Belajar dari Kepemimpinan Soekanto
Kepala Kepolisian RI pertama dan terlama sepanjang sejarah Polri, RS Soekanto Tjokrodiatmodjo, memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia selama 14 tahun (1945-1959). Soekanto dikenal sebagai pembangun struktur dan fundamen serta peletak batu persatuan bagi Kepolisian RI.
Di awal kepemimpinannya, ia dihadapkan pada tugas utama mengubah jiwa polisi kolonial menjadi polisi RI. Pada masa perubahan dari RIS ke RI tahun 1950, kepemimpinannya teruji kembali dalam menyatukan polisi eks wilayah pendudukan Belanda dan polisi di wilayah RI.
Semangat korps persatuan yang sehat merupakan syarat utama dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepolisian sebagai penyelenggara keamanan dan ketertiban masyarakat. Di tengah instabilitas pemerintahan di masa revolusi dan demokrasi parlementer, Kepemimpinan Soekanto tetap eksis, terlebih di tengah jatuh bangunnya kabinet yang rata-rata seumur jagung.
Komitmennya terhadap pelaksanaan fungsi dan tugas kepolisian serta politik negara menjadikan kredibilitas kepemimpinannya tidak terpengaruh perubahan saat itu. Saat Presiden Soekarno melantik Komisaris Klas I RS Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara RI Pertama, 29 September 1945, perintah pertama adalah ”Bangun Kepolisian Nasional”.
Perintah ini sangat rasional mengingat keamanan dalam negeri jadi problem utama waktu itu. Jika RI gagal mengelola keamanan dalam negeri, itu akan dijadikan alasan Belanda pada dunia luar untuk melegalkan penguasaannya kembali atas RI.
Masa revolusi adalah yang paling kritis dalam sejarah Indonesia. Negara yang baru merdeka harus menghadapi situasi dalam negeri yang rumit akibat pergolakan pelbagai aliran politik antaranak bangsa, sulitnya ekonomi, dan meningkatnya kriminalitas.
Tekanan-tekanan militer Belanda yang mengancam eksistensi kedaulatan RI berdampak pula terhadap buruknya situasi keamanan di dalam negeri. Permasalahan lain yang dihadapi Soekanto dalam membangun kepolisian yang sentralistik terkendala kekuasaan para residen terhadap kesatuan polisi di masing-masing wilayah yang memiliki aturan berbeda dari mengangkat personel polisi, menaikkan pangkat, hingga menggunakan seragam yang sebagian masih milik pemerintahan kolonial Jepang.
Sulitnya komunikasi antara pusat dan daerah jadi kendala lain proses konsolidasi. Kepolisian RI semakin kehilangan kontrol ketika keamanan Jakarta berada di bawah otoritas Civil Police bentukan Sekutu di bawah komando Kepala Polisi Militer Inggris sejak Januari 1946.
Waktu itu Soekanto ditangkap oleh tentara Inggris dan diajak bergabung dengan Civil Police, tetapi secara tegas ditolak dengan menyatakan bahwa ia adalah Kepala Kepolisian Negara RI yang akan tetap setia pada Pemerintah RI. Konsekuensinya, Sekutu mengancam tak akan memberikan jaminan keselamatannya.
Dalam masa revolusi, Jakarta jadi pangkalan tentara Sekutu, dilanjutkan oleh pendudukan tentara Belanda. Pembangunan kepolisian RI baru dapat dilakukan setelah institusi ini lepas dari Kementerian Dalam Negeri yang telah pindah ke Purwokerto dengan kedudukan di bawah perdana menteri.
Perubahan kedudukan yang berlaku sejak 1 Juli 1946 dimaknai sebagai lahirnya Kepolisian Nasional yang kemudian dijadikan momentum peringatan Hari Bhayangkara. Soekanto menanamkan konsistensi kepolisian sebagai alat negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Dalam perang pun keberlangsungan kehidupan rakyat tetap membutuhkan kehadiran polisi. Mewariskan keteladanan Di bawah ancaman agresi militer Belanda, selain pembangunan fisik, Soekanto tetap memikirkan pentingnya pendidikan untuk menciptakan polisi terdidik dan berdedikasi tinggi.
Didirikan Sekolah Polisi di Mertoyudan, Magelang, untuk mendidik calon inspektur polisi dan komisaris polisi. Tahun 1947, sekolah dipindahkan ke Yogyakarta berganti nama menjadi Akademi Polisi dengan pengajar, antara lain, Prof Mr Djokosoetono dan Prof Mr Soenarjo Kolopaking.
Ketegasan, disiplin, komitmen terhadap profesi, jujur, dan miskin adalah sosok pribadi Soekanto yang masih relevan hingga kapan pun untuk dijadikan teladan bagi pimpinan Polri. Sejak berhenti sebagai Kapolri tahun 1959, baru 1988 Mabes Polri menghibahkan rumah pribadi sederhana dalam kompleks asrama anggota polisi di daerah Ragunan, Jakarta Selatan.
Rumah ditempati hingga akhir hayat. Dalam Peringatan Ke-64 Hari Bhayangkara, institusi Polri mempersiapkan transisi kepemimpinan Polri. Meskipun zaman telah berubah dengan tantangan polisi ke depan lebih rumit, saya kira Kapolri pertama telah mewariskan nilai-nilai kepemimpinan yang dibutuhkan Polri untuk menjadi institusi kredibel dan pro rakyat.
Saatnya Soekanto diperjuangkan sebagai pahlawan agar keluhuran-keluhuran pribadinya dapat dijadikanpanutan sekaligus pembelajaran, terutama bagi pimpinan Polri ke depan.
*G Ambar Wulan Dosen Kajian Ilmu Kepolisian Pascasarjana UI
Tulisan ini disalin dari Kompas, Kamis, 1 Juli 2010 | 09:39 WIB