BK Diharapkan Berani

Rapat Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat atau BK DPR, Senin (9/7) ini, akan membuat keputusan terhadap kasus lima anggota Dewan yang diduga menerima dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan. BK diharapkan berani menjatuhkan sanksi demi tegaknya citra DPR.

Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis dan Rektor Universitas Paramadina Anis Rasyid Baswedan mengungkapkan hal itu kepada Kompas, Minggu.

BK harus berani membuat terobosan untuk membangun etika parlemen. Etika ini hanya bisa dibangun oleh BK yang tegas. Kalau BK kaku berpegang pada prinsip retroaktif, kasus ini akan diputihkan. Ini soal pilihan, ucap Todung.

Anis berpendapat, BK jangan hanya melihat kasus ini dari detail hukum saja. Sebab, setiap delik pasti ada argumennya. Upaya ini justru harus dilihat sebagai usaha politik untuk menunjukkan sinyal tegas kepada publik bahwa DPR tak kompromi terhadap masalah berbau korupsi.

Kepercayaan publik terhadap DPR ini sedang menurun. Kalau BK tidak tegas akan semakin drop. Kasus ini berat, tapi ini ujiannya, ujar Anis.

Kompleksitas kasus
Anggota Dewan yang terkait kasus ini adalah Slamet Effendy Yusuf (Ketua Badan Kehormatan dari Fraksi Partai Golkar), AM Fatwa (Wakil Ketua MPR), Endin AJ Soefihara (mantan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan), Fahri Hamzah (Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), dan Awal Kusumah (mantan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar). Di luar kelima orang ini pun masih banyak anggota Dewan yang terlibat, tapi belum diperiksa BK.

Dalam rapat BK sebelumnya, banyak hal diperdebatkan. Salah satunya, BK dianggap tidak kompeten memberi sanksi karena kasus ini terjadi sebelum BK terbentuk. Dari lima anggota DPR itu, ada tiga yang mengakui menerima, dua lainnya tidak. Sementara itu, BK tidak memiliki kemampuan untuk menyidik.

Anggota Dewan yang mengakui pun telah meyakinkan BK bahwa uang itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi disalurkan ke pondok pesantren dan taman kanak-kanak. Ada juga yang mengaku saat menerima uang itu belum menjadi anggota DPR, tetapi sebagai pengurus partai.

Anis berpendapat, anggota DPR dan pengurus partai tidak bisa menerima uang dari pejabat pemerintah. Walau dengan alasan untuk kepentingan sosial, penerimaan uang itu tetap salah karena dengan dilewatkan melalui pelaku politik, maka berarti ada kalkulasi politik dari pemberi maupun penerima. (SUT)

Sumber: Kompas, 9 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan