuan operasional sekolah (BOS) atau program block grant buku pelajaran. Tanpa menggunakan jasa politikus serta tokoh, alur penyaluran dana keduanya pun tidak melalui jalur birokrasi, tapi langsung masuk ke rekening sekolah. Justru melalui jasa politikus dan tokoh, voucher rawan diselewengkan. Apalagi dalam proses penyaluran voucher cenderung tertutup. Selain itu, Depdiknas tidak menjelaskan kriteria siapa atau lembaga apa saja yang dapat menjadi penyalur dan penerima voucher.

Sayangnya, walau argumentasi mengenai program voucher lemah, Depdiknas tetap ngotot akan mempertahankan dengan tambahan janji: tidak lagi disalurkan oleh politikus. Sikap tersebut dikhawatirkan memiliki korelasi dengan upaya mendorong privatisasi di sektor pendidikan, yang tengah diusahakan untuk dibuat legal melalui Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan.

Privatisasi pendidikan
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menggunakan model voucher untuk menyalurkan dana pendidikan. Beberapa negara, seperti Amerika dan Hong Kong, telah menerapkan jauh sebelumnya. Tentunya, mekanisme yang digunakan lebih terbuka dan jelas yang menjadi sasarannya.

Dalam konteks pendidikan di Amerika Serikat sebagai contoh, voucher disalurkan oleh departemen pendidikan langsung kepada orang tua. Dasar argumentasi digulirkannya program tersebut adalah orang tua murid memiliki hak untuk memilih sekolah mana pun yang diinginkan dan negara berkewajiban membiayai.

Model voucher diyakini akan menguntungkan orang tua murid dan sekolah. Bagi orang tua murid, voucher dapat menghilangkan jurang antara orang mampu dan tidak mampu secara ekonomi. Karena mendorong terjadinya subsidi silang, keduanya dapat menikmati pelayanan di sekolah yang sama.

Selain itu, model voucher dapat menciptakan persaingan antarsekolah. Kualitas pelayanan menjadi modal penting karena sangat mempengaruhi pilihan orang tua murid. Bagi sekolah yang dapat memberi pelayanan bermutu akan dipilih, sebaliknya, yang tidak mampu akan ditinggal. Apabila menginginkan tetap bertahan, tidak ada pilihan lain kecuali terus melakukan perbaikan.

Walau memiliki mekanisme yang jelas, model voucher mendapat kritik keras dari banyak kalangan. Sebab, model tersebut sejatinya mendorong privatisasi di sektor pendidikan. Sisi positif voucher dianggap hanya berlaku untuk jangka pendek dan terbatas bagi para penerima. Dalam jangka panjang, justru akan memperlemah sekolah publik (negeri), karena model voucher hanya memindahkan dana dari sekolah publik untuk sekolah swasta.

Padahal menurut Mike Joseph (http://www.sdst.org/shs/quest/vouchers.html), seharusnya dana yang berasal dari publik digunakan untuk kepentingan publik, di antaranya membiayai sekolah negeri. Walaupun penting orang tua murid memiliki banyak pilihan sekolah, apabila mereka menginginkan model pendidikan yang lebih khusus, baik melalui home schooling maupun sekolah swasta, biaya tidak dibebankan kepada publik.

Selain itu, tujuan voucher untuk mendorong liberalisasi pendidikan yang ditandai dengan persaingan, pada akhirnya akan membelokkan orientasi sekolah hanya untuk mengumpulkan uang. Sekolah akan menjadi lembaga komersial, padahal keberadaannya untuk mengajar dan mendidik peserta didik.

Sangat jelas, model penganggaran mencerminkan orientasi pendidikan. Walau bentuk dana yang diberikan sama-sama block grant, voucher dan BOS memiliki landasan yang berbeda. BOS lebih mengarah pada penempatan pendidikan sebagai hak publik dengan memperkuat sekolah publik, sedangkan voucher tujuan utamanya mendorong privatisasi, dengan memperkuat sekolah swasta.

Apabila Depdiknas konsisten menjalankan kebijakan dengan menjadikan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai rujukan, model voucher yang memiliki semangat privatisasi jelas bertentangan. Tidak ada alasan lagi untuk tetap mempertahankan. Apalagi modifikasi ala Depdiknas dengan melibatkan politikus sebagai penyalur, membuka ruang terjadinya penyelewengan.

Apabila tetap dipertahankan, Depdiknas hanya akan memelihara kontroversi yang justru kontraproduktif bagi kepentingan pendidikan nasional. Memberi informasi secara terbuka kepada publik mengenai dana yang dialokasikan untuk program voucher, termasuk siapa saja politikus atau tokoh agama/masyarakat yang ikut menjadi penyalur, merupakan langkah penting untuk mengakhiri polemik. Sekaligus membuat dana yang telah telanjur disalurkan dapat dikontrol.

Selanjutnya, dana pendidikan dikonsentrasikan untuk mendukung prioritas kebijakan, terutama membuka akses bagi semua kelompok warga agar mendapat pelayanan pendidikan bermutu seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Sebagai mantan Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo tentunya tidak akan kesulitan mengatur anggaran yang cenderung terus meningkat untuk mencapai amanat tersebut.

Ade Irawan, MANAJER MONITORING PELAYANAN PUBLIK ICW/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN

tulisan ini disalin dari Koran tempo, 22 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan