Big Bang Korupsi

Pasca-runtuhnya Uni Soviet, bagai domino, negara-negara Eropa Tengah dan Timur berubah haluan. Mereka ramai-ramai membuang ideologi dan sistem komunis ala Soviet dan merangkul pasar bebas. Dari ke-15 negara itu, Rusia berubah sangat radikal, terutama sistem ekonominya. Pendekatan terapi kejut dalam perubahan ekonomi menjadi sistem pasar bebas.

Presiden Boris Yeltsin mengambil kebijakan yang drastis dan dramatis. Sejak 1 Januari 1992, kebijakan kontrol terhadap harga dihapuskan. Itu berarti punah pula fondasi central planning economy yang digunakan selama delapan dekade (Berliner, 2000). Privatisasi juga tak ketinggalan: sekitar 122 ribu badan usaha milik negara dilego dan sedikitnya 900 ribu perusahaan kecil memperoleh izin pendirian (Blasi, Kourmova, dan Kruse, 1997). Dua kebijakan ini kemudian menciptakan terapi kejut pada ekonomi Rusia. Alhasil, ekonomi malah stagnan dan korupsi meroket. Rusia kini dikenal dengan tingkat korupsi yang endemik dan maraknya mafia. Pengalaman Rusia bisa menjadi cermin perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Privatisasi nomenklatur
Menurut aliran neo-liberal, good government adalah pemerintah yang kecil (small government). Mengisolasi pasar dari campur tangan (aparat) negara yang memiliki vested interest akan mendorong pemanfaatan sumber daya secara efisien dan memacu pertumbuhan ekonomi. Ini juga ditunjang dengan rezim property rights dan sistem hukum yang efisien guna menciptakan iklim investasi yang stabil dan berisiko kecil (Dick, 2002). Prinsip ini ditambah dengan institutional building serta safety net menjadi ramuan baru Post-Washington Consensus dengan label good governance. Kenyataan di Rusia berkata lain. Salah satu yang menonjol adalah korupsi.

Bagaimana mungkin korupsi terjadi di era pasar bebas? Privatisasi yang jorjoran malah dimanfaatkan oleh birokrasi-teknokrat dan communist party apparatchik dengan mentransfer BUMN dan aset negara lainnya menjadi perusahaan milik pribadi (Winiecki, 1996; Holmes, 2002). Aksi yang membonceng penciptaan rezim property rights ini dikenal dengan istilah nomenclature privatization. Alih-alih mendapat pemasukan dari privatisasi, yang terjadi perpindahan kepemilikan aset negara ke tangan oknum. Kebijakan market-oriented reform Yeltsin diboikot birokrasi dan apparatchik yang mengejar rente.

Keuntungan dari rent-seeking oleh para robber baron kemudian diparkir di luar negeri (capital flight), hal yang wajar dalam komunitas rent-seeker, dan tidak diinvestasikan di dalam negeri. Kalaupun ada, hasil jarahan digunakan untuk membentuk jaringan klientisme yang baru.

Di level birokrasi rendah, suap dan pungli adalah hal lumrah dan dalam ambang anarkistis. Selain tiadanya standar harga, penyuap tidak mendapat kepastian karena aparat yang menerima suap belum tentu memiliki otoritas. Keadaan menjadi runyam karena aparat yang lain akan menuntut suap dalam jumlah yang lebih besar. Tiadanya koordinasi dalam pungli tidak hanya melambungkan ekonomi biaya tinggi, tapi juga memperumit pelayanan birokrasi.

Salah satu analisis akan ketidakmampuan Rusia dalam menutup defisit anggaran adalah minimnya pemasukan dari sektor pajak. Paceklik pemasukan dapat menjadi ancaman bagi pembenahan ekonomi dan stabilitas politik (Holmes, 2002). Aparat pajak yang korup mengantongi uang pajak. Menyuap aparat pajak tentu lebih murah daripada membayar pajak. Dampaknya, sewindu pasca-glasnost dan perestroika, Rusia menjadi pasien ketiga terbesar dari Bank Dunia sekaligus klien terbesar IMF dengan mengkonsumsi seperlima outstanding loan (Berliner, 2000).

Menjamurnya korupsi di semua sektor ini dikiaskan sebagai teori big bang layaknya antariksa yang pecah dan menjadi ribuan obyek di galaksi. Ya, korupsi sedemikian merajalela dan berimbas tidak hanya pada sektor ekonomi, tapi juga pada kepastian hukum, pelayanan sosial, dan keamanan.

Industri antikorupsi
Iklim pemerintah yang tidak kondusif ini juga terjadi di negara Eropa Tengah dan Timur lainnya. Bantuan dari luar negeri untuk peningkatan upaya konkret dalam pemberantasan korupsi cukup tinggi. Uni Eropa dan Amerika memberikan bantuan terhadap upaya pembenahan institusi dan penegakan hukum. Bahkan Uni Eropa menunda keanggotaan beberapa negara Eropa Tengah dan Timur (Bulgaria, Latvia, Lithuania, Rumania, dan Slovakia) karena ketidakseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi (Holmes, 2002).

Sayangnya, upaya pemerintah negara Eropa Tengah dan Timur, khususnya Rusia, dalam perang melawan korupsi kurang meyakinkan. Pemberantasan korupsi telah menjadi industri antikorupsi yang tumbuh pesat untuk mencari popularitas belaka. Upaya ini tidak mendapat dukungan publik, yang melihat program ini hanyalah sandiwara politik untuk mendongkrak image politikus ataupun partai tertentu (Holmes, 2002).

Di sisi lain, muncul keluhan dari birokrasi dan apparatchik akan upaya pemerintah dalam memerangi korupsi sehingga menimbulkan intimidasi moral kepada aparatur. Abdi negara khawatir akan menjadi target pemberantasan korupsi yang tebang pilih. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para robber baron untuk menumpulkan upaya antikorupsi yang genuine. Dengan tidak efektifnya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, praktek penjarahan aset negara dan rent-seeking menjadi aman.

Jelas, reformasi di Rusia telah teraborsi. Kebijakan propasar yang dratis dan tidak matang merunyamkan situasi karena dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Kenyataannya, peralihan ke pasar bebas pun tidak kebal dari korupsi.

Gejala dan proses yang terjadi di Rusia rasa-rasanya mirip dengan apa yang dialami Indonesia pasca-Soeharto. Setelah sewindu reformasi, kita masih tertatih-tatih dalam membenahi ekonomi, menciptakan kesejahteraan sosial karena ketidakmampuan memberantas korupsi. Jika pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tidak belajar dari pengalaman Rusia dan secara sungguh-sungguh serta nyata memberangus korupsi, Indonesia akan melalui jalan panjang dan rumit dalam pemulihan pascakrisis. Semoga kita tidak terjerumus dalam pusaran korupsi yang tiada berujung-pangkal.

Luky Djani, Peneliti Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 15 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan