Belajar dari Sejarah Pemberantasan Korupsi

Peter Williams, komisioner Independent Commission Against Corruption (ICAC), lembaga semacam KPK di Hongkong yang dijadikan percontohan pemberantasan korupsi, pernah berujar, Terhadap penduduk dewasa, kami sering menggunakan pendekatan rasa takut. Artinya, kami memanfaatkan rasa takut dihukum. Namun, dalam jangka panjang, anak-anak dan para pemuda harus dididik dengan sikap mental yang tepat terhadap korupsi (Klitgaard, Membasmi Korupsi, 2001).

Ungkapan Williams itu, menurut saya, harus menjadi paradigma yang merasuk di benak para calon pemimpin KPK yang kini sedang diseleksi.

Mengapa para pimpinan KPK perlu memahami pernyataan Williams tersebut? Hal itu tidak terlepas dari harapan agar calon pemimpin KPK memahami aspek historisitas pemberantasan korupsi di republik ini. Sebab, pernyataan Williams itu menyiratkan pemahaman historisitas dan konstekstualitas tentang model pemberantasan korupsi di Hongkong yang bisa jadi dapat diterapkan di Indonesia dengan melihat akar sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini.

Sangatlah penting memahami sejarah pemberantasan korupsi. Sebab, tidak hanya sekali ini kita mempunyai lembaga semacam KPK. Sudah beragam komisi dibentuk untuk menumpas korupsi. Tapi, hasilnya belum menggembirakan.

Dari runtutan sejarah pemberantasan korupsi yang terus gagal itu, para calon pemimpin KPK bisa mengambil pelajaran agar pemberantasan korupsi pada masa mendatang bisa membawa negeri ini bangkit dari keterpurukan.

Lihatlah Pendahulunya
Pertama-tama, saya ingin menegaskan bahwa KPK didirikan karena kejaksaan dan kepolisian terbukti tidak mampu memberantas korupsi, bahkan cenderung menjadi wilayah yang sarat korupsi. Karena itu, bagaimanapun, KPK harus berhasil jika tidak ingin bangsa ini semakin terpuruk karena birokrasinya yang korup.

Namun, calon pemimpin KPK harus ingat bahwa tugas KPK tidak enteng. Berkali-kali lembaga dan komisi khusus untuk memberangus korupsi dibentuk di negeri ini, tapi hasilnya nol besar. Karena itu, sekali lagi, calon pemimpin KPK harus belajar dari sejarah para pendahulu.

Inisiatif pemberantasan korupsi menggunakan komisi khusus dimulai pada era Orde Baru. Tak cukup satu komisi, rezim ketika itu membentuk sejumlah komisi khusus dalam rentang waktu yang berdekatan. Pada 1967, pemerintah membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jaksa Agung Sugih Arto. Penasihatnya adalah menteri kehakiman, panglima ABRI, dan Kapolri.

Pada 1970, Soeharto membentuk Komisi Empat. Seperti namanya, komisi tersebut terdiri atas empat tokoh. Yaitu, Mohammad Hatta, Anwar Tjokroaminoto, Herman Johannes, dan Soetopo Yoewono.

Tak tanggung-tanggung, Hatta, mantan Wapres yang dikenal bersih itu, langsung menjadi ketua dan ditugasi menemukan penyimpangan di Pertamina, Bulog, serta penebangan hutan dalam waktu lima bulan. Hasilnya belum cukup menggembirakan (Assegaf, 2002).

Pada waktu hampir bersamaan, eksponen Angkatan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan