Bintang Dua Ditahan; Tersangka Kasus Korupsi PT Asabri Rp 410 Miliar

Aparat keamanan kembali menahan purnawirawan jenderal. Mayjen (pur) Subarda Mihardja tadi malam dijebloskan ke Rumah Tahanan (Rutan) Kejaksaan Agung. Kendati pensiunan, jenderal berbintang dua itu memegang jabatan penting, yakni Dirut PT Asabri (Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Subarda ditahan pukul 20.45 tadi malam. Penyidik Gedung Bundar memutuskan menahan karena tersangka kasus korupsi dana PT Asabri Rp 410 miliar itu dianggap tak kooperatif.

Subarda merupakan pensiunan jenderal kedua TNI-AD yang dijebloskan ke sel dalam sangkaan pidana pada era reformasi ini. Sebelumnya, Mayjen (pur) Gusti Syaifuddin ditangkap aparat karena terlibat illegal logging.

Subarda ditahan bersama Henry Leo yang juga dituduh berkonspirasi dalam dugaan korupsi Asabri. Henry merupakan pengusaha rekanan Departemen Pertahanan (Dephan) sekaligus pemilik bangunan Plaza Mutiara di Jalan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Keduanya ditahan setelah diperiksa lebih dari sepuluh jam. Belasan petugas keamanan dalam (kamdal) Kejagung dibantu aparat Polrestro Jakarta Selatan mengamankan penahanan itu. Maklum, Subarda yang juga ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPD Partai Demokrat Jawa Barat tersebut membawa belasan pengawal.

Dia keluar lebih dulu dari ruang pemeriksaan. Mengenakan setelan kemeja koko, wajahnya tampak pucat. Dia bungkam ketika dicecar pertanyaan wartawan. Dia bergegas naik Toyota Innova berpelat B 1492 WQ menuju Rutan Kejagung. Sebuah mobil Toyota Crown berpelat B 495 MK ikut membuntuti Innova itu.

Saat menuju Rutan Kejagung, terjadi keributan kecil. Toyota Crown yang disopiri anak buah Subarda tersebut nyaris menabrak kerumunan polisi. Insiden itu berakhir setelah anak buah Subarda meminta maaf.

Berdasar informasi koran ini, Subarda dan Henry ditahan selama 20 hari. Subarda dinilai tidak kooperatif, sehingga tim penyidik yang diketuai Djaenuddin Nare mengeluarkan perintah penahanan kepada dua tersangka tersebut.

Pada panggilan pertama, 6 Agustus lalu, Subarda tidak memenuhi panggilan kejaksaan. Dia yang diwakili pengacaranya, Anindyo Darmanto, bahkan memprotes langkah kejaksaan menetapkan dirinya sebagai tersangka. Alasannya, pada kasus yang sama, Mabes Polri pernah mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) karena keterbatasan alat bukti.

Informasi penahanan Subarda dan Henry itu tidak disampaikan pejabat Kejagung, baik JAM Pidana Khusus (Pidsus) Kemas Yahya Rahman maupun Direktur Penyidikan M. Salim. Kepastian penahanan itu justru disampaikan Anindyo. Klien saya akan mendekam di hotel bintang seratus kejaksaan, ujar Anindyo emosional.

Pengacara lain, Andi M. Asrun, menegaskan, Subarda ditahan setelah menjawab 37 pertanyaan tim penyidik. Klien saya benar-benar shock, tadi dikira mau pulang, tiba-tiba penahanan diputuskan, ujar pengacara yang pernah menjadi wartawan itu.

Awalnya, Subarda akan ditahan di Rutan Salemba. Namun, tim penyidik mengabulkan permohonan pengacara yang minta Subarda ditahan di Rutan Kejagung karena kondisi fisiknya yang sakit-sakitan.

Andi menyesalkan penahanan itu. Menurut dia, Subarda bersikap kooperatif. Andi juga menyesalkan sikap tim penyidik yang mengabaikan materi bantahan kliennya terkait keterlibatan dalam kasus Asabri. Kami akan minta penangguhan penahanan, katanya.

Andi menegaskan, materi pemeriksaan seputar kerja sama Subarda dengan Henry terkait pencairan dan transfer uang ke rekening pribadi Subarda.

Menurut dia, ada tiga kesalahan terkait penyidikan kliennya. Pertama, Subarda tidak pernah menyerahkan surat kuasa kepada Henry untuk mencairkan deposito Rp 410 miliar milik PT Asabri. Alasannya, Henry bukan orang dalam PT Asabri. Ada pihak lain yang mengklaim bahwa klien saya telah memberikan kuasa kepada Henry, jelas pria yang pernah menjadi pendiri Judicial Watch tersebut.

Kedua, alamat perusahaan patungan yang didirikan Subarda dan Henry keliru. Subarda juga tidak pernah berhubungan dengan notaris yang berada di Bogor.

Ketiga, bukti transfer ke rekening Subarda amat diragukan. Pada kolom tanggal dan keterangan sama-sama diberi tanggal transfer. Karakter huruf dalam bukti transfer juga berlainan. Selain itu, kasus PT Asabri pernah ditangani Mabes Polri. Bahkan, penyidiknya telah mengeluarkan SP3 dalam kasus tersebut, kata Andi.

Di tempat terpisah, JAM Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengatakan, kejaksaan punya bukti kuat terjadinya kerugian negara dalam kasus PT Asabri. Ini menjadi dasar kami menetapkan dua tersangka, SBD dan HL, dalam kasus tersebut, ujarnya.

Kemas mengakui, kejaksaan telah menerima keberatan dari pengacara terkait duplikasi penanganan kasus tersebut. Ada permintaan dari yang bersangkutan dan pengacara terkait SP3 kasus yang sama di Mabes Polri. Saya sudah jelaskan, kasus yang kami tangani berbeda. Kasus di kepolisian juga berbeda dengan yang ditangani kejaksaan, jelasnya. Dia menambahkan, kasus di Mabes Polri lebih bersifat tindak pidana umum, sedangkan di kejaksaan merupakan pidana khusus alias korupsi.

Menurut Kemas, nilai detail kerugian negara masih dihitung Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Nilai taksirannya Rp 410 miliar. Soal pengembalian atau tidak, belum ada. Namun, siapa tahu akan dikembalikan besok (hari ini), ujarnya.

Kemas menambahkan, kasus PT Asabri merupakan salah satu di antara enam kasus korupsi yang diprioritaskan ditangani kejaksaan. Ditargetkan, kasusnya bisa diselesaikan akhir September.

Sebelumnya, Kejagung menetapkan dua tersangka dalam kasus Asabri, yakni Henry Leo dan Subarda. Kasus tersebut berawal dari dugaan penyalahgunaan dana iuran prajurit TNI yang dikelola Asabri. Pada 1995-1997, terjadi penyimpangan penggunaan dana deposito milik Asabri Rp 410 miliar yang dijadikan jaminan kredit oleh pihak lain di BNI. Penggunaan dana itu, ternyata, tanpa persetujuan dewan komisaris Asabri. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 15 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan