Birokrasi Efektif Vs Arogansi
DALAM raker dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta (02/12/09), Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyatakan dari 92 lembaga nonstruktural, pemerintah berencana menghapus 13 lembaga dan menggabungkan 39 lembaga lainnya, dalam 5 tahun ke depan. Lembaga nonstruktural itu dapat berupa komisi, komite, badan, atau dewan.
Informasi yang dihimpun menyatakan, 39 lembaga nonstruktural itu antara lain adalah Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Hukum Nasional, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komite Keselamatan Transportasi, dan Staf Khusus Presiden. Contoh lembaga lain yang akan digabung adalah Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan, dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat. Sementara 13 lembaga nonstruktural yang akan dihapus terdiri atas beberapa komite, badan, komisi, dan satu dewan.
Anggota Komisi II DPR Malik Haramain menegaskan, penentuan lembaga yang akan dihapus dan digabung sudah melalui kajian matang oleh 14 perguruan tinggi negeri. Menurutnya, selain kerjanya tidak jelas dan bahkan cenderung hanya menghabiskan anggaran negara, keberadaan sejumlah lembaga negara nonstruktural tersebut tidak sesuai dengan semangat reformasi birokrasi yang ingin membangun birokrasi efektif dan efisien (Kompas, 03/12/11).
Niat baik pemerintah, yang tampaknya mendapat dukungan parlemen itu, punya plus minus tersendiri. Plusnya adalah penghematan APBN dan merampingkan birokrasi yang gemuk di negeri ini. Selain itu, akan terjadi proses berlomba memperbaiki diri, dan mengoptimalkan fungsi serta peran seluruh lembaga nonstruktural itu, yang kuantitasnya sering dikeluhkan masyarakat sebagai terlalu banyak.
Untuk menggapai tujuan itu, waktu yang dibutuhkan cukup hanya setahun karena lembaga nonstruktural dimaksud umumnya tidak besar dan tidak memiliki struktur ke bawah, seperti dikemukakan Malik Haramain. Namun hemat penulis, penghapusan 13 lembaga nonstruktural dan penggabungan 39 lembaga nonstruktural itu, membutuhkan waktu cukup lama. Bisa 5 tahun saja sudah cukup cepat. Hal ini disebabkan adanya undang-undang, peraturan Presiden, dan peraturan perundangan lain yang perlu dicabut, atau disempurnakan.
Arogansi Kekuasaan
Minusnya adalah penggabungan 39 lembaga nonstruktural itu akan berdampak pemberian kekuasaan lebih luas dibanding ketika lembaga struktural itu masih berdiri sendiri. Kekhawatiran atas penggabungan dimaksud, sedikitnya ada empat. Pertama, terjadinya penafsiran kekuasaan yang sangat mungkin akan keluar dari kerangka mandat hukumnya yang asli. Pengelola sejumlah lembaga nonstruktural yang digabungkan tadi, boleh jadi akan merasa memiliki kekuasaan yang melebihi batas hukum sebagaimana amanat perundangannya.
Kedua; kekuasaan lembaga itu karena cenderung terlalu luas maka peran, tugas, fungsi dan kegiatannya tidak terfokus ke pencegahan, pengawasan, dan atau penindakan terhadap fenomena, problematika, atau kasus tertentu, seperti arahan aturan perundangannya (payung hukum). Dampaknya terutama adalah perasaan senang pengelola lembaga negara tertentu yang selama ini diawasi lembaga nonstruktural karena akibat penggabungan tadi bukan mustahil pengawasan lembaga nonstruktural tersebut menjadi sangat longgar.
Ketiga; kecendrungan arogansi kekuasaan dari pengelola lembaga yang digabung itu karena sebelumnya mereka hanya boleh bekerja dari A sampai C, tetapi sekarang merasa berhak melakukan tugas dari A sampai O. Keempat; terkooptasi oleh sikap superbody akibat luasnya wilayah kekuasaan yang baru, ditambah kecendrungan arogansi kekuasaan, di samping terkooptasi penafsiran kekuasaan di luar kerangka mandat hukumnya.
Berdasarkan pemikiran itu, sebaiknya konkretisasi niat baik pemerintah dan parlemen pada awal tulisan ini, dikomunikasikan secara menyeluruh dengan pihak terkait (terutama lembaga nonstruktural itu), dan lembaga independen (terutama perguruan tinggi dan LSM). Komunikasi komprehensif dan intensif tersebut diharapkan mencegah terjadinya ketidakpuasan pengelola lembaga nonstruktural yang akan digabung, apalagi dihapus, semata-mata guna memprioritaskan perwujudan birokrasi efektif di satu sisi, dan pencegahan arogansi kekuasaan di sisi lain. (10)
Novel Ali, dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 19 September 2011