Big Bang, Bung, Bag Bug

Kita berharap sebuah big bang terjadi pada 2006 ini.

Kita berharap sebuah big bang terjadi pada 2006 ini. Anda betul! Kata-kata big bang diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu ketika mengungkapkan kegembiraannya atas terbunuhnya tokoh teroris Dr Azahari dan terbongkarnya pabrik ekstasi di wilayah Provinsi Banten.

Kalau tidak salah ingat, sambil menikmati santap siang bersama wartawan di sebuah warung Padang, Pak SBY menyatakan kira-kira begini: ... kita menantikan another big bang! Maksudnya, kita menanti sebuah ledakan dahsyat lagi, yakni tertangkapnya (dan diadili serta dihukum seberat-beratnya) koruptor kelas kakap.

Mungkin, Anda akan bertanya kenapa Pak SBY menggunakan kata-kata big bang, yang berasal dari kosakata bahasa Inggris. Tentu, bukan untuk memamerkan kefasihannya berbahasa Inggris karena sudah banyak orang tahu bahwa beliau pernah belajar di Amerika Serikat. Kita patut mengira (seperti bunyi kata-kata dalam sumpah jabatan pejabat negara/pegawai negeri), beliau menggunakan kata-kata big bang untuk menggambarkan kedahsyatan dampak dari tiga musuh utama bangsa Indonesia, yakni terorisme, narkoba, dan korupsi.

Kata-kata big bang terkenal berkat teori big bang yang menjelaskan proses terjadinya alam semesta ini. Saya membayangkan, barangkali Presiden mengibaratkan setelah another big bang, atau korupsi teratasi, Indonesia akan menjadi stabil serta kita akan lebih mudah menuju hidup adil dan makmur.

Jangan terlalu bergembira dulu karena itu masih akan terjadi nanti, masih perlu waktu lama. Pak SBY pun mengakui dua big bang (terbunuhnya Dr Azahari dan terbongkarnya pabrik ekstasi) yang sudah meledak baru iceberg, lagi-lagi dalam bahasa Inggris, atau ujung gunung es. Masih lebih besar lagi yang belum terbongkar!

Sekalipun demikian, tentu kita berharap another big bang itu meledak segera, yakni pada 2006 ini. Ada sedikit optimisme untuk ini jika kita menyimak langkah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bulan-bulan terakhir menyeret tokoh yang diduga dan terbukti koruptor. Juga pantas disimak pernyataan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, pada peringatan hari ulang tahun ke-2 KPK, 29 Desember lalu, yang menegaskan tekadnya untuk terus membabat korupsi, sekalipun bak berada di jalan sunyi.

Mengapa baru sedikit optimisme? Ya, karena untuk memberantas korupsi di negeri ini diperlukan nyali yang dahsyat. Ketua KPK dalam pidatonya, yang berbentuk setengah puisi, mengakui bahwa Indonesia kini dalam suasana darurat korupsi, sedangkan upaya pemberantasannya masih setengah hati.

Kalau soal berteriak memberantas korupsi, banyak yang sudah melakukannya. Namun, setelah itu hilang tak berbekas. Bahkan ditengarai banyak maling teriak maling.

Ketika menuding orang lain sebagai koruptor, kita gegap-gempita. Namun, ketika yang dituding itu diri sendiri, saudara, teman, atau anak buah sendiri, lidah dan telunjuk jari sering menjadi tiba-tiba kelu. Ini tampak dari reaksi menolak para politikus ketika sebuah penelitian menyebutkan bahwa peringkat pertama korupsi diduduki oleh partai politik.

Reaksi menolak atau membela diri tentu boleh-boleh saja, bukti yang akan berbicara (jika ada nyali untuk membuktikannya). Yang jelas, Prof Emil Salim, ekonom kondang dan mantan Menteri Pengawasan Pembangunan di era Pak Harto, menegaskan, lagi-lagi dalam bahasa Inggris, The way we finance our democracy breeds corruption, atau cara kita membiayai demokrasi melahirkan korupsi.

Maksud ungkapan itu adalah karena tokoh-tokoh politik kita umumnya tidak banyak uang (kecuali yang menjadi pengusaha), untuk membiayai kampanye dan proses politik selanjutnya mereka memerlukan dukungan finansial dari pihak lain atau jelasnya, cukong. Tentu, si cukong ingin uangnya kembali dalam bentuk proyek atau kemudahan ekonomi setelah jagonya berkuasa. Tentu juga, para pengusaha yang menjadi penguasa ingin uangnya kembali dan bahkan berlipat ganda, baik dalam jumlah maupun kecepatannya. Karena itulah, money politics atau fulitik (fulus dan politik) marak tumbuh subur.

Mengingat rumit karena kait-mengaitnya korupsi dan politik di negeri ini, untuk menunggu munculnya another big bang itu diperlukan Ausdauer atau daya tahan yang dahsyat dan lama. Nah, salah satu cara agar dapat tahan lama adalah dengan sedikit-banyak menggunakan pendekatan humor, membuat orang lain dan diri kita tertawa, termasuk menertawakan diri sendiri. Dan, saya senang Mas Taufieq (Ketua KPK) memiliki rasa humor yang tinggi, sekalipun penampilannya selalu tegas dan cenderung mengesankan galak.

Berikut ini adalah salah satu contoh leluconnya. Ketika seseorang yang ia curigai akan menyuap menemuinya, dengan tegas ia berkata, Jangan coba-coba menyuap saya! Apa reaksi tamu itu? Dengan kalemnya (mungkin karena sudah berpengalaman), si tamu menjawab, Berani sumpah, Pak, saya tidak ingin coba-coba menyuap, tapi menyuap beneran, nih (sambil menunjukkan uang atau cek)!

Yang jelas, tidak ada karangan bunga ucapan selamat dari perusahaan dalam acara HUT KPK yang lalu. Juga tidak tampak kehadiran para cukong. Mungkin, mereka takut karena Ketua KPK menegaskan untuk membabat koruptor tanpa pandang bulu. Maksudnya, tentu baik pri maupun nonpri. Sekarang yang sudah diperiksa dan dijebloskan ke penjara kebanyakan baru pejabat negara/pemerintah dan pengusaha seperti Prof Nazaruddin Sjamsuddin dan Pak Probo Sutedjo.

Mungkin Anda bertanya, apa kaitannya bag bug dengan big bang? Bag itu artinya tas atau kantong (bisa untuk menyimpan uang), sedangkan bug artinya kutu busuk atau bangsat. Karena rumit dan kait-mengaitnya korupsi dengan politik dan kekuasaan, saya minta judul tulisan itu Anda baca dalam hati secara bolak-balik menjadi: untuk mewujudkan another big bang, Anda perlu menangkap big bug (bangsat besar), yang membawa big bag (tas besar) ke big Bung (ini bahasa Indonesia asli) atau penguasa besar! Jelas kan?

Parni Hadi, Wartawan, Direktur Utama Radio Republik Indonesia

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 11 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan